Malaikat
Penolong
Dianing Widya ; Novelis
|
TEMPO.CO,
09 April 2014
Kampanye
sudah lewat. Tapi tak bisa begitu saja lepas dari ingatan kita bagaimana
hiruk-pikuk kampanye itu. Janji-janji meluncur bagai lautan hujan. Semua
partai dan caleg berlomba-lomba mengulurkan tangan kepada rakyat. Para
politikus mendadak menjadi malaikat penolong. Polanya persis sama seperti
pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka hanya datang kepada rakyat ketika kampanye.
Rakyat,
dalam situasi apa pun, memang selalu menjadi obyek bagi para politikus.
Didekati saat mereka membutuhkan dukungan demi kekuasaan. Kekuasaan
diperjuangkan dengan berbagai cara. Mereka tak hanya menebar janji, tapi juga
menebar uang dan barang. Rakyat memang menerima karena menganggap pemberian
itu wajar. Suap para politikus kepada rakyat disambut dengan gurauan renyah "wani piro?". Gurauan itu
seperti hendak menandai adanya praktek transaksi jual-beli dalam perolehan
suara.
Jika
ditilik lebih jauh, tindakan memberi uang ataupun barang bukan hanya
mencederai pesta demokrasi. Itu sekaligus preseden buruk bagi rakyat.
Sesungguhnya di sini politikus sedang mengajarkan, "Beginilah cara menyuap." Dalam bahasa lain, "Saya menyuap Anda, maka Anda harus
memilih saya." Di sana memang tidak ada "perjanjian"
secara formal, tapi tidak bisa dielakkan ada paksaan halus untuk memilih.
Dalam
konteks inilah praktek korup dan suap menjadi lestari. Untuk menduduki
kekuasaan, politikus harus mampu menyuap rakyat. Berapa pun besar nominalnya,
tak jadi soal. Ibarat bertani atau berladang, tentulah harus ada modalnya.
Ini adalah pohon yang mereka tanam yang pada saatnya akan mereka petik
buahnya.
Maka,
kekuasaan pun bukan lagi jalan untuk mengabdi, tapi jalan untuk menggemukkan
pundi-pundi. Ia hanya (dan hanya) sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan.
Bahkan, bukan cuma menjanjikan duit banyak, tapi juga popularitas dan
peningkatan kelas sosial. Politik pun menjadi salah satu jalan untuk naik ke
kelas sosial lebih tinggi. Perekrutan yang dilakukan partai sering bukan
didasari kecakapan. Mereka lebih senang sosok yang dikenal. Lihatlah betapa
banyak selebritas mendadak jadi politikus.
Lewat
politik, siapa pun bisa menduduki kelas sosial baru yang lebih tinggi.
Bahkan, maling pun bisa naik kelas sosial, jika ia memilih jalan politik.
Yang terpenting ia punya modal untuk itu. Tidak selalu modal duit, terpenting
terkenal, relasi dan kedekatan dengan link partai politik. Setelah itu
tinggal merancang strategi dan taktik, kalau perlu menjual tanah warisan atau
pinjam sana-sini. Sebab, toh nanti uang itu akan kembali.
Jadi,
pemilu menjadi jalan personal bagi para calon legislator untuk meraih
kesuksesan dan kemakmuran dirinya sendiri. Rakyat adalah urusan kedua. Sebab,
memikirkan rakyat adalah bagian dari job description pekerjaannya. Ia duduk
di gedung parlemen untuk mencari uang, bukan sedang mengabdi. Ini sama saja
dengan orang-orang yang bekerja di perusahaan, melayani pelanggan adalah
bagian dari deskripsi pekerjaan (tugas), bukan sebagai pengabdian.
Adapun
jika itu pengabdian, ia tidak menggantungkan hidup (apalagi memperkaya diri)
pada apa yang dia lakukan. Maka itu, orang-orang yang kita saksikan hari-hari
ini bukanlah malaikat penolong, tapi segerombolan pemburu yang sedang mencari
mangsa. Mereka siap memakan apa saja dan siapa saja. Mereka sangat buas dan
berbahaya. Waspadalah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar