Minggu, 19 Oktober 2014

Kebangkitan Tiongkok Tidak Terbendung

                 Kebangkitan Tiongkok Tidak Terbendung

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  15 Oktober 2014

                                                                                                                       


PERDANA Menteri Tiongkok Li Keqiang berkunjung ke Moskwa, Rusia, pekan ini. Dia mempererat hubungan ekonomi, perdagangan, dan keuangan kedua negara melalui penandatanganan 38 perjanjian. Semua itu menghadirkan kompetisi persaingan dan konflik ala Perang Dingin yang mencapai titik kulminasi berbeda dibandingkan abad ke-20.

Tiongkok-Rusia melakukan perubahan penting dalam persaingan geopolitik yang menihilkan langkah strategis AS dan negara-negara Uni Eropa (UE) yang melakukan isolasi atas Rusia karena aneksasi Crimea serta keterlibatan Moskwa dalam persoalan politik di Ukraina.

Babakan baru kompetisi dan konflik baru akan bermunculan tidak dalam esensi persaingan kekuatan militer seperti masa Perang Dingin, tetapi memicu persekutuan baru dalam bentuk kerja sama ekonomi dan perdagangan. Sanksi AS dan UE setelah kunjungan PM Li Keqiang menjadi tidak berarti. Bahkan, konflik akan menjadi lebih sengit ketika Presiden Rusia Vladimir Putin memberlakukan sanksi balasan yang lebih luas tidak hanya pelarangan impor buah-buahan dari Barat.

Baik bagi Tiongkok maupun Rusia, krisis politik seperti di Ukraina dan Crimea ataupun di Hongkong, yang selama 17 hari terakhir ini diguncang demonstrasi menuntut pemilihan langsung ala demokrasi Barat, ternyata tak mampu mendorong dominasi negara-negara Barat, khususnya AS, untuk menjadi pengelola tunggal dunia.

Sebuah artikel di halaman pertama Harian Rakyat (Renmin Ribao) edisi Selasa (14/10) menyebut, ada kekhawatiran AS, khususnya, jika kedekatan hubungan Tiongkok-Rusia merupakan upaya mengubah tatanan dunia.

”AS adalah arsitek utama dan memperoleh keuntungan terbesar dari tatanan dunia setelah perang. Tatanan dunia yang dibela mereka (AS dan negara-negara Eropa umumnya) berbeda dengan harapan kebanyakan negara dunia, termasuk Tiongkok. Tiongkok tidak mengusulkan untuk memorakporandakan tatanan yang sekarang ada, tetapi menginginkan suatu bentuk reformasi atas tatanan tersebut,” tulis artikel dengan judul ”Meiguo bu yap zhizao xin diren” (AS Jangan Membuat Musuh Baru).

Kita sendiri melihat ada kekhawatiran yang bisa menarik Tiongkok dalam konflik terbuka dengan AS, dan mengubah gagasan dasar Beijing tentang xinxing daguo guanxi (jenis baru hubungan negara besar). Ada beberapa faktor yang mendukung kekhawatiran negara-negara di dunia pada umumnya terhadap perubahan perilaku dan kebangkitan Tiongkok.

Pertama, di semua benua, eksistensi Tiongkok dalam mekanisme hubungan ekonomi, perdagangan, dan keuangan berhasil menyingkirkan peranan AS sebagai satu-satunya pilihan kerja sama pembangunan, terutama dengan negara-negara berkembang.

Kedua, persoalan geopolitik Tiongkok di sejumlah wilayah ataupun dengan negara-negara tetangganya, mulai dari klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan hingga perubahan drastis pandangan pengaruh demokrasi ala Barat seperti yang terjadi di Hongkong, mendorong para pemimpin di Beijing tak memberikan peluang konsesi geostrategis guna menopang kebangkitannya.

Hubungan RRT-Rusia dalam konteks persaingan geopolitik dengan negara-negara Barat menyebabkan tekanan politik kebijakan luar negeri AS dan UE tidak memiliki arti melalui sejumlah sanksi ekonomi dan keuangan. Posisi Hongkong, yang sebelumnya memberikan sumbangsih sebesar 15 persen atas PDB RRT pada tahun 1997 sekarang tinggal 3 persen, memastikan kebangkitan Tiongkok tak akan terbendung oleh berbagai sanksi global yang ingin diterapkan Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar