Anak
Usia Dini di Sekolah
Margareta Desi Restuti ; Pendidik Anak Usia Dini di Surabaya
|
KOMPAS,
24 April 2014
Siapa
pun merasakan miris yang luar biasa saat mendengar berita pelecehan seksual
yang terjadi di Jakarta International
School terhadap seorang anak usia dini. Ada beragam reaksi yang tampak di
dalam masyarakat menanggapi kejadian tersebut. Kalangan pendidik berbagi
informasi mengenai upaya mencegah kejadian serupa dapat terulang dengan fokus
utama pada setiap anak didik itu sendiri. Misalnya, bagaimana menjelaskan
kepada anak didik bagian-bagian tubuh mana yang tidak boleh dipegang oleh
orang lain atau yang tidak boleh anak didik pegang terhadap orang lain.
Beberapa
sekolah bahkan mengkaji ulang tata letak toilet dan mendesain ulang pintu
toilet, misalnya. Di kalangan orangtua, mereka semakin memberikan perhatian
terhadap sistem pertahanan dan pengamanan diri setiap anak mereka.
Setelah
kejadian, pihak sekolah menjadi sorotan dan menjadi yang paling bertanggung
jawab, mengingat peristiwa memiriskan itu terjadi di sekolah. Sebagaimana
dipahami, sekolah adalah rumah kedua bagi anak usia dini, yang dapat dimaknai,
sekolah sebagai tempat kepercayaan bagi anak usia dini.
Untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik, anak usia dini perlu kepercayaan atau trust, baik terhadap tempat maupun
orang dewasa di sekitarnya. Ketika trust itu terbentuk dan seorang anak mulai
mengeksplorasi apa yang dipercayainya, seorang anak akan menjadi yakin dan
percaya diri. Apa yang terjadi ketika rasa percaya atau trust itu dihancurkan
oleh rasa sakit, trauma, yang bahkan seorang anak usia dini belum mampu
mengungkapkan dan membahasakannya, di mana ia hanya mampu mengikuti bawah
sadarnya dalam igauan dan mimpi? Tak terbayangkan betapa dalam seorang anak
usia dini ini akan terpuruk.
Membangun rasa aman
Untuk
itu, banyak hal perlu direfleksikan dan perlu dievaluasi lagi, terutama untuk
setiap sekolah yang berkecimpung dalam pendidikan anak usia dini (PAUD).
Untuk membangun trust seorang anak usia dini tidak memerlukan fasilitas yang
mewah. Yang ia perlukan adalah rasa aman dan rasa yakin bahwa ia bisa
melakukan sesuatu. Dalam hal ini, guru memegang peranan utama di sekolah
untuk seorang anak membangun rasa percaya dan rasa amannya. Maka, diperlukan
guru yang benar-benar memahami seorang anak dan tulus.
Untuk
mendukung rasa aman dan percayanya, seorang anak usia dini memerlukan situasi
dan suasana di mana ia merasa bebas untuk bereksplorasi. Dalam hal ini, ia
membutuhkan lingkungan yang mendukungnya. Selain itu, sebaiknya sekolah untuk
anak usia dini berada terpisah dari sekolah untuk anak-anak yang level
usianya lebih tinggi, misalnya SD, SMP, atau SMA. Hal ini karena kebutuhan
anak didik akan sangat berbeda, mengingat bahwa tujuan pembelajaran bagi anak
usia dini adalah untuk peran utama stimulasi tumbuh kembang.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Stefania Maggi, Lori G Irwin, Arjumand Siddiqi, Iraj
Poureslami, Emily Hertzman, dan Clyde Hertzman, karena perkembangan anak usia
dini dipengaruhi oleh faktor dan pengalaman mereka sejak usia dini, atribut
lingkungan yang menyangkut stimulasi, dukungan, dan pengasuhan, maka
selayaknya stimulasi yang dilakukan adalah maksimal dan baik. Dalam artian,
dari para guru atau setiap orang dewasa yang ada di sekitar anak tersebut.
Juga hal-hal yang mendukung, misalnya peralatan atau furnitur yang seukuran
untuk anak-anak usia dini agar mereka memiliki keyakinan bahwa mereka bisa
melakukan segala sesuatunya sendiri.
Masalah perizinan
Kasus
ini juga menarik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk terlibat
langsung. Kemdikbud sebagai otoritas pemerintah yang berwenang mengeluarkan
izin pendirian dan izin operasional sekolah. Untuk taraf kelompok bermain dan
taman kanak-kanak (TK), izin pendirian dan izin operasional sekolah dijadikan
satu saat awal pengajuan. Untuk selanjutnya, bagi TK yang telah memiliki izin
pendirian, operasionalnya akan ditinjau ulang melalui akreditasi. Proses
pengajuan izin pendirian tidaklah mudah karena telah ditetapkannya standar
pelayanan publik sebagai pedoman untuk pendirian TK. Kemdikbud juga
menerbitkan petunjuk teknis pengelolaan taman kanak-kanak.
Yang
perlu disoroti adalah proses turunnya izin pendirian bagi sekolah tersebut.
Sebagai langkah awal, sekolah harus sudah memiliki sejumlah murid, untuk TK
minimal satu rombongan belajar Kelompok A sebanyak 20 murid dan satu
rombongan belajar Kelompok B sebanyak 20 murid. Hal ini tentu sudah didukung
dengan segala detail administrasi dan perangkat sekolah. Pihak sekolah
kemudian mengajukan proposal kepada dinas pendidikan terkait yang diwakili
oleh unit pelaksana teknis daerah bina pembinaan sekolah (UPTD BPS) di
wilayah terdekat sekolah.
Setelah
ditinjau oleh petugas yang berwenang, sekolah ini akan mendapat rekomendasi
dari Kepala UPTD BPS terkait untuk dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu
kota atau kabupaten. Dinas pendidikan di level inilah yang akan menerbitkan
surat keputusan beserta sertifikat izin pendirian dan operasional sekolah
setelah juga petugas terkait melakukan tinjauan terhadap sekolah yang
mengajukan izin.
Subyektivitas Kemdikbud
Tak
dimungkiri, subyektivitas masih dapat berperan besar dalam hal ini. Bukan rahasia
lagi di kalangan kepala sekolah bahwa masih banyak petugas peninjau, dalam
hal ini para pengawas dan penilik sekolah, yang masih bergantung pada ”salam
tempel” yang diberikan oleh sekolah yang bersangkutan meski hal tersebut
tidak dapat digeneralisasi, tetapi masih terjadi. Di sini dituntut
kemumpunian seorang penilik atau pengawas. Tak jarang, sekolah-sekolah besar
(yang melayani kalangan masyarakat menengah ke atas) dapat menjadi
”bulan-bulanan” untuk perkara izin ini.
Yang
perlu digarisbawahi adalah kemumpunian seorang penilik dan pengawas yang
dapat mempunyai diversifikasi pengetahuan dalam level pendidikan. Umumnya di
kalangan penilik atau pengawas sekolah tidak ada pemisahan itu. Mereka
menjadi penilik dan pengawas untuk semua level mulai dari TK, SD, SMP, hingga
SMA.
Tak
jarang fokus peninjauan pun menjadi tidak jelas. Bisa saja cara pandang
pengawas atau penilik sekolah akan sama terhadap semua level sekolah.
Kebanyakan mereka hanya fokus pada hal-hal yang administratif dan skeptis
tanpa mampu melihat proses pendidikan dan pengajaran dengan lebih terbuka.
Untuk
TK, fokus bisa diubah untuk lebih melihat bagaimana anak usia dini itu
belajar dan dididik. Gembirakah mereka? Menyenangkankah pembelajarannya?
Terfasilitasikah proses stimulasi yang seharusnya berjalan? Amankah
lingkungannya? Jika mereka ke toilet, apakah masih dalam jangkauan pengawasan
guru dan sebagainya. Di samping perangkat administratif, seperti buku induk
atau buku Klapper, jika ingin fokus pada administrasi, selayaknya lebih pada
buku kurikulum, program pembelajaran tahunan, program pembelajaran semester,
program pembelajaran triwulan, bulanan, mingguan, dan harian.
Proses
yang terjadi berulang-ulang dan masih besarnya peranan subyektivitas di
aparatur Kemdikbud ini menjadikan bertumbuhnya sikap apriori atau bahkan
antipati terhadap dinas pendidikan karena toh masih ujung-ujungnya duit.
Maka, banyak sekolah swasta yang mengambil jarak terhadap dinas pendidikan
terkait. Sementara Kemdikbud menjadi otoritas utama untuk pengeluaran izin
pendirian dan operasional sekolah.
Betapa
ada kesenjangan yang perlu terus-menerus dijembatani dan diubah demi masa
depan pendidikan Indonesia lebih baik. Ini menjadi tantangan terbesar serta
proyek refleksi dan evaluasi besar bagi semua pemangku kepentingan pendidikan
nasional di Indonesia, termasuk sekolah-sekolah yang terlibat di dalamnya
sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan.
Untuk
masalah Jakarta International School,
sebenarnya bukan fokus apakah sekolah tersebut sudah berizin atau belum.
Kejadian pelecehan seksual bisa terjadi di sekolah mana pun, baik yang
berizin maupun yang tidak berizin. Akan tetapi, yang terpenting saat ini
bagaimana proses perizinan tersebut bisa mendukung upaya pencegahan, bahkan
mendukung seorang anak usia dini untuk tumbuh dan berkembang dengan maksimal.
Sebab, setiap anak usia dini sangat bergantung kepada setiap orang dewasa di
sekitarnya untuk menghubungkannya dengan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar