Kamis, 17 April 2014

Les dan Strategi UN

Les dan Strategi UN

Nanang Martono  ;   Dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
HALUAN, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SAAT ini jutaan siswa SMA dan SMK sedang berjuang keras menghadapi soal-soal UN (Ujian Nasional). Sebelumnya, masa menjelang UN adalah saat yang paling mendebarkan bagi sebagian besar siswa. Mereka rela melakukan ritual apapun demi berhasil lulus UN. Bagi siswa dari keluarga berada, mereka memilih mengikuti les atau pelajaran tambahan.

Les adalah aktivitas yang tidak asing di telinga anak sekolah. “Les” dimaknai sebagai “pelajaran tambahan di luar jam sekolah”. Definisi tersebut menyiratkan satu pertanyaan, “mengapa harus ada tambahan pelajaran di luar jam sekolah?”; “apakah pelajaran yang diberikan di sekolah masih kurang?”.

Hal ini bukan masalah ketika pelajaran yang diambil memang tidak diberikan di sekolah. Misalnya, siswa mengambil les bahasa Prancis karena di sekolahnya tidak ada pelajaran bahasa Prancis.

Jumlah LBB (Lembaga Bimbingan Belajar) yang menyelenggarakan les semakin hari semakin banyak. Beberapa LBB terkenal telah memperluas jaringannya dengan membuka cabang di setiap kota. LBB mudah dijumpai di setiap kota, dari LBB terkenal sampai LBB abal-abal.

Keberanian LBB memperluas jaringan didorong minat siswa yang semakin tinggi. Persaingan antar-LBB semakin ketat. Mereka mempercantik pelayanan dengan segudang janji yang melenakan peserta les. Ada yang menawarkan kenyamanan tempat belajar, menawarkan metode belajar andalannya, menawarkan sistem jemput bola tutor datang ke rumah siswa, konsultasi gratis, bahkan sampai memberikan jaminan “tidak lulus, uang kembali 100%”.

Mengapa les?

Ada dua kata yang menjelaskan fenomena ini. Pertama, kebutuhan. Mengikuti les diposisikan sebagai kebutuhan karena materi pelajaran di sekolah sangat terbatas, dan kemungkinan siswa tidak paham dengan penjelasan guru. Akibatnya mereka membutuhkan tambahan jam belajar di luar sekolah. Pertanyaan untuk alasan ini adalah “mengapa guru tidak tuntas menyampaikan materi pelajaran, sehingga perlu menambah jam belajar di luar jam sekolah?”

Bila jam belajar di sekolah masih kurang dan tidak sebanding dengan jumlah materi pelajaran dalam kurikulum, maka solusinya adalah jam pelajaran harus ditambah. Bila perlu jam sekolah ditambah sampai sore hari, sehingga siswa tidak perlu mengikuti les dengan biaya mahal. Ini menyiratkan bahwa jumlah materi pelajaran tidak sebanding dengan alokasi jam pelajaran.

Kedua, tuntutan. Secara tidak sadar, siswa memang dituntut mengikuti les di luar jam sekolah karena di sekolah mereka hanya bela­jar sesuai kurikulum. Materi yang dipelajari di sekolah adalah materi “nor­matif”, sedangkan di LBB siswa mendapatkan berbagai trik untuk memahami soal deng­an mudah. Tentu saja trik ini hanya berlaku untuk soal-soal pilihan ganda. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa di sekolah, siswa belajar mengerjakan soal dengan “cara lama”, sedangkan di LBB, siswa diajarkan mengerjakan soal dengan “cara baru, cepat, dan praktis”, tanpa rumus-rumus panjang.

Mereka belajar banyak strategi jitu yang “tidak dikenali” terutama oleh mereka yang tidak mengikuti les. Sebenarnya inilah yang dijual LBB untuk menjaring peminat les. Siswa tidak perlu menghapal rumus yang memusingkan karena mereka telah belajar menyia­sati soal-soal sulit. Bagi mereka, yang penting lulus ujian.

Habitus baru

Meminjam istilah Bourdieu, sosiolog Prancis, les telah menjadi habitus dalam pendidikan modern. Ini tentu saja terjadi karena campur tangan kapitalis dalam pen­didikan. Habitus ini ditanamkan pada siswa secara tidak sadar, sehingga mereka pun mengamini bahwa mengikuti les adalah kewajiban. Les adalah habitus yang harus diikuti agar mereka lulus ujian. Mereka tidak puas jika hanya mengandalkan pelajaran yang disampaikan guru di kelas. Mereka perlu “makanan tambahan” agar dapat lulus dengan mudah tanpa harus belajar lama.

Habitus ini akan menjadi mekanisme reproduksi sosial. Siswa yang mampu akan menjalankan habitus ini, dan mereka dapat berhasil dengan mudah. Sebaliknya, bagi siswa tidak mampu, mereka tidak mungkin mengikuti habitus ini. Lalu, apa yang akan terjadi pada mereka?

Masih meminjam istilah Bourdieu, mengikuti les juga menjadi modal sosial bagi siswa mampu. Akhirnya, les juga menjadi variabel pembeda antara siswa yang mampu dengan siswa yang tidak mampu. Inilah bentuk kapitalisasi pendidikan gaya baru. Meminjam istilah dari sejarawan Austria, Illich, les juga telah menjadi agama baru dalam proses pendidikan formal. Bila agama secara formal menjadi alat untuk mencapai surga, maka agama baru ini mengajarkan bahwa “agar dapat berhasil, para siswa harus mengikuti les”.

Berkaca dari fenomena les, sebenarnya proses pendidikan di sekolah akan dibawa ke mana? Bila mereka melampaui ujian dengan trik dan strategi yang serba instan, lalu layakkah keberhasilan mereka menjadi indikator kualitas siswa dan keberhasilan proses pendidikan?

Kemudian, bila ini kenyataannya, mengapa berbagai trik dan strategi tersebut tidak diberikan saja di sekolah, dimasukkan dalam buku pelajaran? Sehingga siswa tidak perlu mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah? Alangkah lebih baik bila aktivitas les ini diisi dengan pengembangan bakat dan minat siswa. Artinya, sepulang sekolah, mereka dapat belajar hal baru yang memang tidak diperoleh di sekolah.

Tulisan ini menyiratkan beberapa hal. Pertama, peran sekolah dalam menyampaikan ilmu pengetahuan masih berlangsung setengah hati dan tidak tuntas. Kedua, telah terjadi kapitalisasi dalam dunia pendidikan dengan “metode baru”. Ketiga, telah terjadi ketidaksetaraan sosial dalam pendidikan akibat “kewajiban” les ini. Keempat, keberhasilan siswa dalam ujian adalah keberhasilan semu yang diperoleh secara instan.

Terakhir, apakah anak-anak kita masih memerlukan sekolah? Apakah tidak se­baiknya mereka “bersekolah” di tempat les dan cukup belajar cara-cara instan saja? Dan, sekolah cukup mengeluarkan ijasah agar pengetahuan, kecerdasan, dan kepandaian mereka diakui masyarakat umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar