Sabtu, 05 April 2014

Introspeksi dan Retrospeksi Pemilu

Introspeksi dan Retrospeksi Pemilu

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dengan hitungan cepat (quick count), sekitar akhir minggu depan kita sudah mendapat gambaran partaipartai mana yang akan menang dalam Pemilu 2014. Saatsaat ini cara penghitungan itu masih menjadi kontroversi. Namun, kapan pun dan bagaimana pun hasilnya, publik tentu menanti-nanti hasil pemilu yang diharapkan akan berlangsung `jurdil', jujur dan adil.

Pemilu 2014, yang diawali dengan pemilihan anggotaanggota legislatif pada 9 April minggu depan, adalah pemilu ke-11 sejak Republik ini berdiri. Di masa Orde Lama, kita hanya satu kali menyelenggarakan pemilu, pada 1955, diikuti 29 partai politik dan individu. Di masa Orde Baru, kita menyelenggarakan 6 (enam) kali, diawali 1971, disusul lima kali berikutnya, mulai 1977, tiap lima tahun sekali; 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Lima pemilu yang terakhir itu disebut `Pemilu Orde Baru'. Di masa itu, partai-partai politik peserta pemilu mengalami fusi sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1975. Fusi melahirkan dua partai politik; Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, ditambah dengan Golongan Karya. Asas pemilu disebut `Luber' (langsung, umum, bebas, dan rahasia).

Pemilu masa reformasi

Setelah Orde Baru runtuh, di bawah pemerintahan BJ Habibie pemilu pertama di masa reformasi berlangsung pada 1999. Jumlah partai politik peserta pemilu mekar kembali. Pemilu ke-8 itu diikuti 48 partai politik, dimenangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Tetapi, yang menjadi presiden bukan Bu Mega, melainkan Abdurrahman Wahid dari PKB, sesuai ketetapan Sidang Umum 1999. Dalam voting Mega kalah tipis; 313 dibanding 373 untuk Gus Dur. Bu Mega kemudian menjadi wakil presiden. Persoalannya, pemilu waktu itu bertujuan memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan MPR.

Megawati baru diangkat menjadi presiden setelah MPR mencabut mandat Gus Dur sebagai presiden, 23 Juli 2001. Megawati menjadi presiden ke-5 dan perempuan pertama yang menduduki jabatan kepresidenan Indonesia. Menurut Wikipedia, pemerintahannya ditandai dengan makin kuatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. MPR mengamandemen UUD `45 yang memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Itu dianggap salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia.

Namun pada pemilu berikutnya, 2004, Bu Mega kalah (40%-60%) dari Susilo Bambang Yudhoyono, mantan menteri koordinator bidang politik dan keamanan RI pada masa pasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Pilpres berlangsung dalam dua putaran karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Pilpres berikutnya, pada 2009, hanya berlangsung dalam satu putaran. 
Pasangan SBY-Boediono memenangi 60,80% suara, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Dalam Pemilu 2014 ini, tokoh-tokoh itu masih mengisi lembaran sejarah pemilu Indonesia, apakah sebagai pelaku yang bersaing atau sebagai king maker.

Kita menentukan masa depan

Bentuk kehidupan suatu masyarakat adalah paduan lingkungan teritorialnya dan bagaimana masyarakat itu mengorganisasi dirinya. Ekologi sosial memfokuskan perhatian pada hubungan antarmanusia dalam masyarakat, lingkungan hidupnya, dan kegiatan sosialnya. Pendekatan ekologis ini menegaskan bahwa sekalipun lingkungan memang penting artinya untuk mengubah perilaku manusia, tetapi pada akhirnya perilaku manusia itulah yang menentukan perubahan lingkungan sosialnya.
Itu antara lain pesan yang dapat kita petik dari mengikuti rekam jejak sederetan pemilu di Indonesia. Setiap pemilu diharapkan membawa peru bahan terhadap ekologi sosial berkat perilaku kita dalam mengorganisasi diri. Pada setiap pemilu kita mengangankan perubahan yang akan membawa masyarakat ke situasi ideal. Tetapi, bila mengikuti perkembangan masyarakat kita sekarang, rasanya masih jauh dari yang kita inginkan sesuai demokrasi yang kita kembangkan.

Ketika kita pindah dari Orde Lama ke Orde Baru, kemudian ke Orde Reformasi, kita mengharapkan akan terjadi pembangunan ekonomi demi kesejahteraan bersama, sekaligus kebebasan yang terukur. Dalam proses itu, ada unsur-unsur positif dalam masa perjuangan yang kita lalaikan; nasionalisme dan idealisme. Kebersamaan dan kegotongroyongan yang pada awal berdirinya Republik ini begitu kita banggakan, seakan tersisihkan kebutuhan pembangunan yang menuntut pragmatisme, kalau bukan individualisme.

Bila dalam masyarakat komunis/sosialis boleh dikata tidak ada persoalan adu-pressure, sebaliknya pasar bebas mengagungkan persaingan keras. Terjadi adu-pressure. Walaupun di satu sisi pertumbuhan ekonomi maju pesat, di lain sisi ketimpangan pun makin besar karena tidak semua rakyat Indonesia yang lebih dari 250 juta ini bisa bergerak serempak.

Itu rupanya inti tema kampanye yang dipilih kalangan politisi maupun partai-partai politik dalam Pemilu 2014. Mudah-mudahan itu bukan sekadar tong kosong yang ditabuh untuk mengumpulkan suara, tetapi pernyataan keyakinan untuk mengadakan perubahan. Jangan mayoritas konstituen yang selama ini ada di lapisan bawah mendapat mimpi hampa. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi saksi apakah Pemilu 2014 menghasilkan pemimpin-pemimpin mumpuni yang memiliki kemampuan dan moral tinggi. Kita semua, konstituen, bisa ikut menentukan. Hati-hati membuat pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar