Menakar
Netralitas TNI dalam Pemilu
Teddy Rusdy ; Asrenum Panglima
ABRI/TNI 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 10 April 2014
Setiap
menjelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), pemimpin TNI Angkatan Darat
menyampaikan perintah: TNI tidak boleh berpolitik praktis dan TNI harus
netral. Kedua perintah tersebut adalah kata kunci agar anggota TNI sebagai
warga negara Indonesia yang dipersenjatai, tidak nimbrung dalam kancah pesta
demokrasi lima tahunan. Akan tetapi, apabila dalam pesta demokrasi terjadi
sesuatu hal yang merugikan persatuan nasional, yaitu konflik politik yang
menjurus perpecahan, apakah TNI tetap bersikap netral sampai negeri ini
hancur?
Memang
setelah Reformasi, dwifungsi ABRI dicabut. TNI kehilangan hak politiknya
sebagai warga negara yang dipersenjatai. Sementara itu, purnawirawan TNI yang
takut kehilangan peranannya (terutama para perwira tinggi) memasuki partai
politik (parpol) untuk bisa berpolitik praktis.
Tak urung
netralitas TNI adalah tidak boleh melakukan tindakan politik praktis, dalam
hal tidak mendukung parpol tertentu dan tidak mempunyai hak pilih dalam
pemilu. Di luar perkara tersebut, TNI mengabdi sepenuhnya sebagai tentara
rakyat dan tentara pejuang yang lahir dalam kancah revolusi untuk kepentingan
nasional dari masa ke masa.
Sejarah
mencatat ketikaYogyakarta sebagai ibu kota Indonesia diduduki NICA, Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta seluruh kabinet ditawan dan
dibuang ke Brastagi kemudian ke Bangka. Pihak Belanda menduga Indonesia
hancur. Tak dinyana, pemerintah telah melayangkan surat kepada Mister
Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera Barat untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Tak
kalah pentingnya, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman masuk hutan bergerilya
bersama pasukannya. Di negara lain di dunia, apabila ibu kota sudah diduduki
dan presiden bersama kabinetnya ditawan musuh, habis riwayatnya. Ini tidak
terjadi dengan negara kita, yang memadukan siasat diplomasi dan perang
gerilya, pena, dan bedil saling isi menjadi kekuatan yang dahsyat. Indonesia
tetap eksis!
Niscaya
perjuangan TNI yang dipimpin Panglima Besar Jenderal Sudirman mampu memaksa
Belanda berunding dan mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dalam Konferensi Meja Bundar, 27
Desember 1949.
Galibnya
dalam babakan sejarah perjuangan bangsa, TNI tidak bersikap netral, tetapi
berpihak pada kepentingan nasional. Bahkan ketika Perjanjian Linggar Jati
dinilai merugikan keutuhan wilayah negara, Jenderal Sudirman bergabung dalam
Persatuan Perjuangan (PP) menuntut kemerdekaan seratus persen, baru berkenan
berunding. Dari sini muncul pernyataan Jenderal Sudirman yang heroik: “Dengan atau tanpa pemerintah, TNI
berjalan terus membela negara mencapai kemerdekaan 100 persen.”
Sejarah
berjalan terus dengan segala perubahannya. Namun, amanat Proklamasi 17
Agustus 1945, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 tidak pernah berubah dan harus terus diupayakan.
Ketika perjuangan mewujudkan cita-cita tersebut diganggu dan terancam
pelbagai kekuatan yang merongrong Pancasila dan UUD 1945, TNI harus bersikap
seperti pada peran sejarahnya di masa revolusi.
Apa yang
dilakukan TNI dari masa ke masa merupakan tautan sejarah dari sejak
kelahirannya. Sebagai anak rakyat: TNI
memanggul senjata, bergerilya, dan melempar granat semasa revolusi
kemerdekaan. Gugur menjadi syuhada dengan embusan napas terakhir: Merdeka!
Peristiwa tersebut diabadikan dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai
jati diri TNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar