Les
dan Strategi UN
Nanang Martono ; Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
|
HALUAN,
15 April 2014
SAAT ini
jutaan siswa SMA dan SMK sedang berjuang keras menghadapi soal-soal UN (Ujian
Nasional). Sebelumnya, masa menjelang UN adalah saat yang paling mendebarkan
bagi sebagian besar siswa. Mereka rela melakukan ritual apapun demi berhasil
lulus UN. Bagi siswa dari keluarga berada, mereka memilih mengikuti les atau
pelajaran tambahan.
Les
adalah aktivitas yang tidak asing di telinga anak sekolah. “Les” dimaknai
sebagai “pelajaran tambahan di luar jam sekolah”. Definisi tersebut
menyiratkan satu pertanyaan, “mengapa harus ada tambahan pelajaran di luar
jam sekolah?”; “apakah pelajaran yang diberikan di sekolah masih kurang?”.
Hal ini
bukan masalah ketika pelajaran yang diambil memang tidak diberikan di
sekolah. Misalnya, siswa mengambil les bahasa Prancis karena di sekolahnya
tidak ada pelajaran bahasa Prancis.
Jumlah LBB
(Lembaga Bimbingan Belajar) yang menyelenggarakan les semakin hari semakin
banyak. Beberapa LBB terkenal telah memperluas jaringannya dengan membuka
cabang di setiap kota. LBB mudah dijumpai di setiap kota, dari LBB terkenal
sampai LBB abal-abal.
Keberanian
LBB memperluas jaringan didorong minat siswa yang semakin tinggi. Persaingan
antar-LBB semakin ketat. Mereka mempercantik pelayanan dengan segudang janji
yang melenakan peserta les. Ada yang menawarkan kenyamanan tempat belajar,
menawarkan metode belajar andalannya, menawarkan sistem jemput bola tutor
datang ke rumah siswa, konsultasi gratis, bahkan sampai memberikan jaminan
“tidak lulus, uang kembali 100%”.
Mengapa les?
Ada dua
kata yang menjelaskan fenomena ini. Pertama, kebutuhan. Mengikuti les diposisikan
sebagai kebutuhan karena materi pelajaran di sekolah sangat terbatas, dan
kemungkinan siswa tidak paham dengan penjelasan guru. Akibatnya mereka membutuhkan
tambahan jam belajar di luar sekolah. Pertanyaan untuk alasan ini adalah
“mengapa guru tidak tuntas menyampaikan materi pelajaran, sehingga perlu
menambah jam belajar di luar jam sekolah?”
Bila jam
belajar di sekolah masih kurang dan tidak sebanding dengan jumlah materi
pelajaran dalam kurikulum, maka solusinya adalah jam pelajaran harus ditambah.
Bila perlu jam sekolah ditambah sampai sore hari, sehingga siswa tidak perlu
mengikuti les dengan biaya mahal. Ini menyiratkan bahwa jumlah materi
pelajaran tidak sebanding dengan alokasi jam pelajaran.
Kedua,
tuntutan. Secara tidak sadar, siswa memang dituntut mengikuti les di luar jam
sekolah karena di sekolah mereka hanya belajar sesuai kurikulum. Materi yang
dipelajari di sekolah adalah materi “normatif”, sedangkan di LBB siswa
mendapatkan berbagai trik untuk memahami soal dengan mudah. Tentu saja trik
ini hanya berlaku untuk soal-soal pilihan ganda. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa di sekolah, siswa belajar mengerjakan soal dengan “cara
lama”, sedangkan di LBB, siswa diajarkan mengerjakan soal dengan “cara baru,
cepat, dan praktis”, tanpa rumus-rumus panjang.
Mereka
belajar banyak strategi jitu yang “tidak dikenali” terutama oleh mereka yang
tidak mengikuti les. Sebenarnya inilah yang dijual LBB untuk menjaring
peminat les. Siswa tidak perlu menghapal rumus yang memusingkan karena mereka
telah belajar menyiasati soal-soal sulit. Bagi mereka, yang penting lulus
ujian.
Habitus baru
Meminjam
istilah Bourdieu, sosiolog Prancis, les telah menjadi habitus dalam pendidikan
modern. Ini tentu saja terjadi karena campur tangan kapitalis dalam pendidikan.
Habitus ini ditanamkan pada siswa secara tidak sadar, sehingga mereka pun mengamini
bahwa mengikuti les adalah kewajiban. Les adalah habitus yang harus diikuti
agar mereka lulus ujian. Mereka tidak puas jika hanya mengandalkan pelajaran
yang disampaikan guru di kelas. Mereka perlu “makanan tambahan” agar dapat
lulus dengan mudah tanpa harus belajar lama.
Habitus
ini akan menjadi mekanisme reproduksi sosial. Siswa yang mampu akan
menjalankan habitus ini, dan mereka dapat berhasil dengan mudah. Sebaliknya,
bagi siswa tidak mampu, mereka tidak mungkin mengikuti habitus ini. Lalu, apa
yang akan terjadi pada mereka?
Masih
meminjam istilah Bourdieu, mengikuti les juga menjadi modal sosial bagi siswa
mampu. Akhirnya, les juga menjadi variabel pembeda antara siswa yang mampu dengan
siswa yang tidak mampu. Inilah bentuk kapitalisasi pendidikan gaya baru.
Meminjam istilah dari sejarawan Austria, Illich, les juga telah menjadi agama
baru dalam proses pendidikan formal. Bila agama secara formal menjadi alat
untuk mencapai surga, maka agama baru ini mengajarkan bahwa “agar dapat
berhasil, para siswa harus mengikuti les”.
Berkaca
dari fenomena les, sebenarnya proses pendidikan di sekolah akan dibawa ke
mana? Bila mereka melampaui ujian dengan trik dan strategi yang serba instan,
lalu layakkah keberhasilan mereka menjadi indikator kualitas siswa dan
keberhasilan proses pendidikan?
Kemudian,
bila ini kenyataannya, mengapa berbagai trik dan strategi tersebut tidak
diberikan saja di sekolah, dimasukkan dalam buku pelajaran? Sehingga siswa
tidak perlu mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah? Alangkah lebih baik
bila aktivitas les ini diisi dengan pengembangan bakat dan minat siswa.
Artinya, sepulang sekolah, mereka dapat belajar hal baru yang memang tidak diperoleh
di sekolah.
Tulisan
ini menyiratkan beberapa hal. Pertama, peran sekolah dalam menyampaikan ilmu
pengetahuan masih berlangsung setengah hati dan tidak tuntas. Kedua, telah
terjadi kapitalisasi dalam dunia pendidikan dengan “metode baru”. Ketiga,
telah terjadi ketidaksetaraan sosial dalam pendidikan akibat “kewajiban” les
ini. Keempat, keberhasilan siswa dalam ujian adalah keberhasilan semu yang
diperoleh secara instan.
Terakhir,
apakah anak-anak kita masih memerlukan sekolah? Apakah tidak sebaiknya
mereka “bersekolah” di tempat les dan cukup belajar cara-cara instan saja?
Dan, sekolah cukup mengeluarkan ijasah agar pengetahuan, kecerdasan, dan
kepandaian mereka diakui masyarakat umum.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar