Komitmen
Kebangsaan IAIN
Imam Taufiq ; Dosen IAIN Walisongo,
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa
Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 07 April 2014
KETIKA
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo meluncurkan visi baru ìPerguruan
Tinggi Islam Riset Terdepan Berbasis Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk
Kemanusiaan dan Peradabanî pada awal tahun ini, banyak kalangan mengiringinya
dengan aneka pertanyaan mungkinkah target itu tercapai, persiapan dan modal
apa yang dimiliki IAIN dalam menggapai cita ambisius tersebut?
Belum
lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang sebenarnya menggambarkan
keterlibatan hati dan pikir untuk mengembangkan IAIN di tengah persoalan di
masyarakat ataupun global. Inilah suasana batin saat peringatan Dies Natalis
Ke-44 IAIN Walisongo yang dirayakan pada 7 April 2014.
Tidak
saja untuk menjawab problematika optimalisasi peran institusi dalam dunia
akademik, birokrasi dan masyarakat
tetapi juga reorientasi kurikulum agar mampu merespons perkembangan
Iptek dan dinamika masyarakat, khususnya model interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum
yang cenderung dikotomis.
Secara
epistemologis, IAIN Walisongo bergerak with
wider mandate sesungguhnya tuntutan yang tak terelakkan. Pengembangan
kelembagan dan keilmuan dengan mandat yang diperluas telah dilakukan dengan
pembukaan prodi-prodi sosial dan eksakta, termasuk pemenuhan kebutuhan SDM
dan sarana prasarana.
Desain
ini diperlukan untuk mengawal bidang-bidang agama yang selama ini menjadi
karakter IAIN tidak termarjinalisasikan karena ekspansi ilmu-ilmu yang
bersifat umum. Terlebih dalam waktu dekat akan bermetamorfosis menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Di tengah hiruk-pikuk semangat dan
tanggug jawab keilmuan perguruan tinggi, IAIN Walisongo menegaskan bahwa wahdat al-ulum (unity of sciences) sebagai paradigma institusi. Ilmu sejatinya
adalah kesatuan tak terpisahkan yang berasal dari Sang Pencipta, baik berupa
kalam-Nya yang sakral maupun terbentang dalam realitas kasunyatan.
Ilmu
sesungguhnya adalah progresif, aktif, dan tidak statis. Wahyu dipandang
sebagai fondasi perekat penyatuan ilmu pengetahuan. Ilmu selalu berproses dan
berdialog dengan menuju tujuan tunggal, yaitu Sang Pencipta Yang Maha Tahu.
Keluaran model kesatuan ilmu akan menghasilkan sosok komprehensif, mampu
mengomunikasikan berbagai bidang ilmu dengan realitas.
Unity of sciences dapat
digambarkan dalam bentuk intan berlian yang cemerlang, berkilau dengan sinar
indah, tajam, dan mencerahkan dengan lima sisi yang saling berkaitan. Kelima
sisi tersebut menjelaskan gugus keilmuan yang terdiri atas ilmu agama dan
humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman, ilmu matematika dan sains
komputer, dan ilmu-ilmu profesi dan terapan.
Mengindonesiakan Islam
Di
posisi tengah intan berlian terdapat sumbu utama menghubungkan kelima sisi
yang sesungguhnya menggambarkan Allah sebagai sumber ajaran, nilai,
inspirasi, dan ilmu pengetahuan. Paradigma ini tidak saja akan melahirkan
profil lulusan yang beriman kepada Sang Pencipta, berkomitmen pada
kemaslahatan manusia dan alam semesta, tetapi juga mampu menemukan ilmu-ilmu
baru yang ramah dan relevan dengan budaya masyarakat Indonesia.
Isu-isu
sosial, politik, ekonomi, hubungan antarnegara, pertahanan, militer dan
persoalan kebangsaan harus didekati secara integral oleh berbagai ahli ilmu
di bidangnya. Ahli agama harus berkolaborasi dengan ahli ekonomi atau politik
untuk merespons problematika aktual kemasyarakatan. Melalui kesatuan ilmu,
berbagai ilmu pengetahuan seperti humaniora, sains, dan teknologi, disikapi
dengan cara didialogkan secara sinergis.
Sebuah
disiplin keilmuan tidak akan kontributif jika tidak disapa dan didekati
dengan bidang ilmu lain. Interrelasi dan interdependensi, satu bidang
keilmuan dengan bidang keilmuan lain merupakan keniscayaan yang tak
terbantahkan. Proses dialog tersebut akan menghasilkan sebuah ilmu yang
kontekstual yang mampu merespons persoalan manusia dan kehidupan secara
bijak.
Konsekuensi
bangunan paradigma ini meniscayakan berkembangnya ilmu Islam yang kontekstual
dengan kehidupan Indonesia, dengan tidak mengesampingkan dunia global.
Orientasi kajian, penelitian, dan pengembangan ilmu perlu segera dilakukan
untuk menjadikan disiplin ilmu teologi, hukum Islam, dan sejenisnya lebih
fungsional menyapa kondisi aktual masyarakat dan bangsa Indonesia.
Perbagai
problem aktual kebangsaan seperti maraknya korupsi, kekerasan, bencana, sikap
apatis misalnya perlu didekati secara kolaboratif. Pendekatan ilmu Islam
didesain untuk mendialogkan persoalan-persoalan kebangsaan dan global lainnya
bersama dengan ilmu-ilmu lain yang terkait, seperti politik, sosiologi, dan
ekonomi.
Demikian
pula dengan ilmu sains dan teknologi dikembangkan secara fungsional, sebab ia
mengadaptasikan kearifan lokal dengan basis nilai-nilai keagamaan dan
objektivitas keilmuan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat. Melalu
pendekatan teoantroposentris yang menjadi ciri paradigma kesatuan ilmu
pengetahuan, IAIN Walisongo menjadikan Tuhan sebagai asal dan tujuan dari
segala proses ilmiah tanpa meninggalkan peran manusia sebagai makhluk yang
memiliki mandat ilmiah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar