Arena
Pertarungan Prabowo-Jokowi
Triyono Lukmantoro ; Dosen Sosiologi
Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 10 April 2014
Ada dua
sosok penting yang selalu mendapatkan sorotan media massa selama kampanye
Pemilihan Legislatif 2014 ini. Ekspose media itu bahkan tidak surut sampai
menjelang hari pemungutan suara. Kedua figur itu adalah Prabowo Subianto dan
Joko Widodo atau Jokowi. Kalau pemilu bisa diibaratkan sebagai sebuah arena
pertunjukan yang menghadirkan pertarungan menarik, Prabowo-Jokowi adalah dua
kontestan yang menjadi pusat perhatian. Media mungkin terlalu berlebihan
dalam melihat dan menyajikan kedua tokoh itu. Namun, agenda media telanjur
terbentuk dan realitas yang jelas hadir adalah arena pertarungan tersebut.
Media menampilkan tarung politik antara Prabowo versus Jokowi.
Pertarungan
itu tentu saja bermula dari Perjanjian Batu Tulis pada 2009. Saat itu, tokoh
dua partai membuhul kesepakatan untuk saling memberikan dukungan politik.
Prabowo dari Partai Gerindra sanggup menjadi calon wakil presiden (cawapres)
mendampingi Megawati Soekarnoputri dari PDIP sebagai calon presiden (capres)
pada Pemilihan Presiden (Pilpres)
2009. Selanjutnya, pada Pilpres 2014 dinyatakan capres adalah Prabowo
yang didukung PDIP. Apa yang ditulis pada perjanjian tersebut ibarat politik
balas jasa. Pihak yang pertama memberikan hadiah kepada pihak yang kedua
untuk bergantian menempati posisi utama (capres) dan posisi pembantu
(cawapres).
Namun,
kalkulasi matematis dalam perjanjian politik pasti mudah berubah seiring
perkembangan keadaan. Politik dalam ruang lingkup semacam itu merupakan
cerminan dari hilangnya kewajiban menjalankan ketaatan untuk kemudian
bergeser pada perhitungan meraih peluang. Situasi sosiologis melenyapkan
kepastian. Dalam kondisi demikian, ada pihak yang merasa dicederai,
dibohongi, atau dizalimi. Pihak yang merasa dinistakan inilah lantas
menyerang habis-habisan. Menyerang partai politik sebagai lembaga yang
terlibat dalam perjanjian adalah perilaku yang sulit dijalankan. Karena itu,
pihak yang diserang dan dihujat habis-habisan adalah subjek tertentu yang
bisa tampil mewakili lembaga. Prabowo sebagai pihak yang tercederai
menghunjamkan berbagai tudingan yang amat memojokkan Jokowi sebagai target
serangan. Episode ini begitu ditonjolkan media.
Personifikasi Partai
Kehidupan
partai politik (parpol) di negara kita mirip hukum besi dalam dunia
jurnalisme. Jika dalam jurnalisme dikenal peristilahan name makes news (yang
dapat diartikan bahwa nama populer mampu menciptakan berita besar), dalam
arena politik muncul konsep name makes voters (yang bisa dimaknai nama yang
terkenal mampu mengundang pemilih). Itulah yang dinamakan sebagai
personifikasi partai. Partai tidak pernah terlembagakan secara baik dalam
masyarakat, namun tokohnya sedang populer pasti akan mampu membesarkan
partai. Parpol adalah konsep yang demikian abstrak, kecuali hanya dikenali
lewat simbol dan warna utama yang menjadi pembeda dengan partai lainnya.
Sementara itu, personifikasi partai ialah sosok konkret yang sangat mudah
diidentifikasi.
Realitas
itulah yang secara dominan mewarnai pertarungan Prabowo-Jokowi. Bahkan, dua
orang ini dianggap sebagai representasi atau perwakilan masing-masing partai.
Setidaknya, gejala itu dapat dibaca pada slogan yang digunakan selama masa
kampanye. Pada satu pihak, terdapat slogan yang berbunyi “Gerindra menang, Prabowo presiden”. Pada pihak lain, muncul pula
slogan yang menggaung “PDIP menang, Jokowi presiden”. Kedua slogan itu hadir
di mana-mana dalam ruang media maupun di jalan raya. Itulah mekanisme
representasi yang dijalankan masing-masing partai. Partai menciptakan slogan
yang tidak saja berfungsi sebagai pengingat karena melontarkan tonjokan yang
bisa menyentakkan benak kesadaran setiap orang. Logika slogan yang paling
gampang dipungut dan diciptakan dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebab-akibat. Karena itu, muncullah: “Jika
partai ini menang, dia presiden”.
Slogan
adalah satu sisi untuk memastikan personifikasi partai. Mekanisme lain yang
tidak kalah penting adalah gimmick,
sebuah cara untuk menarik perhatian orang ramai dan sekaligus memersuasi para
awak media untuk memberitakannya. Prabowo dan Jokowi memakai prosedur yang
berlainan. Prabowo berorientasi pada panggung yang sebegitu glamor dan
ekstravaganza, sebuah muslihat untuk menjadikan orang awam terpukau karena
efek tampilan yang menyilaukan mata dan membuat mulut ternganga.
Kenyataan
ini dapat disimak ketika Prabowo menunggangi kuda berharga miliaran rupiah
menginspeksi barisan partainya. Prabowo ingin mengesankan dan terobsesi
dengan militerisme yang serbamembahana. Sebaliknya, Jokowi justru menampilkan
dirinya sebagai figur yang berorientasi antipanggung. Jokowi tidak membuat
suasana berjarak dengan khalayak, tetapi justru menyatu dan malah tenggelam
di dalamnya. Citra figur sederhana menjadi kunci gimmick Jokowi.
Teknik Propaganda
Perbedaan
lain antara Prabowo dengan Jokowi adalah dalam pemakaian teknik propaganda.
Dalam domain komunikasi politik, propaganda—sebagaimana diuraikan Darren G
Lilleker (2006)—adalah komunikasi yang secara cermat dirancang suatu kelompok
dalam masyarakat untuk memengaruhi sikap dan perilaku pihak-pihak lain. Hal
penting yang juga harus mendapatkan perhatian adalah proganda acap kali
menggunakan berbagai simbolisme dan retorika serta berbagai daya tarik
lainnya yang mampu membangkitkan aspek-aspek emosional dan irasional
kesadaran kita. Konsep itu bisa pula ditambahkan dengan elemen lain bahwa
propaganda diarahkan untuk membesarkan diri sendiri dan mendiskreditkan pihak
yang dianggap musuh.
Melalui
berbagai tampilannya, ditambah dengan cara berbusana dan berpeci ala Soekarno
serta retorika di depan deretan mikrofon bermodel masa perjuangan, Prabowo
melontarkan propaganda yang merendahkan Jokowi. Sajak pun bahkan diciptakan
serta dibacakan secara lantang oleh letnan jenderal yang dipecat dari dinas
ketentaraan akibat kasus penculikan aktivis dan mahasiswa itu. Judul sajak
itu adalah “Asal Santun”. Boleh bohong, menipu, dan ingkar janji, ungkap
sajak itu, asalkan santun. Tanpa perlu berpikir panjang dan menganalisis
terlalu rumit, sajak itu diarahkan untukmenyerang PDIP dan Jokowi yang
dinilai bertindak santun, tapi penuh kebohongan.
Tidak
hanya Prabowo yang membuat sajak berisi sindiran tajam bagi PDIP dan Jokowi.
Fadli Zon, anak buah Prabowo, juga membuat setidaknya dua buah sajak. Pertama
sajak “Seekor Ikan” yang menggambarkan Jokowi sebagai si ikan yang berwarna
merah, kerempeng, dan lincah. Kedua, sajak tentang “Boneka” yang
mendeskripsikan Jokowi sebagai boneka berbaju kotak merah muda dan rebah di
kota. Tentu saja sang pembuat sajak menghindar kalau diminta ketegasannya
untuk menyatakan apakah sajak itu dimaksudkan untuk menyerang pribadi dan
tubuh Jokowi.
Namun
sekali lagi, sajak tidak pernah lepas dari konteks sosial dan kesejarahan
yang melingkupinya. Terlebih lagi jika seseorang yang tidak dikenal sebagai
penyair tiba-tiba menciptakan sajak, ketidaklaziman itu justru membongkar
kedok strategi propaganda yang dikemas seakan-akan bermuatan sastra.
Apabila
dibaca teliti, sajak-sajak itu dalam teknik propaganda disebut sebagai name
calling, yang berarti memberikan julukan pada pihak lain dan terutama
seseorang dengan identitas yang serbanegatif dan sangat mendegradasikan
moralitas. Parpol lain dituding santun untuk membungkus kebohongan. Tidak
hanya itu, bahkan orang lain yang diposisikan sebagai lawan pun diolok tidak
lebih berharga daripada seekor ikan yang menghuni akuarium atau seonggok
boneka yang tidak punya hati dan sekadar untuk objek lucu-lucuan. Teknik
propaganda ini tentu saja dimaksudkan untuk meruntuhkan harga diri orang lain
dan melahirkan kesan bahwa musuh politik mereka tidak memiliki akal sama
sekali.
Menanggapi
propaganda yang menyudutkannya, Jokowi juga memakai strategi propaganda
lainnya, yakni plain folks yang dijalankan secara natural. Artinya, Jokowi
menempatkan diri seperti khalayak sasarannya, yakni menjadi orang biasa.
Jokowi mengerahkan teknik blusukan yang semakin menegaskan dia adalah seorang
pemimpin yang merakyat dan tidak mengambil jarak dengan kerumunan manusia
yang mengitarinya. Jokowi tidak membalas sebuah name calling dengan name
calling yang lain. Seperti rakyat kebanyakan yang sudah terlalu sering
mendapatkan pelecehan, perendahan, dan terlalu disepelekan, respons yang
diberikan adalah menerima semua ejekan itu dengan sikap sangat lapang dada.
Jokowi sekadar berujar “Aku rapopo”
(aku tidak apa-apa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar