Kamis, 10 April 2014

Menakar Netralitas TNI dalam Pemilu

Menakar Netralitas TNI dalam Pemilu

Teddy Rusdy  ;   Asrenum Panglima ABRI/TNI 1987-1992
SINAR HARAPAN, 10 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Setiap menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), pemimpin TNI Angkatan Darat menyampaikan perintah: TNI tidak boleh berpolitik praktis dan TNI harus netral. Kedua perintah tersebut adalah kata kunci agar anggota TNI sebagai warga negara Indonesia yang dipersenjatai, tidak nimbrung dalam kancah pesta demokrasi lima tahunan. Akan tetapi, apabila dalam pesta demokrasi terjadi sesuatu hal yang merugikan persatuan nasional, yaitu konflik politik yang menjurus perpecahan, apakah TNI tetap bersikap netral sampai negeri ini hancur?

Memang setelah Reformasi, dwifungsi ABRI dicabut. TNI kehilangan hak politiknya sebagai warga negara yang dipersenjatai. Sementara itu, purnawirawan TNI yang takut kehilangan peranannya (terutama para perwira tinggi) memasuki partai politik (parpol) untuk bisa berpolitik praktis.

Tak urung netralitas TNI adalah tidak boleh melakukan tindakan politik praktis, dalam hal tidak mendukung parpol tertentu dan tidak mempunyai hak pilih dalam pemilu. Di luar perkara tersebut, TNI mengabdi sepenuhnya sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang yang lahir dalam kancah revolusi untuk kepentingan nasional dari masa ke masa.

Sejarah mencatat ketikaYogyakarta sebagai ibu kota Indonesia diduduki NICA, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta seluruh kabinet ditawan dan dibuang ke Brastagi kemudian ke Bangka. Pihak Belanda menduga Indonesia hancur. Tak dinyana, pemerintah telah melayangkan surat kepada Mister Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera Barat untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Tak kalah pentingnya, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman masuk hutan bergerilya bersama pasukannya. Di negara lain di dunia, apabila ibu kota sudah diduduki dan presiden bersama kabinetnya ditawan musuh, habis riwayatnya. Ini tidak terjadi dengan negara kita, yang memadukan siasat diplomasi dan perang gerilya, pena, dan bedil saling isi menjadi kekuatan yang dahsyat. Indonesia tetap eksis!

Niscaya perjuangan TNI yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Sudirman mampu memaksa Belanda berunding dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dalam Konferensi Meja Bundar, 27 Desember 1949.

Galibnya dalam babakan sejarah perjuangan bangsa, TNI tidak bersikap netral, tetapi berpihak pada kepentingan nasional. Bahkan ketika Perjanjian Linggar Jati dinilai merugikan keutuhan wilayah negara, Jenderal Sudirman bergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) menuntut kemerdekaan seratus persen, baru berkenan berunding. Dari sini muncul pernyataan Jenderal Sudirman yang heroik: “Dengan atau tanpa pemerintah, TNI berjalan terus membela negara mencapai kemerdekaan 100 persen.”

Sejarah berjalan terus dengan segala perubahannya. Namun, amanat Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak pernah berubah dan harus terus diupayakan. Ketika perjuangan mewujudkan cita-cita tersebut diganggu dan terancam pelbagai kekuatan yang merongrong Pancasila dan UUD 1945, TNI harus bersikap seperti pada peran sejarahnya di masa revolusi.

Apa yang dilakukan TNI dari masa ke masa merupakan tautan sejarah dari sejak kelahirannya. Sebagai anak rakyat: TNI memanggul senjata, bergerilya, dan melempar granat semasa revolusi kemerdekaan. Gugur menjadi syuhada dengan embusan napas terakhir: Merdeka! Peristiwa tersebut diabadikan dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai jati diri TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar