Militer
Goenawan Mohamad ; Sastrawan, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
15 April 2014
Ada dua
takhayul dalam politik Indonesia. Tentang militer.
Takhayul
pertama: bahwa mantan jenderal adalah calon pemimpin politik nasional yang
bisa diandalkan-sebagai orang "kuat".
Yang
dilupakan, pengalaman para perwira itu terbatas. Mereka cuma pernah memimpin
pasukan, yang bajunya seragam dan suaranya seragam, "siap!".
Memang
ada Soeharto dan Ali Sadikin, yang terbukti efektif sebagai pemimpin bangunan
politik yang terdiri atas anasir beragam. Tapi itu terjadi dalam keadaan
ketika politik dibekukan, dan perbedaan pendapat dikelola dengan ketat.
Yang
perlu juga dilihat, baik Ali Sadikin maupun Soeharto menempuh karier
militernya antara 1945 sampai sekitar 1960-an, ketika politik sipil berperan
besar dan kalangan militer terpaksa menyesuaikan diri. Kedua orang itu,
selain punya leadership, telah ditempa dengan keharusan menyesuaikan diri
dalam hubungan-hubungan politik non-militer. Dengan kata lain, mereka punya
keterampilan politik yang tak cukup dimiliki generasi TNI Orde Baru.
SBY
membuktikan bahwa ia bisa mengelola republik di dalam kehidupan politik yang
demokratis. Tapi ia bukan orang kuat. Ia bukan orang kuat karena ia tak cukup
punya keterampilan politik, tak cukup pintar menghimpun dukungan, terutama di
parlemen. Bahkan ia tak cukup kuat mengendalikan partainya sendiri.
Ia juga
bukan orang kuat karena ia kurang mampu mengambil keputusan pada saat yang
diperlukan.
Pada
akhirnya kelihatan: para jenderal hanya kuat sebatas ia memimpin pasukan dan
sebatas ia masih punya akses ke pasukan. Para pensiunan yang sekarang adalah
orang-orang yang kekuatannya bahkan tak sebesar orang sipil yang berada di
pemerintahan ataupun di dunia bisnis.
Tapi
orang sering terkecoh...juga para politikus sipil yang sebenarnya lebih
berkuasa.
Takhayul
kedua: bahwa militer adalah kekuatan politik yang masih menentukan dalam
percaturan dewasa ini.
Ini
termasuk takhayul yang terlambat. Pada masa Orde Baru, militer memang
memegang posisi di mana-mana. Tapi, pada akhirnya, Orde Baru bukanlah sebuah
kekuasaan junta militer. Yang ada adalah kekuasaan seorang otokrat, yaitu
Soeharto, yang menentukan siapa yang memimpin militer. Dari segi ini tampak
bahwa waktu itu pun militer (bangunan kekuatan yang aktif) disubordinasikan
oleh seorang sipil-Soeharto, mantan tentara, yang tak punya akses lagi ke
pasukan.
Dari
segi jumlah dan teknologi, ABRI juga tak bisa dibilang kuat. Jumlah
personelnya kurang dari setengah juta, di sebuah negeri berpenduduk 240 juta.
Anggaran pertahanan Indonesia di masa itu termasuk paling rendah di Asia,
jauh lebih rendah ketimbang Singapura. TNI berbeda dengan militer Mesir, yang
diperkuat dan memperkuat diri karena suasana perang yang panjang dengan
Israel.
Kalangan
militer juga, yang sekarang merasa agak terpojok, tak punya sejarah yang
gemilang di masa Orde Baru. Reputasinya cacat oleh korupsi dan tindakan
represif, termasuk pembunuhan dan penculikan orang-orang sipil.
Sudah
saatnya kedua takhayul ini diungkapkan sebagai takhayul, bukan sebagai
kenyataan faktual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar