Koalisi
untuk Kepentingan Siapa?
Andi Irawan ; Dosen Universitas Bengkulu
|
TEMPO.CO,
15 April 2014
Koalisi.
Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu
legislatif 9 April yang lalu.Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi
ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan
elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan
publik.
Artinya,
dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite
itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk
menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini.
Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi
tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest.
Saya
kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial,
intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap
pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan
tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu
dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu
utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus
dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal
ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu,
berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon
presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan
ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita
harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi
positif tentang Indonesia selama 2014–2019. Sebagai contoh, apa kontribusi
koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam
aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka
kemiskinan yang subtansial?
Perlu
disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka
kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan
yang sesungguhnya. Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional
adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan
angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya
berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka
kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi
benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan
yang bersifat pencitraan.
Pemerintah
selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan
ekonomi. Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan
menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu
menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue
pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen
penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada
2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini,
Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling
tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak
mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329
pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde
Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang
kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.
Ketimpangan
(kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin
terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya
laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang
dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini
menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Pemerintah
di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif
dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan
menurunkan angka kemiskinan yang subtansial. Untuk itu, DPR dan pemerintah
periode 2014–2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan
angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting
pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut
menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum
ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan
penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan
sebagai kemauan politik (political will)
dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat
madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang
bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara
tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu
memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera.
Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan
koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah
dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9
Juli nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar