Pemimpin
dan Selebritas
Achmad Firdaus ; Pengurus
International Student Society
National University of Singapore
|
REPUBLIKA,
01 April 2014
"Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya." (HR
Bukhari dan Muslim). Seperti itulah pesan Rasulullah SAW kepada umat manusia.
Terminologi pemimpin dalam hadis
tersebut mencakup kepemimpinan negara, masyarakat, rumah tangga, kepemimpinan
moral, dan kepemimpinan laki-laki maupun wanita. Oleh karena itu, tak seorang
pun di dunia ini lepas dari tanggung jawab kepemimpinan, paling tidak menjadi
pemimpin bagi dirinya sendiri.
Namun kenyataannya, mayoritas
orang memaknai sempit kata pemimpin dengan membatasi arti kepemimpinan
tersebut hanya pada kedudukan dan kekuasaan. Pemimpin juga selalu diidentikkan
dengan public figure dan orang
terhormat.
Sehingga, dalam perjalanannya para pemimpin pun telah menjelma
menjadi sosok yang populer dan `wajib' mendapat perlakuan istimewa, namun
terkadang tidak mampu mempersembahkan sesuatu yang istimewa bagi orang-orang
yang dipimpinnya.
Mayoritas pemimpin di berbagai
belahan dunia saat ini cenderung berpikir dan bersikap layaknya selebritas
yang haus sensasi dan popularitas. Kita banyak menyaksikan para pemimpin yang
hanya bisa membuat wacana dan berita. Mereka sering mengeluarkan pernyataan
yang hanya cocok untuk menghiasi halaman media massa. Mereka senang tampil di
tengah-tengah masyarakat agar diidolakan oleh orang banyak layaknya superstar
yang jumpa fans.
Sementara solusi konkret yang
diharapkan masyarakat untuk keluar dari masalah dan krisis yang
berkepanjangan tak kunjung tiba. Lebih `gila'nya lagi, style pemimpin seperti itu kini mulai dicontek oleh sebagian
pemimpin di berbagai daerah karena dianggap ampuh menarik simpati masyarakat.
Saat ini, hakikat kepemimpinan
digantikan oleh baju selebritas yang sarat sensasi, basa-basi, akting, dan
kamuflase. Sehingga, jika dilihat dari tren pemimpin masa kini, sepertinya
untuk tampil menjadi seorang pemimpin tidak perlu memiliki kelebihan atau skill kepemimpinan. Kalau seseorang
sudah terkenal lantaran dipopulerkan oleh media dengan kemasan menarik, maka
ia layak tampil atau ditampilkan menjadi pemimpin. Apalagi `pemilik' media
saat ini berlomba-lomba unjuk gigi untuk menjadi `orang penting’ di negeri
ini, sehingga tak mengherankan jika media-media tertentu tak henti-hentinya
mempromosikan `sang bos' demi meningkatkan elek tabilitasnya di mata
masyarakat.
Soal apakah ia memiliki
kemampuan leadership atau tidak itu
urusan nomor sekian. Karena, jika sudah berkuasa maka dengan sesuka hati ia
dapat mengangkat orang-orang cerdas menjadi pembantunya.
Fakta lain yang semakin memperparah
citra kepemimpinan di negeri ini adalah munculnya beragam strategi jitu dan
jurus praktis dari berbagai partai politik (parpol) menjelang pemilihan umum
(pemilu). Banyak parpol berlomba-lomba mencalonkan orang terkenal di
partainya masing-masing. Mungkin karena parpolnya kurang percaya diri maka
beberapa parpol menjaring calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan
selebritas. Entah itu berasal kader partai atau sekadar numpang nyaleg. Tak
peduli apakah ia memiliki visi kepemimpinan atau tidak, memiliki kredibilitas
moral atau tidak. Tapi, yang terpenting adalah calegnya orang terkenal dan
memiliki `modal' untuk dipopulerkan.
Hakikat kepemimpinan
Mayoritas orang berjuang dan
berlomba-lomba memperebutkan kursi kepemimpinan hanya untuk mencari popularitas
dan keuntungan pribadi atau kelompoknya. Menjadi pemimpin juga diyakini dapat
mengangkat status sosial seseorang sehingga dapat dipandang sebagai `orang
penting' di tengah masyarakat. Sebagian besar manusia memandang kepemimpinan
juga sebagai sebuah kemuliaan, mereka mengidentikkan kepemimpinan dengan
kekuasaan, sehingga kepemimpinan dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat.
Padahal, jika mengacu pada referensi dasar kepemimpinan maka kepemimpinan
harus dimaknai sebagai sebuah taklif (beban) dan amanah, sehingga orang yang
diberikan amanah kepemimpinan harus mengedepankan pelayanan kepada masyarakat,
karena setiap pemimpin mengemban amanah sebagai khadimul ummah (pelayan
masyarakat).
Pemimpin seharusnya memiliki
skill kepemimpinan untuk membina orang-orang di bawahnya, mengatur kehidupan
masyarakat yang dipimpinnya dan berjuang demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
bangsa, dan negara. Seorang pemimpin bukan saja harus siap me lanjutkan
kepemimpinan sebelumnya, namun ia harus mempersiapkan generasi pemimpin
penggantinya. Seorang pemimpin selain menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan,
ia juga harus siap diperintah oleh rakyatnya dalam hal yang berkaitan dengan
kemaslahatan masyarakat.
Oleh karena itu di antara
sederetan ca lon pemimpin dan caleg yang menjamur di negeri ini dengan
segudang janji manisnya, maka kita harus cerdas mencari sosok pemimpin yang
benar-benar mampu mewujudkan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik,
jangan hanya menilai dari sisi ketenaran dan banyaknya fans yang
mengidolakannya tapi harus mempertimbangkan akhlak, karakter, dan
kemampuannya untuk memimpin negeri ini. Ingatlah pesan Rasulullah, "Jika suatu urusan diserahkan pada
yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran." (HR Bukhari). Wallahu a'lam bish shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar