Rabu, 09 April 2014

Teror dan Korupsi dalam Sastra

Teror dan Korupsi dalam Sastra

Bunyamin Fasya  ;   Dosen Honorer pada Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
KOMPAS, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Kejahatan dan korupsi silih berganti di negeri ini. Meski ada Komisi Pemberantasan Korupsi, survei lembaga Transparency International Indonesia menunjukkan, Indonesia termasuk empat negara terbanyak korupsi dengan indeks persepsi korupsi 32.

Kita mungkin harus membaca cerpen berjudul ”Pak Sarkam” karya Achdiat K Mihardja (1956), yang bercerita tentang keluarga Pak Sarkam. Mereka hidup tenteram di Desa Pasirhuni. Pak Sarkam hidup bahagia sebagai petani bersama anak istrinya (Nyi Emeh, Nyi Cicih, Nyi Inah, Koko, dan anak angkatnya, Mahmud).

Namun, ketenteraman keluarga itu hilang ketika pada suatu malam kampung mereka kedatangan penjahat bersenjata yang merampas harta mereka hingga habis. Kejadian ini tersebar luas, dan beberapa hari kemudian surat-surat kabar memberitakan: Gerombolan menggarong.

Penduduk Pasirhuni habis harta miliknya. Koran laku. Orang berebutan mau baca. Maka terbacalah oleh pemimpin. Dan pemimpin geleng-geleng kepala... (hal 14).
Untuk menyambung hidup, Pak Sarkam meminjam uang ke tengkulak (Haji Mukti) di kota. Sebagai gantinya, Pak Sarkam harus membagi hasil dari panen padinya.

Berulang kali

Ternyata kejahatan itu terjadi berkali-kali. Gerombolan datang lagi dan merampas harta mereka kembali. Sampai akhirnya Pak Sarkam mendengar kabar dari tetangganya bahwa tentara dari kota akan datang mengamankan.

Terjadilah pertempuran antara tentara dan gerombolan sampai membumihanguskan Desa Pasirhuni. Kebahagiaan Pak Sarkam kandas lagi; Nyi Emeh tertembak, Nyi Cicih dan Mahmud hilang, rumahnya hangus.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita dalam surat-surat kabar: Pertempuran hebat berkecamuk antara sebuah patroli tentara dan gerombolan. Kampung Pasirhuni rata dibakar gerombolan. Dan pihak tentara tidak ada kerugian apa-apa. Dan pihak gerombolan tiga orang mati. Koran-koran laku. Orang berebutan lagi ingin baca. Maka terbacalah oleh pemimpin, dan pemimpin geleng-geleng kepala... (hal 18).

Akhirnya Pak Sarkam memutuskan pergi ke kota, karena di kampung sudah tidak punya apa-apa. Dari Pak Husin, ia mendapat informasi, kota itu penuh harapan, karena pemimpin-pemimpinnya pandai-pandai dan pemimpin-pemimpin itu adalah bapak rakyat.

Namun, apa yang terjadi, di kota tidak seperti yang mereka harapkan. Hidup di kota ternyata sangat berat. Singkat cerita, Pak Sarkam dan Koko akhirnya menjadi pengemis. Nyi Inah yang hilang entah ke mana, menjadi pelacur.

Surat-surat kabar di kota kemudian panjang-panjang memuat berita: Perempuan-perempuan jalang sekarang semakin merajalela di kota-kota. Jumlahnya meningkat sampai belasan ribu. Penyakit kotor bercabul di mana-mana. Koran-koran laku. Orang berebutan mau baca. Maka terbacalah oleh pemimpin. Dan pemimpin geleng-geleng kepala... (hal 23).

Tanpa solusi

Kota memang menjadi daya tarik tersendiri. Kota mengiming-imingi banyak hal termasuk kesejahteraan, tetapi ternyata tidak demikian adanya. Justru kota memberikan penderitaan bagi rakyat.

Kisah Pak Sarkam adalah gambaran Indonesia: realitas perkotaan dengan pembangunan yang tidak merata, ketidaksejahteraan masyarakat, dan jarak yang makin lebar antara yang kaya dan yang miskin.

Demikian pun jika kita melihat Indonesia hari ini. Prediksi yang digambarkan oleh Achdiat, sekarang terjadi lagi.

Jika dalam cerpen Achdiat, masyarakat diteror oleh gerombolan, kita, sehari-hari, menghadapi kejahatan yang luar biasa.

Kasus korupsi tak henti-hentinya menggerogoti dan melibatkan para tokoh elite di negeri ini. Rakyat menjadi korban. Rakyat menjadi sosok-sosok Sarkam baru, tetapi pemimpin hanya geleng-geleng kepala.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi dari dulu sampai sekarang ternyata tidak menjadi cermin dalam pembangunan. Indonesia rupanya tidak mempunyai solusi untuk menyejahterakan masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi saja, misalnya, masih bisa menepuk dada.

Seperti Sarkam, rakyat menjadi korban dari kenyataan yang edan. Satu-satunya harapan hanyalah KPK, yang karena kegigihannya justru terus digoyang.

Kesadaran kolektif

Sebagai masyarakat, kita harus mempunyai kesadaran kolektif berkesinambungan agar upaya pemberantasan kejahatan dan korupsi mencapai sasaran. Kita harus menyadari semua itu, dan harus sadar pula tentang sejarah negeri ini yang telah dibangun dengan penuh perjuangan.

Seperti yang didialogkan dua pemuda dalam cerpen Achdiat: ”Ya,” kata pemuda yang satu, ”mereka terlalu melihat ke masa depan dan kurang memperhatikan masa kini.”

”Itulah celakanya,” sahut temannya, ”padahal apakah masa depan itu akan bisa gemilang kalau masa kini yang bobrok ini dibiarkan saja tetap bobrok macam sekarang. Kacau balau, tidak aman, miskin, korup...” (hal 27).
Kesadaran-kesadaran semacam itulah yang mesti kita jaga, bahwa masa kinilah yang lebih penting, masa kinilah yang mesti diperbaiki hari ini.

Semoga tulisan penutup Achdiat dalam cerpen ”Pak Sarkam” ini menjadi kenyataan: Beberapa hari kemudian, surat-surat kabar di kota-kota beramai-ramai memuat berita yang terjadi di negeri Indonesia tercinta ini. Koran laku. Orang berebutan mau baca. Maka terbacalah oleh pemimpin. Dan pemimpin geleng-geleng kepala saja. Wallahu ’alam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar