Teror
dan Korupsi dalam Sastra
Bunyamin Fasya ; Dosen Honorer pada
Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
|
KOMPAS,
08 April 2014
Kejahatan dan korupsi silih
berganti di negeri ini. Meski ada Komisi Pemberantasan Korupsi, survei
lembaga Transparency International Indonesia menunjukkan, Indonesia termasuk
empat negara terbanyak korupsi dengan indeks persepsi korupsi 32.
Kita mungkin harus membaca cerpen
berjudul ”Pak Sarkam” karya Achdiat K Mihardja (1956), yang bercerita tentang
keluarga Pak Sarkam. Mereka hidup tenteram di Desa Pasirhuni. Pak Sarkam
hidup bahagia sebagai petani bersama anak istrinya (Nyi Emeh, Nyi Cicih, Nyi
Inah, Koko, dan anak angkatnya, Mahmud).
Namun, ketenteraman keluarga itu
hilang ketika pada suatu malam kampung mereka kedatangan penjahat bersenjata
yang merampas harta mereka hingga habis. Kejadian ini tersebar luas, dan
beberapa hari kemudian surat-surat kabar memberitakan: Gerombolan menggarong.
Penduduk Pasirhuni habis harta
miliknya. Koran laku. Orang berebutan mau baca. Maka terbacalah oleh
pemimpin. Dan pemimpin geleng-geleng kepala... (hal 14).
Untuk menyambung hidup, Pak
Sarkam meminjam uang ke tengkulak (Haji Mukti) di kota. Sebagai gantinya, Pak
Sarkam harus membagi hasil dari panen padinya.
Berulang kali
Ternyata kejahatan itu terjadi
berkali-kali. Gerombolan datang lagi dan merampas harta mereka kembali.
Sampai akhirnya Pak Sarkam mendengar kabar dari tetangganya bahwa tentara
dari kota akan datang mengamankan.
Terjadilah pertempuran antara
tentara dan gerombolan sampai membumihanguskan Desa Pasirhuni. Kebahagiaan
Pak Sarkam kandas lagi; Nyi Emeh tertembak, Nyi Cicih dan Mahmud hilang,
rumahnya hangus.
Beberapa hari kemudian,
tersiarlah berita dalam surat-surat kabar: Pertempuran hebat berkecamuk
antara sebuah patroli tentara dan gerombolan. Kampung Pasirhuni rata dibakar
gerombolan. Dan pihak tentara tidak ada kerugian apa-apa. Dan pihak
gerombolan tiga orang mati. Koran-koran laku. Orang berebutan lagi ingin
baca. Maka terbacalah oleh pemimpin, dan pemimpin geleng-geleng kepala...
(hal 18).
Akhirnya Pak Sarkam memutuskan
pergi ke kota, karena di kampung sudah tidak punya apa-apa. Dari Pak Husin,
ia mendapat informasi, kota itu penuh harapan, karena pemimpin-pemimpinnya
pandai-pandai dan pemimpin-pemimpin itu adalah bapak rakyat.
Namun, apa yang terjadi, di kota
tidak seperti yang mereka harapkan. Hidup di kota ternyata sangat berat.
Singkat cerita, Pak Sarkam dan Koko akhirnya menjadi pengemis. Nyi Inah yang
hilang entah ke mana, menjadi pelacur.
Surat-surat kabar di kota
kemudian panjang-panjang memuat berita: Perempuan-perempuan jalang sekarang
semakin merajalela di kota-kota. Jumlahnya meningkat sampai belasan ribu.
Penyakit kotor bercabul di mana-mana. Koran-koran laku. Orang berebutan mau
baca. Maka terbacalah oleh pemimpin. Dan pemimpin geleng-geleng kepala...
(hal 23).
Tanpa solusi
Kota memang menjadi daya tarik
tersendiri. Kota mengiming-imingi banyak hal termasuk kesejahteraan, tetapi
ternyata tidak demikian adanya. Justru kota memberikan penderitaan bagi
rakyat.
Kisah Pak Sarkam adalah gambaran
Indonesia: realitas perkotaan dengan pembangunan yang tidak merata,
ketidaksejahteraan masyarakat, dan jarak yang makin lebar antara yang kaya
dan yang miskin.
Demikian pun jika kita melihat
Indonesia hari ini. Prediksi yang digambarkan oleh Achdiat, sekarang terjadi
lagi.
Jika dalam cerpen Achdiat,
masyarakat diteror oleh gerombolan, kita, sehari-hari, menghadapi kejahatan
yang luar biasa.
Kasus korupsi tak henti-hentinya
menggerogoti dan melibatkan para tokoh elite di negeri ini. Rakyat menjadi
korban. Rakyat menjadi sosok-sosok Sarkam baru, tetapi pemimpin hanya
geleng-geleng kepala.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dari dulu sampai sekarang ternyata tidak menjadi cermin dalam pembangunan.
Indonesia rupanya tidak mempunyai solusi untuk menyejahterakan masyarakat. Orang-orang
yang terlibat dalam kasus korupsi saja, misalnya, masih bisa menepuk dada.
Seperti Sarkam, rakyat menjadi
korban dari kenyataan yang edan. Satu-satunya harapan hanyalah KPK, yang
karena kegigihannya justru terus digoyang.
Kesadaran kolektif
Sebagai masyarakat, kita harus
mempunyai kesadaran kolektif berkesinambungan agar upaya pemberantasan kejahatan
dan korupsi mencapai sasaran. Kita harus menyadari semua itu, dan harus sadar
pula tentang sejarah negeri ini yang telah dibangun dengan penuh perjuangan.
Seperti yang didialogkan dua
pemuda dalam cerpen Achdiat: ”Ya,” kata pemuda yang satu, ”mereka terlalu melihat ke masa depan dan
kurang memperhatikan masa kini.”
”Itulah
celakanya,” sahut temannya, ”padahal apakah masa depan itu akan bisa gemilang kalau masa kini
yang bobrok ini dibiarkan saja tetap bobrok macam sekarang. Kacau balau,
tidak aman, miskin, korup...” (hal 27).
Kesadaran-kesadaran semacam
itulah yang mesti kita jaga, bahwa masa kinilah yang lebih penting, masa
kinilah yang mesti diperbaiki hari ini.
Semoga tulisan penutup Achdiat
dalam cerpen ”Pak Sarkam” ini
menjadi kenyataan: Beberapa hari kemudian, surat-surat kabar di kota-kota
beramai-ramai memuat berita yang terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Koran
laku. Orang berebutan mau baca. Maka terbacalah oleh pemimpin. Dan pemimpin
geleng-geleng kepala saja. Wallahu
’alam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar