Universitas
Rumah Ilmu
Fathur Rokhman ; Rektor Universitas
Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 01 April 2014
''Id
volunteer to go to prison, as long as there are books. Because with books I
am free.''
ITULAH
kalimat yang dipilih Hatta untuk menyatakan sikap keilmuannya. Ia menganggap,
penjara bukan perkara yang terlalu berat dijalani
asal ia bisa tetap bersama buku. Bersahabat dengan buku membuatnya tetap
”bebas”.
Sikap
ini menggambarkan banyak hal pada diri Hatta. Selain keberanian mengambil
risiko perjuangan, sikap ini menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu
pengetahuan. Pada dirinya, ilmu pengetahuan dan keberanian bukan sesuatu yang
bisa dipisahkan. Pengetahuan melahirkan keberanian dan keberaniannya ditopang
ilmu. Hatta adalah contoh baik bagi siapa pun yang menggeluti dunia keilmuan.
Kecintaannya
terhadap ilmu pengetahuan tak muncul hanya karena kebutuhan-kebutuhan
praksis. Ia menjadikan ilmu sebagai energi yang menyalakan lentera kehidupan.
Karena ia mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin republik, ia nyalakan
pula energi intelektualnya sebagai lentera rakyatnya.
Situasi
sosiokultural seperti apa yang membuat seseorang begitu mencintai ilmu
pengetahuan? Inilah pertanyaan penting yang mesti dicarikan jawaban oleh para
pengelola lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Lebih-lebih,
belakangan muncul indikasi, beberapa perguruan tinggi keluar dari khitah
keilmuannya karena tarikan berbagai kepentingan.
Nilai Keilmuan
Saya
mengandaikan perguruan tinggi sebagai sebuah rumah ilmu sehingga aktivitas
apa pun yang dilakukan di dalamnya berorientasi pada nilai keilmuan.
Apa pun
yang terjadi, bahkan yang baru direncanakan, dilakukan untuk kepentingan
keilmuan. Di san lah ilmu disemaikan, ditanam supaya buahnya dapat dipetik
oleh masyarakat. Idealitas demikian bukan imajinasi megalomania jika
dibanding fakta historis perguruan tinggi. Sejak didirikan, perguruan tinggi
punya peran sentral mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bahwa
kemudian, perguruan tinggi memiliki fungsi sosial lain, itu adalah mandat
tambahan (wider mandate).
Universitas tertua di dunia, yakni Universitas Al-Karaouine di Fes Maroko,
juga didirikan untuk niat pengembangan keilmuan.
Awalnya,
universitas itu sebuah masjid yang didirikan pada 859 oleh Fatima al-Fihri.
Pada perjalanannya, berkembang menjadi salah satu universitas terkemuka untuk
bidang ilmu alam dan kemudian tahun 1957 berkembang dengan dilengkapi bidang
ilmu matematika, fisika, kimia, dan bahasa asing.
Kelahiran
perguruan tinggi tak bisa dipisahkan dari sifat alami manusia yang selalu
terdorong untuk mengenali lingkungan di sekitar. Dari masa ke masa, rasa
ingin tahu (curiosity) itu makin
besar sehingga manusia perlu melakukan terobosan mengenali diri dan alam
sekitar.
Jika awalnya pengetahuan-pengetahuan empiris cukup memuaskan, manusia
kemudian mulai menjelajahi ide sebagai medan petualangan yang lebih menarik. Oleh Van
Peursen, tahapan-tahapan ketertarikan manusia dengan ilmu pengetahuan
digambarkan ke dalam tiga tahap, yakni mistis,
ontologis, dan fungsional.
Ditilik
dari hipotesis Peursen itu, perguruan tinggi adalah strategi manusia untuk
membangun relasi-relasi baru dengan alam. Relasi itu dibangun dengan
pengetahuan dan kebermaknaan. Ketika upaya memaknai diri dan lingkungan tak
dapat dilakukan secara individual, diperlukan kerja kolaboratif dalam sebuah
lembaga.
Betapa
pun bidang dan jenis perguruan tinggi demikian banyak, objek yang menentukan
eksistensi mereka tetaplah satu, yakni ilmu pengetahuan.
Empat Strategi
Agar
perguruan tinggi dapat memenuhi tugas kulturalnya sebagai rumah ilmu, ada
sejumlah prinsip dan kondisi yang harus dipenuhi. Pertama';
dialog antardisiplin. Ilmu pengetahuan ibarat pohon.
Sebagaimana
Setephen Palmquist (2000) menggambarkannya sebagai pohon filsafat, disiplin
ilmu satu dengan ilmu lain saling terhubung. Agar ilmu pengetahuan berkembang,
persentuhan antardisiplin wajib terjadi. Sebagai rumah pengetahuan, jendela
dan pintu antarruang harus dijaga tetap terbuka agar tak terkungkung pada
fragmentasi akademik.
Kedua; menjaga jalinan aksiologis antara ilmu dengan realitas sosial. Leluhur
kita pernah menyampaikan pesan bahwa ‘ilmu
kelakone kanthi laku’. Sesanti ini bisa dipahami bahwa pengetahuan harus keluar dari kandang ontologis dan
epistimologisnya sehingga menemukan konteks sosial yang relevan. Ada
kewajiban moral bagi cendekiawan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuannya bagi
sesuatu di luar dirinya. Ilmu terkurung pada refleksi di ruang sunyi, tetapi
juga hadir pada ruang sosial yang riuh dan gelisah. Ilmu perlu dihadirkan
dalam berbagai aktivitas kemanusiaan.
Ketiga; kesediaan membuka pikiran. Kampus hanya dapat
melegitimasi diri menjadi rumah ilmu jika individu-individunya memiliki
pikiran terbuka. Artinya, mau menerima kebenaran versi lain dan membuka ruang
dialog terhadapnya.
Pikiran
terbuka adalah syarat wajib agar dialektika keilmuan tak tersungkur pada
klaim dan jargon. Keempat; rumah ilmu juga harus dibangun dengan prinsip
partisipasi, bukan kontrol mutlak, dan lebih-lebih dominasi. Prinsip ini amat
penting, terutama berkait keterbatasan seseorang terhadap dunianya.
Untuk
memahami sesuatu secara lebih komprehensif diperlukan sumbangan dari
tiap-tiap orang yang terlibat di dalamnya. Prinsip partisipatif ini pula yang
mestinya dikembangkan dalam kepemimpinan perguruan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar