PR
Pertanian untuk Presiden Baru
Muhammad Firdaus ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2014
TIDAK banyak negara besar di
dunia yang masih menggantungkan ekonominya pada pertanian. Sebagian besar
pemain utama dalam perdagangan pertanian dunia, seperti AS, Tiongkok, dan
India, kontribusi pertanian mereka terhadap total nilai ekspor sudah di bawah
10%. Kecuali Brasil dan Argentina. Pangsa pertanian kedua negara itu masih
sangat tinggi. Adapun nilai ekspor pertanian Indonesia (di luar hasil hutan
kayu dan nonkayu) pada 2013 mencapai Rp415 triliun, yang berarti 20% dari
total nilai ekspor Indonesia. Dengan nilai produk pertanian yang diimpor Rp157
triliun, berarti dari sektor pertanian masih bisa ditabung sejumlah besar
devisa; saat neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit hampir Rp50
triliu sepanjang 2013.
Komisi Uni Eropa saat ini masih
mencatat Indonesia sebagai salah satu dari delapan negara terbesar di dunia
termasuk EU-27, dari indikator nilai perdagangan luar negeri produk
pertanian. Sampai sekarang pun Indonesia masih diakui sebagai penghasil nomor
satu dunia untuk beberapa komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, cengkih,
panili, kulit manis; nomor dua untuk kelapa, karet, dan cokelat; serta masih
menempati peringkat minimal empat teratas untuk lada, kopi, dan berbagai
jenis tanaman biofarmaka (EU Commission
report dan Wikipedia). Beberapa
negara seperti Vietnam dan Tiongkok belakangan muncul sebagai pengekspor
terbesar beberapa komoditas pertanian di pasar dunia, sebagai salah satu
dampak membuka diri terhadap perdagangan global sejak awal 1990-an.
Masalah utama
Sensus BPS 2013 melaporkan
sekitar 26 juta lebih rumah tangga berusaha di sektor pertanian. Artinya, ada
lebih dari 100 juta orang menggantungkan hidup langsung dari komoditas
pertanian--jumlah yang harus menjadi konsideran utama dalam membuat program
pembangunan, siapa pun yang akan memimpin Indonesia. Separuh lebih dari rumah
tangga pertanian tersebut menguasai lahan kurang dari setengah hektare;
dengan luas lahan yang digarap setiap petani Indonesia saat ini tidak sampai
sepertiga dari rata-rata penguasaan lahan petani di dunia.
Petani dengan penguasaan lahan
kecil biasanya bersifat risk-averter atau tidak berani mengambil risiko,
memiliki keterbatasan akses pembiayaan dan pasar, relaktan terhadap
perkumpulan atau organisasi, serta tidak memiliki perencanaan produksi dengan
jangka waktu lebih dari sebulan. Akibatnya, tidak mudah untuk meningkatkan
produktivitas dan nilai tambah pertanian Indonesia. Ditambah dengan lemahnya
infrastruktur penunjang seperti masih buruknya jaring an irigasi, jalan perde
saan, bahkan industri penghasil agriculture tools yang penting dalam upaya
modernisasi pertanian.
Persoalan lain yang dihadapi
ialah rendahnya nilai tambah per kapita petani Indonesia, yang setara dengan
Thailand, tapi masih sepersepuluh Malaysia. Contoh yang sangat baik dalam
implementasi strategi hilirisasi ialah Brasil. Saat ini Brasil mengekspor
sejumlah besar etanol dengan bahan baku tebu ke AS. Sebaliknya Brasil juga
mengimpor etanol berbasis jagung dari AS. Nilai ekspor etanol yang masih tiga
kali dari nilai impornya menghasilkan surplus perdagangan yang besar dengan
AS.
Untuk Indonesia yang mayoritas kelapa sawitnya diekspor dalam bentuk
pengolahan minimal, sudah ada goodwill
untuk pengembangan kawasan industri di Maloy, Kaltim atau Sei Mangke, Sumut.
Dukungan pembangunan infrastruktur dari pemerintah diperlukan segera sehingga
swasta mau masuk.
Kemandirian pangan
Kemandirian dan kedaulatan
pangan merupakan dua isu yang mulai mengemuka sejak disahkannya UU Pangan
2012. Dari sisi kemandirian pangan, bila mengacu pada statistik Bank Dunia,
Indonesia sebenarnya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara ASEAN
lain dari sisi ketergantungan terhadap impor pangan pokok utama (cereal).
Rata-rata seluruh negara di dunia mengimpor 15% makanan pokoknya. Dari angka
yang dipublikasikan, Indonesia mengimpor sekitar 10%, yang hampir sama dengan
kondisi Thailand, tetapi jauh lebih baik dari Malaysia bahkan Filipina. Memang
India, Tiongkok, dan Argentina merupakan contoh negara yang paling rendah
memasok pangan pokok utama dari luar negeri. Namun, negara pertanian lain di
belahan Amerika Latin memiliki ketergantungan rata-rata sekitar tiga kali
Indonesia.
Sering diperbincangkan di media
untuk beberapa komoditas seperti jagung dan kedelai, dua komoditas yang
memiliki nilai impor pangan tertinggi setelah gandum, Indonesia harusnya
mempunyai peluang untuk memasok lebih banyak dari dalam negeri. Memang
potensi peningkatan produktivitas keduanya masih terbuka, baik untuk di Jawa
khususnya melalui penggunaan benih-benih unggul temuan baru para pakar maupun
optimalisasi pemanfaatan lahan kering dan marginal di luar Jawa.
Namun, harus
disadari di luar negeri, terutama di Amerika Latin termasuk Filipina,
produsen jagung dan kedelai menggunakan varietas transgenik (GMO) yang sampai
saat ini belum mendapat ratifikasi dari Kementerian Pertanian.
Pernah penulis bersama Monshanto
mengkaji secara komprehensif kemungkinan penggunaannya di Indonesia, sampai
pada kesimpulan; memang belum ada kajian pasti tentang dampak buruk terhadap
kesehatan. Namun, pertimbangan kehati-kehatian terhadap kemungkinan dampak
negatifnya terhadap keseimbangan ekologi menjadi alasan utama sikap pengambil
kebijakan, sehingga saat ini upaya menggeser ke penggunaan benih hibrida
masih menjadi fokus utama. Ini contoh kecil kedaulatan pangan yang harus
dipertahankan.
Isu lain yang sering berkembang
di masyarakat ialah tentang maraknya impor hortikultura. Karena dikonsumsi
langsung oleh konsumen sehingga di-display
di sepanjang jalan dan pasar modern, impor produk hortikultura terkesan
merepresentasikan kegagalan dalam mewujudkan kemandirian pangan Indonesia.
Padahal nilai total impor sayur dan buah Indonesia 2013 sebenarnya sekitar
seperdelapan total impor produk pertanian. Selain itu, dari sayur dan buah
yang dikonsumsi, diestimasi sekitar 25%-30% total volume yang dipasok dari
impor.
Memang pemanfaatan lahan oleh petani hortikultura masih belum optimal.
Produktivitas masih bisa dinaikkan secara signifikan. Diperkirakan, belum
sampai 50% petani yang menerapkan standar baku budi daya (SOP). Selain itu,
kepastian harga saat petani panen menjadi harapan yang belum sepenuhnya
terpenuhi. Terutama saat pemerintah membuka keran impor manakala harga produk
melewati batas referensinya. Padahal UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani me negaskan bahwa pemerintah harus menjamin pasar bagi
produk yang dihasilkan petani.
PR presiden
Peluang penerapan tarif
tertinggi (bound-tariff) serta
pemanfaatan waktu genjatan senjata (peace-clause)
selama 4 tahun ke depan sebagai hasil konferensi WTO di Bali tahun lalu
merupakan contoh kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh
Indonesia untuk meningkatkan kemandirian pangan, khususnya untuk hortikultura
yang bisa didorong kinerjanya dalam waktu relatif lebih cepat.
Keberanian DPR menetapkan batas
maksimum produksi benih dari perusahaan asing sebesar 30% dengan UU
Hortikultura 2010 merupakan contoh lain kedaulatan pangan yang sedang
menunggu keberanian pemerintah untuk mengimplementasikannya.
Kelompok komoditas lain yang
mendominasi impor pertanian Indonesia ialah peternakan. Saat ini lebih dari
90% susu yang diolah perusahaan (multinasional) di dalam negeri bahan bakunya
diimpor. Peningkatan impor memang signifikan terjadi sejak mulai turunnya
tarif pada awal 1980-an.
Dalam membahas kondisi pangan
nasional, sebenarnya apa saja dan berapa banyak kita harus mengimpor?
Komoditas mana saja yang sebenarnya harus diperjuangkan baik di dalam negeri
maupun pada forum global seperti WTO? Secara umum kriteria sudah banyak
dirumuskan para ahli (Sawit;
Simatupang; FAO), seperti indikator tingkat konsumsi domestik, penyerapan
tenaga kerja dan kontribusi untuk pembangunan perdesaan. Dari naskah akademik
yang disusun Fakultas Ekonomi dan Manajamen IPB untuk persiapan negosiasi
Indonesia dalam MC-9 WTO di Bali lalu, setidaknya teridentifikasi lima
komoditas yang dianggap paling strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula,
dan sapi.
Di luar lima komoditas tersebut,
banyak produk pertanian yang saat ini konsumsi nasionalnya masih separuh atau
kurang dari yang dianjurkan FAO, seperti susu dan produk peternakan lainnya,
sayur serta buah.
Ke depan koordinasi lintas
lembaga serta lintas pusat-daerah sangat diperlukan. Beban tersebut harus
dipikul bersama. Dengan kekuatan perguruan tinggi, kementerian, LSM, dan
pengusaha, diperlukan tangan yang kuat dan bijak dari seorang presiden untuk
mengatasi persoalan klasik di negeri ini; koordinasi.
Keberpihakan penganggaran untuk
sektor pertanian dan perdesaan juga tentunya bukan sekadar wacana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar