Nasionalisme
Politik Asia dan Regionalisme
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
09 April 2014
APAKAH
regionalisme masih penting bagi politik Asia? Kita sekarang menghadapi
perubahan demi perubahan, mulai dari berbagai pemilu di manca Asia, mulai
dari Afganistan, India, Indonesia, Thailand, ataupun pengejawantahan
demokrasi dalam berbagai bentuknya, seperti protes mahasiswa di Taiwan atas
kesepakatan perdagangan Taipei-Beijing.
Semua
menunjukkan kalau politik demokrasi di Asia masih bersifat lokal, belum
sampai pada taraf membentuk ”kawasan baru” untuk menanggapi persoalan baru
yang dihadapi antarnegara, antaretnis, antar-kepercayaan, dan sebagainya.
Menyimak
pelaksanaan pemilu di sejumlah negara ini, kita melihat kalau politik Asia
bergerak ke arah ”nasionalisasi” karena semangat dan momentum demokrasi yang
kita pahami ternyata tidak setara dan sebangun dengan demokrasi yang ada
dalam bentuk norma dan nilai asalnya demokrasi itu sendiri.
Thailand
adalah bentuk konkret demokrasi berjalan asimetris mengikuti nuansa dan nilai
yang dipercaya pelakunya, memorakporandakan asas vox populi tidak lagi
menjadi sentra kebersamaan dan kesatuan dalam melaksanakan demokrasi sebagai
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang ada adalah kepentingan
politik sebagai bentuk permanen mencapai kemutlakan kekuasaan yang diperoleh
atas nama demokrasi.
Globalisasi
menghadirkan berbagai fenomena baru. Kita masih terombang-ambing antara
”Konsensus Washington” berhadapan dengan ”Konsensus Beijing” tentang laju
pertumbuhan ekonomi mengikuti asas liberalisasi tanpa campur tangan penguasa
dan membiarkan pasar bekerja sesuai nalurinya atau perlunya pengekangan
otoritarianisme.
Dari
pemilu India pun sekarang muncul emulasi baru sebagai ”Model Gujarat”
menghadirkan tokoh ultranasionalis sayap kanan Narendra Modi dari Partai
Bharatiya Janata. Modi dipercaya akan menerapkan apa yang disebut sebagai
Hindutva (nasionalis Hindu) dan kemenangannya dalam pemilu India akan merujuk
pelaksanaan politik luar negeri India yang baru.
”Model
Gujarat” adalah pertumbuhan ekonomi di salah satu kawasan India yang tidak
memiliki preseden sebelumnya. Antara 2001 dan 2012, pertumbuhan Negara Bagian
Gujarat mencapai 10,1 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
nasional untuk periode yang sama sebesar 7,6 persen.
”Model
Gujarat” terfokus tajam pada industri dan transformasi pertanian, mendorong
swasta aktif dalam kesehatan dan pendidikan, membawa infrastruktur tingkat
kota ke wilayah pedesaan, serta model desentralisasi pemerintahan melalui
skema-skema tertentu dirancang sesuai populasi penduduknya.
Berbagai
perubahan ”nasionalisasi” politik-politik Asia berpengaruh pada beberapa
faktor. Pertama, bagaimana hasil perubahan politik domestik pasca pemilu bisa
mengoperasikan sistem multipolar dalam hubungan internasional? Fokus
perhatian sekarang tidak hanya tertuju pada ”kebangkitan Tiongkok”, tetapi
juga skenario terburuk menyusutnya pertumbuhan RRT.
Kedua,
”nasionalisasi” politik Asia, semuanya bernuansa kelangsungan para
politisinya (political survival)
tanpa memikirkan dimensi modernisasi, termasuk konsistensi kebijakan nasional
dan regional berkesinambungan. Ini menjelaskan upaya pembentukan pakta
pertahanan, tetapi sulit berhadapan dengan isu-isu modernisasi, termasuk
transformasi demokrasi ataupun status kekuatan masing-masing.
Buat
Indonesia, ”nasionalisasi politik” hasil pemilu legislatif dan presiden yang
akan datang ikut menentukan model pembangunan kerja sama regionalisme, dalam
menghadapi tidak hanya persaingan ketat di bidang ekonomi dan perdagangan
ketika pasar bebas dimulai. Tapi juga harus mampu berhadapan dengan upaya
pemecahbelahan atas nama ”politik nasionalisasi” sesuai dengan kepentingan
nasional masing-masing, yang bisa mengarah pada ancaman ketahanan nasional
Indonesia yang bersender sangat dalam pada regionalisme ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar