Sertifikasi
dengan Cara Halal
Irwandi Jaswir ; Direktur
International Institute for Halal Research and Training (INHART),
International Islamic University Malaysia
|
REPUBLIKA,
01 April 2014
Industri halal diyakini menjadi
salah satu industri yang paling menanjak dewasa ini. Dengan jumlah penduduk
Muslim dunia yang mencapai angka 2 miliar lebih, industri halal ini diperkirakan
sebesar 3,1 triliun dolar AS, dengan sektor pangan menyumbang sebesar
seperlimanya. Pada 2010, pasaran pangan halal global mencapai 640 miliar
dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 1,5 persen. Selain pangan, industri kosmetik,
dan obat-obatan halal juga tidak kurang besarnya.
Anehnya, dengan jumlah populasi Muslim
terbesar di dunia, Indonesia belum menjadi salah satu pemain utama sebagai
produser halal dunia. Kampiun industri pangan halal dunia bukanlah
negara-negara mayoritas Muslim, seperti Australia, Brasil, bahkan Thailand.
Boroboromelirik pangsa besar yang luar biasa besar di atas, pembangunan industri
halal di Indonesia justru lebih ke arah berebut "kue" sertifikasi,
seperti yang di perebutkan Kementerian Agama dan MUI.
Bukan misi utama Sertifikasi
merupakan salah satu cara untuk memberi jaminan kalau sebuah produk yang
beredar di pasaran halal untuk dikonsumsi. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan sertifikasi, namun menjadikan sertifikasi sebagai prioritas
pembangunan industri halal merupakan tindakan yang kurang tepat.
Sertifikasi seharusnya berjalan seiring
dengan "misi" utama, yakni membangun industri halal yang sesungguhnya--yang
antara lain melakukan pembinaan kepada industri, mendidik masyarakat melalui
kesadaran halal (halal awareness),
dan tidak ketinggalan melakukan riset dan pengembangan (litbang).
Beberapa kali kami sempat
diundang instansi terkait halal di Indonesia untuk berdiskusi, namun kesan
yang muncul tak lebih kepada mengejar target sertifikasi dan melupakan aspek
yang lain, terutama litbang. Tidak dimungkiri, sertifikasi amat penting untuk
masyarakat, sehingga menjadi prioritas, namun hal itu juga memungkinkan
munculnya asumsi yang beragam di masyarakat, seperti adanya pemasukan
tersendiri buat MUI.
Persoalan intinya, sebenarnya
hanya karena aturan yang digunakan kurang jelas. MUI tidak pernah menjelaskan
secara tertulis berapa biaya pengurusan sertifikasi dan dinilai tidak
transparan. Padahal, di zaman modern seperti sekarang, manajemen sedemikian
sudah tidak bisa diterima karena akan memunculkan berbagai dugaan.
Bercontoh kepada negara jiran Malaysia,
yang sama seperti Indonesia, berambisi untuk menjadi pusat halal dunia (“World Halal Hub"), semua urusan
sertifikasi--yang dikendalikan oleh JAKIM (Jabatan Kebajikan Islam Malaysia),
berlangsung jelas, murah, transparan, dan terakreditasi.
Aplikasi harus dilakukan secara online dan hanya mereka yang memenuhi
persyaratan saja yang akan dikunjungi untuk proses auditing. Untuk mempersiapkan sertifikasi, diperlukan bimbingan.
Di sinilah pentingnya keterlibatan lembaga-lembaga lain seperti lembaga
penelitian halal di setiap universitas. Besarnya biaya sertifikasi beragam,
tapi tergolong murah di Malaysia.
Untuk industri kecil, mereka
hanya dikenakan 100 ringgit (Rp 300 ribu) untuk sertifikat per tahun,
industri menengah, 400 ringgit, dan industri multinasional, "hanya"
700 ringgit. Skala industri juga ditulis dengan jelas. Sebuah industri tergolong
kecil apabila penjualan tahunannya kurang dari 500 ribu ringgit dan jumlah
pekerja tidak melebihi 50 orang. Industri menengah, apabila penjualannya
hingga 2,5 juta ringgit dengan pekerja mencapai 150 orang, manakala industri
multinasional memiliki industri di beberapa negara dengan jumlah pekerja
melebihi 150 orang. Begitu juga untuk hotel dan restoran. Aturan yang jelas
dan tidak njelimet tertera tersedia. Mereka bisa memilih sertifikasi untuk
satu hotel atau restoran atau untuk satu dapur saja. Tarifnya sama, 100
ringgit per tahun.
Lantaran para auditor merupakan
pegawai JAKIM yang notabene pegawai negeri, tiada lagi biaya tambahan dikenakan,
karena mereka akan mendapat uang jalan (travelling
allowance) dari kantor JAKIM. Kalaupun ada biaya tambahan, itu terjadi
seandainya ada keperluan melakukan tes lanjutan di laboratorium milik
pemerintah. Biaya laboratorium dikenakan pada pemohon. Karena aplikasi
dilakukan secara online, proses sertifikasi biasanya dapat dilakukan dalam
waktu yang relatif cepat.
Aspek lain
Seperti diutarakan di atas,
sertifikasi hanya salah satu insiatif dalam membangun industri halal. Kita
seharusnya tidak hanya terfokus pada sertifikasi semata dengan melupakan
aspek-aspek lain, seperti pembinaan dan litbang Untuk hal yang terakhir,
tidak dimungkiri, kita selalu tertinggal dibanding negara-negara lain.
Bagaimana kita bisa maju kalau litbang tidak banyak dilakukan karena
ujung-ujungnya kita hanya akan tetap sebagai bangsa konsumen. Padahal, sekali
lagi, industri halal itu sangat luas adanya. Dan banyak aspek penelitian yang
harus dilakukan.
Mengembangkan bahan-bahan halal
alternatif dari sumber lokal serta pengembangan metode cepat autentikasi dan
pendeteksian komponen tidak halal tidak bisa tidak, mutlak dilakukan. Alat-alat
pendeteksian (detection kit) halal
yang berdasarkan molekuler, misalnya, malah banyak diproduksi oleh Jerman,
AS, atau Jepang. Malaysia dan Thailand juga sudah mulai mengejar.
Seorang teman malah dengan litbang
sederhananya, mengembangkan sistim rating kehalalan (dia menyebut shariah compliant) untuk semua hotel,
airlines, dan sebagainya, sehingga memudahkan orang memilih hotel dan
penerbangan yang ramah syariat. Mirip rating
hotel berbintang. Kini, usaha rekan tadi sudah sangat berjaya, mengingat
industri wisata syar'i juga tengah booming.
Intinya, sertifikasi mesti dilakukan
dengan transparan dan "cara halal"
alias bebas pungli. Di atas itu, sertifikasi sepatutnya bukanlah aktivitas
utama dalam pembangunan industri halal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar