Pakta
Integritas, Peluang Titik Balik Pendidikan
Anita Lie ; Direktur Program
Pascasarjana Unika Widya Mandala, Surabaya
|
KOMPAS,
09 April 2014
UJIAN nasional sudah di depan mata.
Di beberapa daerah, kepala daerah dan kepala dinas pendidikan melakukan
penandatanganan ”pakta integritas” untuk mendeklarasikan janji kejujuran.
Pada Minggu, 6 April
2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini dan Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Ikhsan menerima
penandatanganan pakta integritas oleh sekitar 1.800 kepala sekolah se-Surabaya
bersamaan dengan peluncuran rapor online, try-out online, Pusat Pangkalan Data Online dalam rangkaian
Program Surabaya Belajar.
Surabaya bukanlah yang
pertama mendeklarasikan komitmen kejujuran ini. Pada tahun ajaran 2009/2010,
DI Yogyakarta menanggung akibat ketidaklulusan tertinggi (meningkat 400
persen), tetapi mendapatkan pengakuan dari Badan Standardisasi Nasional Pendidikan
(BSNP) sebagai provinsi dengan penyelenggaraan UN paling jujur. Sebagai satu
kota yang menuju sembilan besar untuk sistem informasi inovasi pelayanan
publik terbaik, sudah saatnya status Surabaya sebagai barometer bagi upaya
peningkatan mutu pendidikan beranjak ke tingkat yang lebih tinggi dari
sekadar capaian persentase kelulusan UN. Tantangan selanjutnya: menembus
kesemuan dan meraih capaian mutu pendidikan secara nyata dan jujur.
Kejujuran dan hambatan
Kejujuran adalah
landasan bagi pengembangan karakter. Sia-sialah berbagai upaya perbaikan
pendidikan jika di penghujung perjalanan, pada setiap jenjang, siswa
menyaksikan atau bahkan diarahkan untuk terlibat dalam praktik kecurangan
berjemaah, mulai dari bocoran soal dan kunci jawaban sampai dengan guru
pengawas ujian memberikan jawaban. Perusakan karakter guru dan siswa sudah
terjadi secara masif di seluruh Tanah Air melalui penyelenggaraan UN selama
satu dekade terakhir ini.
Perencanaan
pembangunan pendidikan membutuhkan gambaran nyata dan benar tentang kondisi
pendidikan nasional dan daerah. Berbagai indikator seperti angka partisipasi
sekolah dan angka kelulusan sekolah tak akan berarti jika perolehannya
ternyata merupakan kebohongan publik. Strategi pengembangan pendidikan yang
berlandaskan data semu juga tidak akan efektif karena tidak mengenai sasaran.
Hambatan utama dalam
gerakan titik balik menuju kejujuran dalam penyelenggaraan UN justru bukan
berasal dari lingkungan pendidikan, melainkan dari lingkaran politik yang
makin dikukuhkan di media massa. Pemanfaatan ”prestasi” daerah ataupun
nasional berdasarkan indikator semu kelulusan UN 100 persen serta
capaian-capaian lainnya dilakukan untuk kepentingan pencitraan kepemimpinan
politik. Pencitraan ini ibarat nyala api yang mendapat bahan bakar dari
pemberitaan di media massa, yang sering menyoroti angka kelulusan daerah pada
akhir tahun akademik.
Tekanan berlapis dari
kepala daerah kepada kepala dinas, yang kemudian dilanjutkan kepada pengawas
dan seterusnya kepada kepala sekolah, berujung pada fenomena kecurangan
berjemaah yang sudah sangat gamblang dilihat oleh masyarakat.
Kecurangan yang disaksikan dan bahkan ikut dilakukan para anak muda, yang
diharapkan akan jadi pemimpin bangsa di masa depan, tentunya akan menjadi penyakit
yang mematikan.
Tindakan konkret
Tampaknya kecurangan
berjemaah ini sudah mencapai titik jenuh pada berbagai kalangan. Untungnya,
beberapa daerah sudah sampai pada titik kesadaran untuk berbalik ke titik nol
dan mulai dari kejujuran. Tekad Wali Kota Surabaya bersama dengan Kepala
Dinas Pendidikan Surabaya, juga beberapa daerah lain, untuk menegakkan
integritas dalam penyelenggaraan UN perlu diapresiasi dan didukung.
Jika landasan
kejujuran ini disertai kerja keras yang efektif dan ternyata bisa
menghasilkan kelulusan yang tetap tinggi, tentunya akan menjadi sumber
inspirasi daerah lain. Namun, jika kejujuran ini nanti harus dibayar dengan
harga angka ketidaklulusan yang meningkat pada tahap awal, komitmen kejujuran
harus lebih didukung dan dikukuhkan. Siswa, guru, kepala dinas, bahkan
kepala daerah tidak perlu malu dengan situasi ini.
Ada banyak sekali
variabel yang harus ditelaah. Melalui komunikasi publik yang jelas, bahkan
masyarakat justru akan merasa bangga terhadap kepala daerah yang berani
bersikap jujur, menanggung risiko kejujurannya, dan menentang arus demi
pembentukan karakter mulia para orang muda. Dunia pendidikan mencatat
keberanian Kepala Dinas Pendidikan DIY Prof Suwarsih Madya. Ia berani
menanggung risiko kemerosotan angka kelulusan pada tahun ajaran 2009/2010
sebagai harga dari suatu kejujuran.
Kepercayaan publik
terhadap pimpinan perlu dibangun di atas fondasi kejujuran. Masyarakat sudah
makin cerdas dan tidak lagi mudah dibohongi. Komitmen kejujuran tidak cukup
hanya pada penandatanganan pakta integritas. Komitmen ini perlu dijaga dengan
langkah-langkah konkret dan serius. Pertama-tama, segala kemungkinan
terjadinya ketidakjujuran harus dipikirkan dan diakhiri. Pengalaman
bertahun-tahun dalam penyelenggaraan UN seharusnya sudah bisa menjadi bekal
untuk upaya pencegahan kecurangan UN, mulai dari penggandaan soal,
distribusi, administrasi, koreksi, sampai dengan pelaporan.
Kedua, pelanggaran
dalam UN tidak semestinya ditoleransi dengan
label ekses dan oknum. Ini bukan persoalan
persentase dalam statistik. Dalam pendidikan, rasio kecurangan yang sangat
kecil pun sudah menjadi persoalan sangat serius karena akan sangat merusak
karakter anak dan bangsa. Ibaratnya karena nila setitik rusak susu
sebelanga.
Setelah pakta
integritas, tindakan tegas perlu diberlakukan untuk memberi efek jera.
Skandal kecurangan guru dalam ujian ternyata juga terjadi di Amerika Serikat.
Juri memutuskan kepala dinas pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru
bersalah atas manipulasi nilai ujian di Negara Bagian Atlanta, akhir Maret
2013. Kepala dinas, Dr Beverly Hall, yang pernah dinobatkan sebagai Kepala
Dinas Teladan (2009), diancam hukuman penjara 45 tahun. Sistem pendidikan
Atlanta telah menghabiskan 2,5 juta dollar AS untuk investigasi pelanggaran
ini.
Ketiga, refleksi atas
fenomena perlu ditindaklanjuti dengan perbaikan sistem. Temuan paling penting
dalam skandal di Atlanta adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan pejabat
yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru telah
memicu pelanggaran kode etik pendidik. Karena itu, sistem ini harus
diinvestigasi pula dan ditinjau ulang.
Sumber kebanggaan
Akhirnya, kejujuran
tidak berarti kebodohan dan kegagalan. Kemerosotan drastis angka
kelulusan UN di DI Yogyakarta hanya terjadi di tahun awal gerakan kejujuran
dihidupkan. Dengan kerja keras, kinerja pendidikan di provinsi ini menjadi
lebih baik dari tahun ke tahun. Bukan hanya dari statistik, melainkan juga
dari motivasi dan moral para insan pendidikan di dalamnya.
Seorang pengawas
sekolah dari Kabupaten Sleman, Yulia Sri Prihartini, membanggakan kinerja
pendidikan di provinsinya dan melakukan tugasnya mendampingi sekolah dan para
guru dengan sepenuh hati. Sebab, dia tidak ditekan untuk melakukan pekerjaan
manipulasi yang bertentangan dengan nuraninya.
Kebanggaan dan
kegembiraan seorang pendidik dalam melakukan tugas merupakan modal dasar yang
tidak dicatat dalam statistik. Namun, pada saatnya kelak, ia akan mengantar
anak muda menjadi pemimpin yang berkarakter dan cerdas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar