Introspeksi
dan Retrospeksi Pemilu
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2014
Dengan hitungan cepat (quick count), sekitar akhir minggu
depan kita sudah mendapat gambaran partaipartai mana yang akan menang dalam
Pemilu 2014. Saatsaat ini cara penghitungan itu masih menjadi kontroversi. Namun,
kapan pun dan bagaimana pun hasilnya, publik tentu menanti-nanti hasil pemilu
yang diharapkan akan berlangsung `jurdil', jujur dan adil.
Pemilu 2014, yang diawali dengan
pemilihan anggotaanggota legislatif pada 9 April minggu depan, adalah pemilu
ke-11 sejak Republik ini berdiri. Di masa Orde Lama, kita hanya satu kali
menyelenggarakan pemilu, pada 1955, diikuti 29 partai politik dan individu. Di
masa Orde Baru, kita menyelenggarakan 6 (enam) kali, diawali 1971, disusul
lima kali berikutnya, mulai 1977, tiap lima tahun sekali; 1977, 1982, 1987,
1992 dan 1997. Lima pemilu yang terakhir itu disebut `Pemilu Orde Baru'. Di
masa itu, partai-partai politik peserta pemilu mengalami fusi sesuai
Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1975. Fusi melahirkan dua partai politik;
Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, ditambah dengan
Golongan Karya. Asas pemilu disebut `Luber' (langsung, umum, bebas, dan
rahasia).
Pemilu masa reformasi
Setelah Orde Baru runtuh, di
bawah pemerintahan BJ Habibie pemilu pertama di masa reformasi berlangsung
pada 1999. Jumlah partai politik peserta pemilu mekar kembali. Pemilu ke-8
itu diikuti 48 partai politik, dimenangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Tetapi, yang
menjadi presiden bukan Bu Mega, melainkan Abdurrahman Wahid dari PKB, sesuai
ketetapan Sidang Umum 1999. Dalam voting Mega kalah tipis; 313 dibanding 373
untuk Gus Dur. Bu Mega kemudian menjadi wakil presiden. Persoalannya, pemilu
waktu itu bertujuan memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Pemilihan presiden
dan wakilnya dilakukan MPR.
Megawati baru diangkat menjadi
presiden setelah MPR mencabut mandat Gus Dur sebagai presiden, 23 Juli 2001.
Megawati menjadi presiden ke-5 dan perempuan pertama yang menduduki jabatan
kepresidenan Indonesia. Menurut Wikipedia, pemerintahannya ditandai dengan
makin kuatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. MPR mengamandemen UUD `45
yang memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Itu
dianggap salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia.
Namun pada pemilu berikutnya,
2004, Bu Mega kalah (40%-60%) dari Susilo Bambang Yudhoyono, mantan menteri
koordinator bidang politik dan keamanan RI pada masa pasangan dengan Muhammad
Jusuf Kalla. Pilpres berlangsung dalam dua putaran karena tidak ada pasangan
calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres berikutnya,
pada 2009, hanya berlangsung dalam satu putaran.
Pasangan SBY-Boediono
memenangi 60,80% suara, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.
Dalam Pemilu 2014 ini, tokoh-tokoh itu masih mengisi lembaran sejarah pemilu
Indonesia, apakah sebagai pelaku yang bersaing atau sebagai king maker.
Kita menentukan masa depan
Bentuk kehidupan suatu
masyarakat adalah paduan lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat
itu mengorganisasi dirinya. Ekologi sosial memfokuskan perhatian pada
hubungan antarmanusia dalam masyarakat, lingkungan hidupnya, dan kegiatan
sosialnya. Pendekatan ekologis ini menegaskan bahwa sekalipun lingkungan
memang penting artinya untuk mengubah perilaku manusia, tetapi pada akhirnya
perilaku manusia itulah yang menentukan perubahan lingkungan sosialnya.
Itu antara lain pesan yang dapat
kita petik dari mengikuti rekam jejak sederetan pemilu di Indonesia. Setiap
pemilu diharapkan membawa peru bahan terhadap ekologi sosial berkat perilaku
kita dalam mengorganisasi diri. Pada setiap pemilu kita mengangankan
perubahan yang akan membawa masyarakat ke situasi ideal. Tetapi, bila
mengikuti perkembangan masyarakat kita sekarang, rasanya masih jauh dari yang
kita inginkan sesuai demokrasi yang kita kembangkan.
Ketika kita pindah dari Orde
Lama ke Orde Baru, kemudian ke Orde Reformasi, kita mengharapkan akan terjadi
pembangunan ekonomi demi kesejahteraan bersama, sekaligus kebebasan yang
terukur. Dalam proses itu, ada unsur-unsur positif dalam masa perjuangan yang
kita lalaikan; nasionalisme dan idealisme. Kebersamaan dan kegotongroyongan
yang pada awal berdirinya Republik ini begitu kita banggakan, seakan
tersisihkan kebutuhan pembangunan yang menuntut pragmatisme, kalau bukan
individualisme.
Bila dalam masyarakat
komunis/sosialis boleh dikata tidak ada persoalan adu-pressure, sebaliknya pasar bebas mengagungkan persaingan keras. Terjadi
adu-pressure. Walaupun di satu sisi
pertumbuhan ekonomi maju pesat, di lain sisi ketimpangan pun makin besar
karena tidak semua rakyat Indonesia yang lebih dari 250 juta ini bisa
bergerak serempak.
Itu rupanya inti tema kampanye
yang dipilih kalangan politisi maupun partai-partai politik dalam Pemilu
2014. Mudah-mudahan itu bukan sekadar tong kosong yang ditabuh untuk
mengumpulkan suara, tetapi pernyataan keyakinan untuk mengadakan perubahan.
Jangan mayoritas konstituen yang selama ini ada di lapisan bawah mendapat
mimpi hampa. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi saksi apakah Pemilu 2014
menghasilkan pemimpin-pemimpin mumpuni yang memiliki kemampuan dan moral
tinggi. Kita semua, konstituen, bisa ikut menentukan. Hati-hati membuat pilihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar