Selasa, 08 April 2014

Komitmen Kebangsaan IAIN

Komitmen Kebangsaan IAIN

Imam Taufiq  ;   Dosen IAIN Walisongo,
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KETIKA Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo meluncurkan visi baru ìPerguruan Tinggi Islam Riset Terdepan Berbasis Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradabanî pada awal tahun ini, banyak kalangan mengiringinya dengan aneka pertanyaan mungkinkah target itu tercapai, persiapan dan modal apa yang dimiliki IAIN dalam menggapai cita ambisius tersebut?

Belum lagi pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang sebenarnya menggambarkan keterlibatan hati dan pikir untuk mengembangkan IAIN di tengah persoalan di masyarakat ataupun global. Inilah suasana batin saat peringatan Dies Natalis Ke-44 IAIN Walisongo yang dirayakan pada 7 April 2014.

Tidak saja untuk menjawab problematika optimalisasi peran institusi dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat  tetapi juga reorientasi kurikulum agar mampu merespons perkembangan Iptek dan dinamika masyarakat, khususnya model interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum yang cenderung dikotomis.

Secara epistemologis, IAIN Walisongo bergerak with wider mandate sesungguhnya tuntutan yang tak terelakkan. Pengembangan kelembagan dan keilmuan dengan mandat yang diperluas telah dilakukan dengan pembukaan prodi-prodi sosial dan eksakta, termasuk pemenuhan kebutuhan SDM dan sarana prasarana.

Desain ini diperlukan untuk mengawal bidang-bidang agama yang selama ini menjadi karakter IAIN tidak termarjinalisasikan karena ekspansi ilmu-ilmu yang bersifat umum. Terlebih dalam waktu dekat akan bermetamorfosis menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Di tengah hiruk-pikuk semangat dan tanggug jawab keilmuan perguruan tinggi, IAIN Walisongo menegaskan bahwa wahdat al-ulum (unity of sciences) sebagai paradigma institusi. Ilmu sejatinya adalah kesatuan tak terpisahkan yang berasal dari Sang Pencipta, baik berupa kalam-Nya yang sakral maupun terbentang dalam realitas kasunyatan.

Ilmu sesungguhnya adalah progresif, aktif, dan tidak statis. Wahyu dipandang sebagai fondasi perekat penyatuan ilmu pengetahuan. Ilmu selalu berproses dan berdialog dengan menuju tujuan tunggal, yaitu Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Keluaran model kesatuan ilmu akan menghasilkan sosok komprehensif, mampu mengomunikasikan berbagai bidang ilmu dengan realitas.

Unity of sciences dapat digambarkan dalam bentuk intan berlian yang cemerlang, berkilau dengan sinar indah, tajam, dan mencerahkan dengan lima sisi yang saling berkaitan. Kelima sisi tersebut menjelaskan gugus keilmuan yang terdiri atas ilmu agama dan humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu kealaman, ilmu matematika dan sains komputer, dan ilmu-ilmu profesi dan terapan.

Mengindonesiakan Islam

Di posisi tengah intan berlian terdapat sumbu utama menghubungkan kelima sisi yang sesungguhnya menggambarkan Allah sebagai sumber ajaran, nilai, inspirasi, dan ilmu pengetahuan. Paradigma ini tidak saja akan melahirkan profil lulusan yang beriman kepada Sang Pencipta, berkomitmen pada kemaslahatan manusia dan alam semesta, tetapi juga mampu menemukan ilmu-ilmu baru yang ramah dan relevan dengan budaya masyarakat Indonesia.

Isu-isu sosial, politik, ekonomi, hubungan antarnegara, pertahanan, militer dan persoalan kebangsaan harus didekati secara integral oleh berbagai ahli ilmu di bidangnya. Ahli agama harus berkolaborasi dengan ahli ekonomi atau politik untuk merespons problematika aktual kemasyarakatan. Melalui kesatuan ilmu, berbagai ilmu pengetahuan seperti humaniora, sains, dan teknologi, disikapi dengan cara didialogkan secara sinergis.

Sebuah disiplin keilmuan tidak akan kontributif jika tidak disapa dan didekati dengan bidang ilmu lain. Interrelasi dan interdependensi, satu bidang keilmuan dengan bidang keilmuan lain merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan. Proses dialog tersebut akan menghasilkan sebuah ilmu yang kontekstual yang mampu merespons persoalan manusia dan kehidupan secara bijak.

Konsekuensi bangunan paradigma ini meniscayakan berkembangnya ilmu Islam yang kontekstual dengan kehidupan Indonesia, dengan tidak mengesampingkan dunia global. Orientasi kajian, penelitian, dan pengembangan ilmu perlu segera dilakukan untuk menjadikan disiplin ilmu teologi, hukum Islam, dan sejenisnya lebih fungsional menyapa kondisi aktual masyarakat dan bangsa Indonesia.

Perbagai problem aktual kebangsaan seperti maraknya korupsi, kekerasan, bencana, sikap apatis misalnya perlu didekati secara kolaboratif. Pendekatan ilmu Islam didesain untuk mendialogkan persoalan-persoalan kebangsaan dan global lainnya bersama dengan ilmu-ilmu lain yang terkait, seperti politik, sosiologi, dan ekonomi.

Demikian pula dengan ilmu sains dan teknologi dikembangkan secara fungsional, sebab ia mengadaptasikan kearifan lokal dengan basis nilai-nilai keagamaan dan objektivitas keilmuan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat. Melalu pendekatan teoantroposentris yang menjadi ciri paradigma kesatuan ilmu pengetahuan, IAIN Walisongo menjadikan Tuhan sebagai asal dan tujuan dari segala proses ilmiah tanpa meninggalkan peran manusia sebagai makhluk yang memiliki mandat ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar