Kampanye
dengan Fasilitas Negara
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum Tata
Negara,
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
FH Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2014
DALAM sepekan terakhir tahapan
kampanye pemilu legislatif yang tengah berlangsung dihiasi kontroversi
penggunaan fasilitas negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagian
kalangan menilai penggunaan pesawat yang disewa dengan uang negara untuk
keperluan perjalanan Presiden Yudhoyono-dalam kapasitas sebagai Ketua Umum
Partai Demokrat berkampanye merupakan pelanggaran. Sebabnya, status cuti di
luar tanggungan negara yang sedang digunakan SBY `mengharamkannya'
menggunakan semua fasilitas yang berhubungan dengan jabatan presiden.
Sementara itu, kalangan istana menilai Presiden sangat taat aturan. Yakni,
semua fasilitas yang digunakan ketika bertolak ke gelanggang kampanye masih
termasuk dalam paket pengamanan melekat bagi seorang presiden.
Sehubungan dengan itu, yang
menjadi soal, apakah `fasilitas yang berkaitan dengan jabatan' sama sekali
tidak dapat dibedakan atau dipisahkan dari `fasilitas pengamanan bagi pejabat
negara'? Hal ini penting ditelusuri karena apa yang dijelaskan pemerintah
melalui Menko Polhukam dan Mensesneg tadi seakan mengaburkan pembedaan di
antara keduanya. Penjelasan yang diberikan seolah memosisikan fasilitas
jabatan bagian dari fasilitas pengamanan bagi pejabat negara yang tidak dapat
ditanggalkan dari seorang Presiden.
Fasilitas negara
Jika ditelusuri secara saksama,
UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD memakai empat istilah
yang berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara dalam berkampanye, yaitu
`fasilitas pemerintah, fasilitas negara, fasilitas yang berkaitan dengan
jabatan, dan fasilitas pengamanan bagi pejabat negara'.
Frase `fasilitas pemerintah'
digunakan untuk memberikan larangan bagi setiap peserta pemilu menggunakan
tempat atau gedung milik pemerintah sebagai tempat atau ruang kampanye.
`Fasilitas negara' muncul dalam penjelasan Pasal 86 ayat (2) huruf e UU No
8/2012 terkait larangan bagi pegawai negeri sipil (PNS) untuk bertindak
sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. Istilah
`fasilitas yang berkaitan dengan jabatan' digunakan terkait ketentuan
kampanye yang melibatkan presiden, wakil presiden, menteri, kepala daerah,
dan wakil kepala daerah. Segala fasilitas yang berkaitan dengan jabatan
tersebut dilarang untuk dipergunakan. Adapun `fasilitas pengamanan' hadir
sebagai pengecualian dari fasilitas yang tidak dapat dipakai presiden, wakil
presiden, menteri, kepala daerah, dan wakil kepala daerah selama berkampanye.
aerah selama berkampanye.
Dari semua itu, UU tidak
membedakan secara tegas antara fasilitas pemerintah dan fasilitas negara. Sebab,
frase `fasilitas negara' justru muncul dalam ketentuan terkait larangan bagi
PNS. Hal itu juga dapat diartikan sebagai larangan penggunaan fasilitas
pemerintah yang berada di bawah penguasaan seorang PNS. Maka itu, cukup sulit
untuk memilah, apa yang dimaksud dengan fasilitas negara dan mana pula yang
dipahami sebagai fasilitas pemerintah dalam UU Pemilu.
Sementara untuk `fasilitas
jabatan' dan `fasilitas penga manan', UU Pemilu cukup tegas membedakannya.
Pembedaan dimaksud bukan terbaca dari adanya definisi yang secara jelas
dinyatakan, melainkan karena UU Pemilu menempatkan yang satu sebagai
pengecualian bagi yang lain. Yakni, fasilitas pengamanan merupakan
pengecualian dari penggunaan fasilitas jabatan yang melekat pada seorang
pejabat negara.
Konstruksi norma pengecualian
sebagaimana dimuat dalam Pasal 87 ayat (1) UU No 8/2012 harus dipahami
demikian adanya. Pasalnya, ketentuan tersebut sangat jelas, tegas, dan tidak
multitafsir. Dengan begitu, apa pun fasilitas yang melekat pada jabatan
seorang pejabat negara, termasuk presiden dan wakil presiden, sama sekali
tidak diperkenankan untuk digunakan berkampanye.
Jika diselisik lebih jauh, fasilitas
jabatan yang melekat pada seorang presiden dan wakil presiden meliputi biaya
rumah tangga, perawatan kesehatan pribadi dan keluarga, biaya pelaksanaan
tugas, rumah kediaman, kendaraan, dan pengamanan. Dari sekian banyak yang
disediakan, biaya pelaksanaan tugas dan kendaraan merupakan dua jenis
fasilitas yang sangat rawan disalahgunakan untuk keperluan kampanye.
Penggunaan fasilitas kendaraan
yang dibiayai negara begitu niscaya untuk diklaim sebagai bagian dari
fasilitas pengamanan. Kasus penggunaan pesawat atas biaya negara untuk
keperluan perjalanan SBY dalam kampanye Partai Demokrat merupakan indikasi ke
arah sana. Pengamanan dijadikan kambing hitam untuk memanfaatkan fasilitas
kendaraan jabatan presiden ketika hendak turun ke arena kampanye.
Tidak dapat dibantah, walaupun
SBY sedang dalam status cuti di luar tanggungan negara, jabatan Presiden
Republik In donesia tetap melekat padanya. Karenanya, ke selamatan SBY wajib
dijaga. Dalam konteks ini, tidak satu pun dari standar prosedur pengamanan
presiden yang ada dapat ditinggalkan, termasuk ketika SBY akan berkampanye.
Pengamanan mesti tetap dilakukan layaknya pengamanan bagi seorang presiden.
Walaupun demikian, bukan berarti
kondisi tersebut membolehkan SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat menggunakan
fasilitas negara untuk keperluan kampanye. Kendaraan yang dipergunakan mesti
tetap menjadi tanggungan partai, bukan negara.
Negara hanya dapat dibebani
biaya pengamanan, tidak lebih dari itu. Sebab, sebatas itulah negara
diposisikan bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan jiwa presiden beserta
keluarganya. Pada saat bersamaan, di sanalah batas demarkasi antara
`fasilitas yang melekat pada jabatan' dan `fasilitas pengamanan' seorang
presiden yang ikut serta dalam kampanye.
Tindak lanjut
Menyangkut keikutsertaan pejabat
negara dalam kampanye, batas pemisah antara fasilitas jabatan dan fasilitas
pengamanan itulah yang mesti dijaga dan diawasi Bawaslu. Sebab, titik rawan
penyimpangan ada di sana. Alibi bahwa fasilitas pesawat sewaan negara sebagai
fasilitas pengamanan yang melekat sangat tidak relevan dan harus
dikesampingkan. Tidak satu pun ketentuan, baik yang berhubungan dengan pemilu
maupun pengamanan presiden yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk itu.
Oleh karenanya, diperlukan
tindak lanjut terhadap kasus ini. Sehubungan dengan itu, terdapat dua
kemungkinan pelanggaran yang terjadi. Pertama, dugaan pelanggaran
administrasi. Apabila terbukti, pelanggaran tersebut harus segera dihentikan
agar negara tidak dirugikan. Pada saat bersamaan, peserta pemilu lainnya juga
tidak dirugikan akibat `keuntungan' menggunakan fasilitas negara oleh salah
satu parpol peserta pemilu. Kedua, terdapat indikasi tindak pidana pemilu.
Pemakaian uang negara untuk sewa pesawat guna keperluan kampanye dapat
digolongkan sebagai menggunakan dana kampanye yang berasal dari pemerintah. Perbuatan
tersebut secara tegas dilarang dan disertai ancaman pidana dalam UU Pemilu.
Terlepas dari apa pun hasil
pemeriksaannya, yang amat diperlukan ialah sikap tegas Bawaslu. Setiap
peserta pemilu mesti diperlakukan sama dengan peserta pemilu lainnya. Membiarkan
dugaan pelanggaran tersebut berlalu begitu saja sama halnya membiarkan Pemilu
2014 berjalan secara tidak fair. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar