Pemerintah
Kalah!
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum
Internasional
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 April 2014
Pemerintah akhirnya bersedia membayar uang diyat yang diminta oleh keluarga korban pembunuhan yang dilakukan Satinah.
Tentu kita patut bersyukur karena nyawa Satinah terselamatkan dari hukuman
pancung. Menjadi pertanyaan, apakah apa yang dilakukan pemerintah
telah tepat?
Preseden Buruk
Lagi-lagi
pemerintah telah membuat preseden buruk untuk melakukan pembayaran diyat setelah
pada tahun 2011 membayar diyat terpidana mati Darsem. Kali ini memang ada
sedikit bedanya, uang yang digunakan tidak semata-mata dari APBN, tetapi dari
sejumlah sumbangan termasuk dari masyarakat. Pemerintah telah meninggalkan
preseden buruk bagi pemerintahan yang akan datang. Siapa pun yang akan
menjadi pemerintah akan dalam posisi dilematis. Bila tidak membayar uang
diyat maka seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bila
mereka membayar, pertanyaannya berapa besar diyat yang akan dimintakan oleh
keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali uang yang dikeluarkan untuk
menebus nyawa Darsem. Pemerintah sebenarnya tahu,
sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto,
bahwa di belakang tuntutan diyat ada mafia. Pemerintah juga tahu bahwa
pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diyat.
Namun, pemerintah telah mengabaikan ini semua karena ingin menyelamatkan
nyawa Satinah.
Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan?
Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi
akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk
meningkatkan elektabilitas dari partai berkuasa? Semua jawaban tentu hanya di
para pengambil keputusan. Pembayaran diyatoleh pemerintah dilakukan, meski
Presiden SBY sebagai kepala pemerintah tertinggi beberapa waktu lalu meminta
masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diyat yang
fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.
Menjadi
pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dan para pembantunya
saat diputuskan pemerintah membayar diyat Satinah? Lebih janggal lagi dalam pembayaran diyat, pemerintah telah mengambil
posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke
keluarga korban. Negosiasi dan pembayaran
seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan ataupun keluarga
Satinah. Dalam konsep diyat, hubungan
antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual.
Dalam konsep tersebut, tidak seharusnya
pemerintah mengambil peran.
Dengan membayar diyat maka pemerintah telah menumbuhsuburkan
komersialisasi diyat dengan mafianya. Bahkan, pemerintah seolah
mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah. Padahal, orang
bersalah meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman.
Dengan pembayaran diyat maka seolah kejahatan yang pernah dilakukan
serta-merta hapus. Apakah publik akan mengapresiasi tindakan pemerintah
dengan pembayaran diyat? Belum tentu. Publik bisa saja menghukum keputusan
tidak tepat dari pemerintah melalui pemilihan legislatif.
Dalam
koridor demokrasi, adalah sangat mungkin kemarahan publik disalurkan dengan
tidak memilih kembali partai berkuasa. Ke depan, siapa pun yang menjadi
pemerintah kelak harus melakukan lima langkah penting terkait diyat. Pertama,
pemerintah tidak boleh lemah, mudah tunduk, dan menyerah terhadap apa pun
tuntutan dari pemeras, teroris, ataupun pelaku kejahatan. Rakyat Indonesia
menginginkan pemerintah yang kuat, cerdas, dan tidak lembek. Kedua,
pemerintah harus berkomunikasi dengan pemerintah Arab Saudi atas fenomena
pemerasan melalui diyat.
Setelah
Satinah, ada lebih dari tiga puluh orang yang menanti hukuman pancung. Adalah
tidak mungkin bila pemerintah harus menjadi kasir bagi pembayaran diyat.
Pemerintah yang akan datang harus dapat ìmemaksaî pemerintah Arab Saudi
menetapkan batas maksimum diyat. Bila pemerintah Saudi tidak melakukannya,
pemerintah akan melarang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab
Saudi. Ketiga, para perusahaan pengerahan tenaga kerja harus gencar
menyosialisasikan kepada para calon TKI untuk tidak menggunakan kekerasan,
apalagi membunuh bila mereka dianiaya atau dizalimi oleh para majikan.
Keempat,
pemerintah harus menyosialisasikan nomor kontak perwakilan Indonesia terdekat
kepada para TKI. Maka ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak wajar dari
para majikan, mereka dapat melakukan kontak kepada perwakilan Indonesia. Ini
termasuk bila mereka sedang menghadapi proses hukum. Bila perlu, pemerintah
harus membangun sistem cell di mana para TKI dapat berhubungan satu sama
lain. Ini penting agar ketika TKI sedang menghadapi kesulitan dan enggan
untuk mengontak perwakilan, mereka dapat mengontak temannya.
Temannya
inilah yang akan mengontak perwakilan. Terakhir, pemerintah
harus menghukum para TKI ilegal ataupun orang-orang yang memfasilitasi para
TKI ilegal. Mereka harus dibuat jera. Hal ini karena TKI ilegal ketika
mendapat kesulitan akan enggan untuk berhubungan dengan perwakilan Indonesia
karena statusnya yang ilegal. Padahal bila mereka tidak mendapat pendampingan
dan menerima hukuman mati, pemerintahlah yang akan kerepotan. Satu hal yang
pasti, pemerintah yang baru tidak boleh mengulang
preseden buruk pemerintahan sekarang yang mengambil jalan pintas penyelamatan
WNI terhukum mati dengan membayar diyat. Pemerintah sekarang telah kalah dengan
tuntutan pemeras! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar