Jumat, 03 Oktober 2014

Mental Birokrasi

Mental Birokrasi

Benny Susetyo  ;   Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas presiden terpilih selama lima tahun ke depan, khususnya infrastruktur yang berada di laut. Itu mengingat selama ini maritim seolah diabaikan. Konsentrasi pembangunan lebih banyak di darat.

Salah satu permasalahan mendasar dari visi besar tersebut adalah, bagaimana birokrasi tanggap dan bekerja keras memberikan dukungan realisasi cita-cita tersebut?

Namun, justru di sinilah persoalan besarnya. Kita memiliki birokrasi yang lambat dan bermental korup. Hal ini merupakan hambatan terbesar untuk mempercepat pembangunan. Mentalitas korup jelas akan menciptakan birokrasi yang tidak saja tidak optimal, tetapi justru menghambat.

Sistem dan Aktor

Baik sistem maupun aktor, keduanya banyak bermasalah dan kerap menghambat pembangunan. Korupsi pun menjadi hal lumrah yang terjadi di mana-mana. Mental birokrat korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC yang bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak efektif, menghasilkan tata kelola yang jelek pula.

Tentu saja pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut susbtansi, dan kita belum sampai pada proses inti “pemerintahan yang bersih” itu sendiri.

Kita baru tahap citra pemerintahan yang bersih. Selama ini di dalam kemolekan pemerintahan yang tercitrakan bersih, publik secara sadar masih melihat jelas, masih begitu banyak kasus korupsi yang belum terungkap. Masih begitu banyak onak duri yang mengganjal perjalanan menuju pemerintahan yang sehat dan bersih dengan tingkat korupsi yang begitu minimal.

Mental birokrat ndhoro menunjukkan mereka hanya ingin dilayani, bukan memberikan pelayanan terbaik dan tercepat kepada masyarakat. Dikarenakan ingin dilayani, budaya suap dalam proses merintis sebuah usaha pun tak dapat dielakkan. Harga pelayanan publik pun tidak sama.

Mereka yang berani memberikan upeti kepada ndoro mereka akan mendapatkan pelayanan cepat. Sebaliknya, yang menggunakan jalur dan prosedur normal justru mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai harapan.

Itulah profil dan mental birokrasi kita. Diakui atau tidak, kita menghadapi tantangan tidak ringan dalam membangun kemajuan ekonomi bangsa ini. Birokrasi yang seharusnya menjadi faktor pendorong justru sebaliknya, malah menjadi faktor yang menghambat. Birokrasi bahkan dianggap sebagai momok yang menakutkan.

Bahkan, dalam sebuah kelakar, birokrasi tidak perlu susah-susah menjadi pendorong kesejahteraan ekonomi rakyat. Namun, bila sedikit saja birokrasi tidak merecoki urusan rakyat, kemajuan ekonomi masyarakat akan bertumbuh sangat pesat. Kelakar itu menunjukkan, birokrasi kita lebih berperan “menghambat” daripada “mendorong”.

Sudah menjadi rahasia umum, budaya birokrasi kita selalu menunda-nunda pekerjaan dan mempersulit perizinan agar mereka mendapatkan upeti. Kultur ini terus berjalan tanpa ada perubahan, karena bangsa ini kering visi dalam kepemimpinan. Pejabat dan politikusnya seolah melanggengkan budaya yang membuat mereka untung secara pribadi.

Meski birokrasi dan pelayanan publik berusaha bekerja menurut prinsip-prinsip keadilan, kenyataannya korupsi dan malapraktik yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sering terjadi.

Meski manajemen publik tidak selalu berorientasi profit, nyatanya profit itulah yang dikejar. Ini karena organisasi publik tidak berkompetisi dengan lainnya dalam memberikan pelayanan, sehingga dia menjadi monopolistik dan kerap bertindak semaunya.

Budaya “Jalan Pintas”

Sejauh ini, proses pemberantasan korupsi masih boleh dikatakan “setengah hati”. Koruptor kakap masih berkeliaran. Mereka bermain di birokrasi dan kekuasaan, merampok uang rakyat dengan berbagai cara. Mafia-mafia ini berkeliaran mencari kesempatan dalam kesempitan.

Pemberantasan korupsi belum menjadi agenda utama penataan bangsa ini ke depan. Peperangan dengan jalan bertobat masih dilakukan secara maksimal. Mereka yang ditangkapi adalah para koruptor kelas teri, yang kategori kelas kakap belum banyak yang tersentuh.

Bangsa ini sudah lama tak berdaya melepaskan diri dari jerat budaya korupsi. Suka tidak suka, sebagai budaya, korupsi adalah sesuatu yang melekat dalam diri bangsa ini. Bahkan seolah korupsi sudah menjadi pola kehidupan bangsa ini dan bagian tak terpisah. Korupsi terjadi dan membentuk mentalitas.

Hal ini tidak lepas dari kultur bangsa. Begitu membudayanya dan sistematisnya korupsi, seakan telah membuat bangsa ini tak berdaya menghadapinya. Tak lain karena bangsa ini telah lama dihidupi strategi berkehidupan yang disebut sebagai “jalan pintas”.

Kultur “jalan pintas” inilah yang membuat elite politik hanya sibuk memperkaya diri dan melupakan tugas untuk menyejahterakan rakyat. Kebijakan yang dibuat hanya sekadar untuk meraih popularitas daripada secara serius bagaimana mengusahakan rakyat untuk hidup lebih mandiri.

Budaya inilah yang membuat bangsa ini sangat tergantung segala sesuatu yang bersifat material. Ada kecenderungan ironis, bahwa menjadi elite politik sekaligus melekat haknya untuk meneruskan tradisi masa lalu yang bernama korupsi.

Praktik seperti inilah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi kesengsaraan orang lain. Padahal, jelas korupsi akan mengakibatkan kemiskinan masyarakat. Busung lapar, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan kesenjangan, adalah deretan permasalahan bangsa yang berujung langsung dari perilaku korupsi.

Mengapa kerbagai kenyataan di atas tidak membuat kita menyelesaikan akar masalahnya secara tuntas? Jika korupsi berhasil diberantas dan tumbuh budaya baru, masalah-masalah kebangsaan yang berderet itu pada saatnya juga akan ikut terselesaikan.

Penyebab hampir semua persoalan bangsa ini adalah korupsi. Budaya korupsi yang dilakukan sebagian pejabat publik dan masyarakat telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Bangsa ini seolah tak berdaya melawan karena korupsi bahkan sudah sering menjadi pola kebijakan politik yang dianggap lumrah.

Pemerintahan mendatang harus secepatnya mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Mengatasi korupsi dalam birokrasi tidak hanya sekadar lewat sebuah kebijakan politik. Dibutuhkan sebuah alternatif lain, yakni bagaimana mencari penjelasan seterang-terangnya, kenapa korupsi itu bisa timbul? Korupsi bisa saja terjadi karena pola kehidupan yang cenderung materialistis dan berbiaya tinggi (high cost economic).

Pola perilaku seperti inilah yang suka tidak suka telah menjadi bagian kultur kehidupan publik ini. Akibatnya, ruang publik tak berdaya dan telah tergadaikan pada menghadapi “monster-monster” yang begitu dominan dalam mengatur kehidupan.

Sudah banyak contoh dan dampak kebuasan korupsi yang membudaya seperti ini. Pemerintahan mendatang tidak bisa tinggal diam menyaksikan semua ini. Korupsi dalam birokrasi harus dibasmi sampai akar-akarnya dan menciptakan sistem dan budaya baru yang bebas dari korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar