Penulisan
Sejarah Indonesia
Budi Darma ; Sastrawan, Guru Besar Pascasarjana Unesa
|
KOMPAS,
24 April 2014
Konon,
Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Budaya, Kemdikbud, pada Mei 2014 akan
menyelenggarakan pertemuan mengenai penulisan sejarah Indonesia.
Ada
beberapa perkara yang dijadikan landasan pertemuan ini, antara lain penulisan
sejarah Indonesia akhir-akhir ini simpang siur dan memancing banyak
kontroversi. Penulisan sejarah semacam ini dikhawatirkan bisa mengganggu
integrasi dan identitas bangsa.
Menghadapi
pertemuan di Yogyakarta pada Mei tersebut, Universitas Negeri Surabaya
(Unesa) telah mengadakan temu pendapat untuk menjawab tiga pertanyaan
mendasar: (a) apakah penulisan sejarah nasional Indonesia sebagai sejarah
bangsa masih relevan sebagai sarana bagi integrasi nasional dan keharmonisan
sosial; (b) apakah penulisan sejarah nasional sebagai sejarah bangsa
dilakukan hanya untuk kepentingan ilmiah murni atau berdasarkan sudut pandang
Pancasila, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan NKRI atau Indonesia- sentri; dan
(c) apakah penulisan sejarah nasional Indonesia (sejarah bangsa) masih
relevan untuk mewujudkan dan melestarikan integrasi nasional dalam era
globalisasi dan pasar bebas saat ini.
Kita dan sejarah
Sejarah
memang bisa dibolak- balik demi kepentingan penguasa atau ideologi tertentu
atau untuk menghapus citra buruk pada masa lalu. Indonesia menganggap
pejuang-pejuang kemerdekaan pada masa Perang Kemerdekaan 1945-1949 adalah
pahlawan, sedangkan Belanda menganggap mereka tak lain adalah ekstremis.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tapi sebagian
penguasa Barat menganggap yang benar
19 Desember 1949, tanggal yang menurut versi Barat ”penyerahan kedaulatan
kepada Indonesia” sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) RI-Belanda.
Kontroversi
penulisan sejarah Indonesia dahulu berpangkal pada versi Indonesia versus
versi eksternal, yaitu Belanda; sedangkan kontroversi sekarang bisa eksternal
bisa juga internal. Eksternal karena penulis-penulis sejarah pihak asing
bertentangan dengan perspektif Indonesia dan internal antara Indonesia dan
Indonesia sendiri.
Kontroversi
antarkita terjadi, antara lain, dalam menanggapi masalah pemberontakan PKI di
Madiun (1945) dan Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965. Ada usaha untuk
menghilangkan dua peristiwa itu dalam sejarah, ada pula versi yang menganggap
G30S 1965 tidak didalangi PKI, tetapi
justru oleh Jenderal Soeharto. Otonomi daerah, sementara itu, memberikan
lebih banyak kebebasan daerah untuk menampilkan sejarah daerahnya sendiri
yang mungkin kurang ”klop” dengan sejarah nasional sebagai sejarah bangsa.
Apakah
dengan ”simpang siurnya” penulisan sejarah nasional Indonesia lalu kita harus
menyerah, dengan tekad: sejarah nasional Indonesia tidak perlu ditulis?
Perlu! Bangsa tanpa sejarah identik bangsa tanpa pemikiran dan tanpa jati
diri. Karena itu, kita punya kewajiban moral, intelektual, dan nasionalisme
untuk menulis sejarah kita sendiri.
Andai
kita tidak mau menulis sejarah kita sendiri, pasti bangsa lain akan menulis
sejarah kita, sebagaimana telah terjadi selama ini. Di samping itu, banyak
penulisan sejarah karya kita sendiri sumber utamanya berdasarkan
sumber-sumber asing berupa kajian-kajian mereka terhadap kita. Perlu diingat,
kendati sumber-sumber asing itu ”canggih”, sedikit banyak tentunya dimuati
kepentingan dan ideologi asing.
Metode
dan etika penulisan sejarah yang ”obyektif” berbeda dengan metode dan etika
pengacara. Dulu ada wanita pengacara yang menangani masalah pembunuhan. Tentu
saja pembunuh yang didakwa membunuh ini menyangkal. Dalam proses selanjutnya,
ternyata pengacara ini yakin, terdakwa memang benar- benar telah membunuh
korbannya. Etika pengacara mengharuskan pengacara membuktikan terdakwa
benar-benar tidak membunuh. Karena bertentangan dengan hati nuraninya,
pengacara ini mengundurkan diri.
Penulisan
sejarah tidak bisa ”membenarkan yang salah”, tapi membenarkan yang benar dan
meluruskan yang salah. Karena itu, dua pendekatan perlu ditegakkan, yaitu
pendekatan ilmiah dan pendekatan perspektif penulisan.
Dalam
menghadapi tanggal kemerdekaan Indonesia, misalnya, ada bukti-bukti otentik
bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945. Dengan
demikian, Indonesia merdeka bukan pada 19 Desember 1949. Inilah pembuktian
ilmiah. Karena Belanda, didukung oleh Inggris, tetap ingin menjajah Indonesia
dan Indonesia tidak mau dijajah, berkobarlah Perang Kemerdekaan. Dalam perang
mempertahankan kemerdekaan ini, gugurlah para pahlawan kita. Perang
Kemerdekaan adalah perspektif Indonesia. Karena itu, perang ini bukan
pemberontakan. Dengan demikian, yang gugur adalah pahlawan, bukan ekstremis.
Inilah perspektif Indonesia dan bisa dibenarkan berdasarkan data di lapangan.
Dan, historiografi yang baku dan benar tidak akan mampu menyangkal kebenaran
ini.
Sementara
itu, perubahan-perubahan terus terjadi dengan sangat cepat, antara lain
sebagai akibat dari globalisasi dan pasar bebas yang ditunjang oleh teknologi
informasi serta transportasi yang makin canggih. Di balik perubahan-perubahan
ini pasti ada berbagai kepentingan. Karena itu, peta dunia bisa berubah,
nasionalisme juga bisa terkena dampaknya. Pendapat para pakar, antara lain
Fukuyama, bahwa periode ”negara bangsa akan berakhir” dan manusia masa kini
menghadapi ”akhir zaman sejarah” bisa saja benar, apalagi kalau kita bersikap
pasrah.
Kalau
kita takluk pada berbagai tekanan, lalu kita putuskan untuk tidak menulis
sejarah nasional Indonesia yang ilmiah dan berperspektif Indonesia, berarti
kita pasrah didikte oleh pihak-pihak luar. Tentu saja kita tidak mungkin
bersikap pasrah karena kendati jati diri kita mau tidak mau mengalami
dinamisasi, kita tetap bangsa Indonesia dengan jati diri Indonesia.
Studi interdisipliner
Penulisan
sejarah yang ideal tentunya didasarkan pada penelitian. Karena kita belum
research minded dengan kambing hitam dana penelitian tidak cukup, kita
cenderung didikte oleh kekuatan luar meski kekuatan luar itu mungkin
”obyektif dan benar”. Tanpa mengadakan penelitian sendiri yang mendalam,
setelah Harry A Poeze—peneliti dari Belanda—menelusuri kematian Tan Malaka
dan menemukan makamnya, kita manggut-manggut dan menganggap penelitian itu
benar.
Sebaliknya,
apabila kita menghadapi hasil penelitian yang menurut kita merusak citra
kita, seperti penelitian Joshua Oppenheimer mengenai dampak G30S, kita
menganggap hasil penelitian itu tidak benar.
Dalam
menghadapi penelitian, penulis sejarah pasti mafhum: hakikat ilmu sejarah
perlu penelitian kualitatif dan penelitian kualitatif tentunya interpretatif.
Karena interpretatif itulah maka masuk akal dan versi dalam sejarah tidak
mungkin tunggal. Justru inilah tantangan buat penulis sejarah yang
mendasarkan penulisannya dengan data penelitian untuk bersikap ilmiah dan
berperspektif Indonesia.
Perang
Dunia II telah menyadarkan manusia atas kesalahan manusia sendiri dalam
menegakkan harkat kemanusiaan. Dari kesadaran ini lahirlah cultural studies,
dibidani, antara lain, oleh Richard Hoggart dan Raymond Williams. Dari sini
pula disadari, pada hakikatnya tidak ada ilmu yang bisa berdiri sendiri
(monolitik) karena hakikat ilmu adalah saling terkait. Saling keterkaitan ini
merupakan pembenaran dari studi interdisipliner.
Kalau
paradigma studi interdisipliner dianut, sejarah bukan lagi bersifat
kronologis: tahun ini ada ini dan tahun
itu ada itu secara kronologi, tetapi mengandung berbagai aspek. Dengan
demikian, dimungkinkan adanya sejarah dengan pendekatan sosiologi, politik,
ekonomi, dan lain-lain. Dan, kalau kita bertekad untuk menulis sejarah dari
segi ilmu dengan perspektif Indonesia, maka salah satu faktor yang tidak
mungkin ditinggalkan adalah faktor budaya. Kerangka berpikir bineka tunggal
ika, dengan demikian, perlu dipertimbangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar