Minggu, 19 Oktober 2014

Reorientasi Polugri : “Back to Basic”

                        Reorientasi Polugri : “Back to Basic”

Dian Wirengjurit  ;   Duta Besar RI untuk Iran
KOMPAS,  12 Oktober 2014

                                                                                                                       


MENCERMATI dinamika dunia internasional dewasa ini, tampaknya sudah waktunya politik luar negeri atau polugri Indonesia disesuaikan kalau tidak dirombak sama sekali. Sudah waktunya polugri yang mengedepankan pencitraan dan slogan-slogan idealistis ditinggalkan. Polugri Indonesia perlu diarahkan pada pencapaian nyata berdasarkan pendekatan yang realistis, rasional, dan pragmatis.

Tak ada gunanya lagi menganggap diri besar, strategis, dan penting jika dalam kenyataannya kita hanya besar secara fisik, tetapi tak mampu memanfaatkan posisi geografis untuk menjadi hub. Apalagi masih tetap bisa dilecehkan oleh negara tetangga yang tidak besar, tidak strategis, dan tidak penting.

Tidak juga ada manfaatnya berpartisipasi dalam ingar-bingar hubungan internasional kalau kenyataannya kita tak kuat secara militer atau ekonomi, apalagi menjadi negara yang bergantung.

Memakai proposisi realismenya SM Walt (1998), politik internasional senantiasa diwarnai persaingan antarnegara untuk mendapatkan kekuasaan dan keamanan. Dalam konfigurasi ini, instrumen utama kebijakan luar negeri akan mengandalkan kekuatan militer dan ekonomi.

Jika Harold Lasswell mengatakan, politik adalah masalah who gets what, when and how, politik luar negeri, demikian pula. Polugri tak statis, tetapi dinamis dan senantiasa berkembang, dan harus mampu beradaptasi dengan kecenderungan internasional, termasuk globalisasi, demokratisasi, good governance, transnational crimes, lingkungan hidup, pasar bebas, multipolarisme, dan interdependensi.

Polugri tak lagi hanya berdasarkan prinsip mutual respect dan mutual benefit, tetapi juga lebih penting pada equal footing dan unconditionality. Selain itu, prinsip dasar ”tidak ada kawan abadi selain kepentingan nasional” juga harus ditegakkan kembali. Demikian juga prinsip trust no one, yang dalam bahasa gaul sering dikatakan ”temen ya temen, tapi curiga jalan terus”.

Dengan demikian, polugri sewajarnya mempunyai visi dihormati dan disegani, sementara misinya kembali pada Tri Sakti-nya Bung Karno.

Berdasarkan preposisi Walt dan pandangan Lasswell itu, pelaksanaan polugri Indonesia tak perlu mengandalkan kekuatan militer, tetapi lebih wajar menggunakan potensi ekonomi. Artinya, tujuan polugri lebih penting menjadi kekuatan ekonomi.

Dengan menjadi kekuatan ekonomi, pengakuan akan kebesaran dan pentingnya Indonesia akan datang dengan sendirinya. Seperti kata Hubert H Humphrey (1911-1978), ”Foreign policy is really domestic policy with its hat on.”

Dengan pemahaman ini, aparat pelaksana polugri, yaitu kementerian luar negeri dan diplomatnya, saatnya memusatkan perhatian pada diplomasi ekonomi, serta dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan di bidang ini. Sudah waktunya perwakilan RI dijadikan Indonesia Inc dan kepala perwakilannya berfungsi sebagai CEO.

Konsekuensinya, jika selama ini hiruk-pikuk polugri lebih banyak dilakukan dalam kerangka multilateral (PBB, GNB, OKI, APEC, dan ASEAN), kini sudah waktunya lebih diarahkan pada diplomasi bilateral.

Diplomasi bilateral jelas lebih mencapai hasil yang nyata, sementara multilateralisme lebih merupakan upaya melukis langit atau mengukir laut. Multilateralisme masih tetap diperlukan berdasarkan asas prioritas. Artinya, kita tak mesti aktif di semua organisasi internasional, kecuali kita mendapatkan sesuatu yang nyata, terutama dalam pembangunan ekonomi.

Konsekuensi lanjutannya, harus ada perombakan di kemlu, baik struktur maupun nomenklaturnya. Selama ini posisi penting, dari tingkat menteri, eselon I , hingga eselon II, yang strategis senantiasa dijabat diplomat ”jebolan” multilateral; demikian pula jabatan kepala perwakilan besar/penting ( D-1), seperti Washington, London, dan Paris.

Sementara posisi yang kurang prestisius baru diberikan kepada ”jebolan bilateral”.

Dalam kaitan ini, lingkaran konsentrik yang menempatkan organisasi internasional (PBB, GNB, ASEAN, dan APEC) sebagai pusat diganti dengan negara, berdasarkan kepentingan dan potensi ekonominya.

Untuk itu sudah waktunya dibuat pemetaan negara-negara yang menjadi prioritas berdasarkan potensi keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. Sudah seharusnya pula diplomat Indonesia lebih dibekali dengan kemampuan manajemen dan pemasaran sehingga berorientasi ”mencari untung” dan tidak hanya menjalankan tugas rutin.

Meski demikian, upaya menjadikan perwakilan Indonesia sebagai Indonesia Inc tak akan berhasil tanpa dukungan dana dan kerja sama dengan lembaga lain. Selama ini kemlu dianggap sebagai lembaga yang eksklusif dan elite, yang menjadikannya terkucil dan dijauhi, khususnya oleh DPR dan kementerian keuangan, sehingga anggaran kemlu dari tahun ke tahun semakin tak memadai.

Back to basic dalam kebijakan dan pelaksanaan polugri ini sama sekali bukan langkah mundur. Back to basic harus dilihat sebagai upaya menata kembali polugri agar kembali pada jalurnya dalam mencapai tujuan yang lebih nyata. Mundur selangkah, tetapi kemudian maju beberapa langkah, tetap jauh lebih baik daripada jalan di tempat, atau berpura-pura melangkah maju, apalagi kalau ternyata memang mundur!

Pada akhirnya, kebesaran, kestrategisan, dan pentingnya Indonesia tak akan bisa dicapai melalui gegap gempita konferensi internasional. Sebaliknya, menjadikan Indonesia kuat secara ekonomi dengan sendirinya akan mendatangkan pengakuan.

Henry Kissinger mengatakan, ”No foreign policy—no matter how ingenious—has any chance of success if it is born in the minds of a few and carried in the hearts of none.” Diplomasi bilateral harus menjadi ujung tombak polugri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar