Kamis, 17 April 2014

Militer

Militer

Goenawan Mohamad  ;   Sastrawan, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
TEMPO.CO, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Ada dua takhayul dalam politik Indonesia. Tentang militer.

Takhayul pertama: bahwa mantan jenderal adalah calon pemimpin politik nasional yang bisa diandalkan-sebagai orang "kuat".

Yang dilupakan, pengalaman para perwira itu terbatas. Mereka cuma pernah memimpin pasukan, yang bajunya seragam dan suaranya seragam, "siap!".

Memang ada Soeharto dan Ali Sadikin, yang terbukti efektif sebagai pemimpin bangunan politik yang terdiri atas anasir beragam. Tapi itu terjadi dalam keadaan ketika politik dibekukan, dan perbedaan pendapat dikelola dengan ketat.

Yang perlu juga dilihat, baik Ali Sadikin maupun Soeharto menempuh karier militernya antara 1945 sampai sekitar 1960-an, ketika politik sipil berperan besar dan kalangan militer terpaksa menyesuaikan diri. Kedua orang itu, selain punya leadership, telah ditempa dengan keharusan menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan politik non-militer. Dengan kata lain, mereka punya keterampilan politik yang tak cukup dimiliki generasi TNI Orde Baru.

SBY membuktikan bahwa ia bisa mengelola republik di dalam kehidupan politik yang demokratis. Tapi ia bukan orang kuat. Ia bukan orang kuat karena ia tak cukup punya keterampilan politik, tak cukup pintar menghimpun dukungan, terutama di parlemen. Bahkan ia tak cukup kuat mengendalikan partainya sendiri.

Ia juga bukan orang kuat karena ia kurang mampu mengambil keputusan pada saat yang diperlukan.

Pada akhirnya kelihatan: para jenderal hanya kuat sebatas ia memimpin pasukan dan sebatas ia masih punya akses ke pasukan. Para pensiunan yang sekarang adalah orang-orang yang kekuatannya bahkan tak sebesar orang sipil yang berada di pemerintahan ataupun di dunia bisnis.

Tapi orang sering terkecoh...juga para politikus sipil yang sebenarnya lebih berkuasa.

Takhayul kedua: bahwa militer adalah kekuatan politik yang masih menentukan dalam percaturan dewasa ini.

Ini termasuk takhayul yang terlambat. Pada masa Orde Baru, militer memang memegang posisi di mana-mana. Tapi, pada akhirnya, Orde Baru bukanlah sebuah kekuasaan junta militer. Yang ada adalah kekuasaan seorang otokrat, yaitu Soeharto, yang menentukan siapa yang memimpin militer. Dari segi ini tampak bahwa waktu itu pun militer (bangunan kekuatan yang aktif) disubordinasikan oleh seorang sipil-Soeharto, mantan tentara, yang tak punya akses lagi ke pasukan.

Dari segi jumlah dan teknologi, ABRI juga tak bisa dibilang kuat. Jumlah personelnya kurang dari setengah juta, di sebuah negeri berpenduduk 240 juta. Anggaran pertahanan Indonesia di masa itu termasuk paling rendah di Asia, jauh lebih rendah ketimbang Singapura. TNI berbeda dengan militer Mesir, yang diperkuat dan memperkuat diri karena suasana perang yang panjang dengan Israel.

Kalangan militer juga, yang sekarang merasa agak terpojok, tak punya sejarah yang gemilang di masa Orde Baru. Reputasinya cacat oleh korupsi dan tindakan represif, termasuk pembunuhan dan penculikan orang-orang sipil.

Sudah saatnya kedua takhayul ini diungkapkan sebagai takhayul, bukan sebagai kenyataan faktual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar