Negeri
Yatim Piatu
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi
Indonesia”
|
KOMPAS,
09 April 2014
SUATU
pagi di pasar tradisional di kampung halaman saya, Caruban, Madiun, seorang ibu penjaja penganan
menyodorkan uang Rp 10.000 kepada
kolektor koperasi simpan pinjam. Ibu
ini meminjam Rp 100.000 dan mengangsur Rp 10.000 setiap hari sebanyak 11 kali.
Koperasi
semacam ini leluasa beroperasi, bahkan banyak yang bertransaksi tanpa
dokumen. Di pelosok desa dan kota, pegadaian swasta dengan jaminan bukti
pemilikan kendaraan bermotor dan barang berharga lainnya merajalela seolah
tanpa kontrol. Meski bunga sangat tinggi, debitor terus bertambah.
Belum
lama ini, terulang lagi ”ritual tahunan” ketika harga cabai merah keriting
eks impor melonjak sampai Rp 75.000-Rp 100.000 dari biasanya hanya Rp
25.000-Rp 30.000 per kilogram. Harga cabai produk lokal di tingkat petani
justru jatuh sehingga petani tak menikmati kenaikan harga. Mafia menguasai
tata niaga dan kuota impor digunakan sebagai pengendali harga. Petani dan
konsumen selalu dikorbankan.
Jika
bertandang ke Jawa dan Sumatera, sejauh mata memandang, minimarket modern
kini mengepung kota dan desa. Kita tak tahu ke mana perginya warung-warung
kecil dan toko-toko kelontong tradisional.
Asap dan
banjir kini rutin menimpa Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Episode ”panen”
kerusakan dahsyat ekosistem hutan tropis terus berlangsung sejak 20-30 tahun
lalu. Di Jambi, ekspansi pesat perkebunan besar memaksa local genus setempat,
Suku Anak Dalam, terusir dari kawasannya, sebagian terpaksa menggelandang ke
kota.
Ilustrasi
sejumlah fakta tersebut tegas menunjuk watak rezim neoliberal. Bersama banyak
peristiwa getir lainnya, kita menyaksikan berkuasanya para pemilik modal dan
melembaganya premanisme yang menyetir hajat orang banyak.
Yatim piatu
Ketika
memimpin tim penulisan buku Bank Indonesia, Menuju Independensi Bank Sentral
bersama Didik J Rachbini dkk, 1999,
saya antusias karena UU Nomor 23 Tahun 1999 tegas melarang intervensi
pemerintah terhadap BI sehingga mencegah terulangnya kasus pemberian dana
talangan (BLBI) ratusan triliun 1997/1998. BI fokus pada tujuan utamanya:
menciptakan stabilitas moneter dan sistem pembayaran. Tugas pengawasan dan
pengaturan perbankan dan lembaga keuangan nonbank dialihkan ke lembaga lain
(Otoritas Jasa Keuangan/OJK).
Peralihan
ini ternyata tak menghapus karakter business as usual otoritas keuangan.
Praktik operasi perbankan tetap menempatkan nasabah atau debitor pada posisi
lemah. Rentenir swasta berbadan hukum bebas beroperasi. Arsitektur perbankan
yang dibangun sejak awal 2000 tidak berhasil menurunkan harga dana (cost of fund) dan menggalang modal
nasional (capital formation) untuk
memenuhi beragam jenis investasi.
Investasi
sektor usaha besar dan pasar modal tetap didominasi asing. Arus capital inflow dan outflow setiap kali mengancam stabilitas moneter. Rupiah sering
diklaim mencapai keseimbangan baru. Padahal, faktanya bermula dari posisi
tertekan.
Sejak
krisis 1997 yang berlanjut dengan integrasi ekonomi nasional dalam sistem
ekonomi global melalui ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO), kita seperti ”mengundang” penjelmaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya berkuasa lagi. Konfigurasi
praktik bisnis dan keuangan yang berlangsung jelas mempertontonkan hegemoni
modal berkekuatan politik.
Terdapat
14 sektor strategis yang terbuka bagi asing dengan rentang kepemilikan 49
persen sampai 95 persen. Seluruh kekuatan ekonomi nasional seperti inferior.
Bukan semata-mata karena regulasi memberi peluang asing masuk di
sektor-sektor strategis, melainkan karena level playing field-nya tidak
setara, terutama dana dan beleid
pemerintah.
Ekses
semua ini adalah rakyat kehilangan pembela, laksana yatim piatu di negeri
sendiri. Akibat kualitas pendidikan
yang buruk, transformasi struktur ekonomi tidak mulus, dan pembengkakan
jumlah petani tak punya lahan terjadi ledakan tenaga kerja informal dan TKI.
Fenomena menjamurnya profesi tukang ojek di seluruh Tanah Air dalam 15 tahun
terakhir cukup menjadi petunjuk semakin meluasnya pengangguran terselubung.
Di
lapangan usaha, sektor usaha rakyat terus terdesak berhadapan dengan jaringan pemasaran dan
modal raksasa yang menguasai produksi dari hulu ke hilir. Muara seluruh
kekacauan ini adalah melebarnya ketimpangan dalam hampir semua lapangan
kehidupan.
Kesabaran revolusioner
Para
ekonom dan teknokrat terbiasa menyederhanakan capaian pembangunan sebagai
buah pertumbuhan ekonomi. Mereka lupa bahwa kerusakan sumber daya tak
terbarukan (hutan, tambang, ekosistem)
membuat pertumbuhan tak berkelanjutan. Utang pemerintah (dan swasta)
yang membengkak menjadi beban generasi ke generasi. Mereka juga mengabaikan
fakta kerusakan sosial (penggusuran, konflik ekonomi-politik tak
berkesudahan, pendidikan , dan gizi buruk).
Bahwa
dua jenis kerusakan besar ini harus dibayar oleh anak cucu kelak sudah lama
diingatkan para ahli (Club of Rome, 1972; Lester Brown 1981, dan Michael P
Todaro 1989). Ulasan Daoed Josoef
(Kompas, 19/3) dan Ahmad Erani Yustika (Kompas, 21/3) mengurai betapa menyesatkannya paradigma tersebut.
Musim
kampanye lalu, banyak janji bertebaran dan harapan dilontarkan untuk
menabalkan sebutan negara berdaulat dan sejahtera. Sebagai retorika politik,
jargon gagah kedaulatan pangan dan energi, kenaikan pendapatan per kapita,
jaminan sosial bagi seluruh warga miskin, dan lainnya jelas merupakan isu
lama dalam kemasan baru.
Kritik
terhadap program yang diusung parpol-parpol itu adalah lemahnya basis
sintesis pemikiran, ketiadaan peta jalan, dan kemustahilan waktu untuk
mencapainya. Ibaratnya, program itu dibangun di atas awang-awang, disokong
nafsu pragmatisme sesaat, dan cacat logika historis. Konstruksi argumennya
mengingkari seluruh realitas bangun sosial-politik-ekonomi mutakhir yang
merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan dan tali-temali praksis
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari
sejarah kita belajar pendiri bangsa cerdas merancang jalan menuju pembebasan
melalui pemupukan persatuan, visi, dan memelihara momentum sambil mencermati
perubahan geopolitik dan geoekonomi dunia. Pesan moralnya jelas, perjuangan
menuju kemandirian bangsa adalah sebuah proses peradaban yang tak dapat
dipersingkat oleh sebuah rezim. Ia menghendaki bangkitnya kesadaran kolektif
yang mencukupi syarat untuk mewujudkan ideal berbangsa dan bernegara.
Kesadaran kolektif bangsa itu membutuhkan persatuan bukan persatean,
kesepahaman bukan kezaliman, kegotongroyongan bukan perkongsian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar