Partisipasi
dan Pemilu
Mimin Dwi Hartono ; Koordinator Jaringan
Pembangunan Berkelanjutan Indonesia
|
TEMPO.CO,
09 April 2014
Dalam
setiap pemilihan umum (pemilu), angka partisipasi masih dipakai sebagai
indikator terpenting keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum. Pada masa
Orde Baru, angka partisipasi warga negara dalam memilih jauh lebih tinggi
dibanding pemilu era reformasi yang akan segera terlaksana untuk ketiga kalinya
(2004, 2009, dan 2014).
Pada era
Orba yang hanya diikuti oleh tiga parpol--PPP, Golkar, dan PDI--angka
partisipasi hampir mencapai 100 persen karena doktrin penguasa kepada warga
negara bahwa memilih adalah kewajiban. Yang tidak memilih dianggap telah
melawan negara (subversi) dan dikriminalkan. Sebagian besar suara digiring
lari ke Golkar sebagai penguasa tunggal waktu itu. Dua parpol lain hanya
sebagai "pelengkap penderita".
Sedangkan
di era reformasi, yang ditandai dengan perombakan struktur dan pelaksanaan
pemilu serta membaiknya kesadaran hak asasi manusia dan politik warga, angka
partisipasi menurun secara drastis. Pada Pemilu 2009, angka partisipasi
sebanyak 78 persen, sebelumnya pada 2004 sebanyak kurang-lebih 88 persen.
Memilih dimaknai sebagai hak asasi warga, sehingga mempunyai kebebasan untuk
memilih ataupun tidak. Bagaimana dengan angka partisipasi pada pemilu 9 April
ini?
Memakai
angka partisipasi sebagai indikator keberhasilan pemilu bisa menjebak. Dalam
pemerintahan yang otoriter semasa Orba, partisipasi adalah hasil dari
mobilisasi dan indoktrinasi penguasa dengan mempergunakan kekuatan militer
untuk memaksa warga mempergunakan hak pilihnya. Tingginya angka partisipasi
adalah ukuran yang semu, tidak bisa dipergunakan sebagai indikator
keberhasilan pelaksanaan pemilu pada waktu itu.
Yang
terjadi adalah sebaliknya, terjadi pelanggaran hak politik, yaitu hak pilih,
karena seseorang mempergunakan hak pilihnya bukan atas dasar kesadaran, tapi
karena dipaksa. Mobilisasi partisipasi terjadi dari tingkatan penguasa di
tingkat desa hingga pemerintah pusat untuk mengukuhkan kekuasaan partai
penguasa.
Pada
masa reformasi, turunnya angka partisipasi bukan semata kegagalan dalam
penyelenggaraan pemilu. Justru yang terjadi sebaliknya, yaitu tumbuhnya
kebebasan sipil dan politik bagi warga atas hak pilihnya. Memilih bukan
merupakan kewajiban, melainkan hak asasi manusia.
Dengan
begitu, angka partisipasi bisa merefleksikan beragam makna. Pertama, bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat
terhadap partai politik. Meskipun orde reformasi adalah era multipartai,
partai politik masih gagal dalam mengekspresikan kedaulatan rakyat. Parpol
hanya menjadi alat bagi elite politik untuk memobilisasi suara rakyat guna
ikut berebut kue kekuasaan. Rendahnya angka partisipasi dengan demikian bukan
semata kegagalan penyelenggaraan pemilu, tapi kegagalan partai politik dalam
mendapatkan kepercayaan rakyat.
Kedua,
angka partisipasi yang beragam dari satu daerah ke daerah lain menunjukkan
tingkat kedewasaan demokrasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda. Jika
angka partisipasi warga di kota lebih rendah daripada di pedesaan, bukan
berarti kedewasaan politik di desa lebih baik. Tapi, bisa berarti bahwa minim
atau dibatasinya akses informasi di desa, sehingga tidak ada banyak pilihan
bagi warga untuk tidak memilih.
Kehidupan
di desa yang lebih kuat kohesi sosialnya dan dekat secara kultur sering
menjadi hambatan bagi warga dalam merefleksikan kebebasan hak pilihnya.
Sedangkan di kota, masyarakat lebih bebas untuk mengekspresikan hak pilihnya
tanpa dibebani oleh emosi dan persoalan kultur. Dengan demikian, angka
partisipasi harus dimaknai secara beragam, bergantung pada konteks sosial dan
budaya setempat.
Menurut
Sherry Arnstein (1969), ada berbagai tingkatan kualitas partisipasi. Dari
manipulasi, mobilisasi, konsultasi, hingga keterlibatan masyarakat secara
seutuhnya (partisipasi sejati). Sampai saat ini, partisipasi masih sebatas
pada konsultasi, yang tentunya lebih baik daripada era Orba, di mana
partisipasi sebenarnya adalah mobilisasi dan manipulasi.
Idealnya,
untuk mewujudkan pemilu yang kredibel dan berkualitas, harus diciptakan ruang
dan mekanisme partisipasi yang seutuhnya, di mana warga menyusun mekanisme
demokrasi dan mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang mengikat
partai politik dan negara.
Konteks
majunya Jokowi sebagai calon presiden bisa menjadi contoh bahwa partisipasi
yang seutuhnya mulai tampak dan tumbuh. Kekuatan dan suara rakyat yang
direfleksikan melalui berbagai media, baik polling, diskusi, maupun gerakan
dukungan di daerah-daerah, telah berhasil menjadi kekuatan penekan dari atas
ke bawah, sehingga akhirnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP
menunjuk Jokowi sebagai capres.
Semoga
hal tersebut menjadi awal yang baik bagi semakin tumbuhnya partisipasi yang
utuh untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Partisipasi
yang utuh bisa membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif, serta warga
negara yang aktif terlibat dalam mengontrol pemerintahan secara
berkelanjutan. Semoga pemilu 9 April
2014 menjadi tonggaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar