Sabtu, 19 April 2014

Koalisi dan Harapan Publik

Koalisi dan Harapan Publik  

Bawono Kumoro  ;   Peneliti Politik The Habibie Center
KORAN SINDO, 19 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Hajatan pesta demokrasi bernama pemilihan umum (pemilu) legislatif telah usai digelar. Meskipun hasil rekapitulasi resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru dapat diketahui awal Mei mendatang, sejumlah lembaga survei telah mengumumkan hasil hitung cepat (quick count).

Hasil quick count Indikator Politik Indonesia menunjukkan tidak ada satu partai politik pun mampu tampil dominan dengan perolehan suara 20%. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan cuma mampu meraih suara 18,97%, meski telah mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden (capres). Posisi kedua ditempati Partai Golkar dengan 14,66%. Kemudian secara berturut-turut diikuti Partai Gerindra (12,2%), Partai Demokrat (9,86%), Partai Kebangkitan Bangsa (8,86%), Partai Amanat Nasional (7,34%),

Partai Nasdem (6,95%), Partai Keadilan Sejahtera (6,9%), Partai Persatuan Pembangunan (6,4%), Partai Hanura (5,36%), Partai Bulan Bintang (1,55%), dan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (0,94%) Hasil quick count tersebut sesuai prediksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berdialog dengan para pemimpin redaksi di Gedung Bank Mega, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ketika itu Presiden SBY mengatakan tidak ada satu pun partai politik yang akan tampil mendominasi dalam pemilu legislatif dengan perolehan suara 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilih.

Ketiadaan partai politik dengan raihan suara 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilih sebagai syarat utama mencalonkan pasangan capres dan cawapres membuat koalisi mau tidak mau harus dilakukan. Segera setelah hasil quick count dipublikasikan secara luas, elite-elite partai politik segera melakukan kunjungan satu sama lain guna menjalin komunikasi dan penjajakan koalisi. Jika memang koalisi menjadi hal yang mutlak dalam membangun pemerintahan baru mendatang, publik tentu berharap koalisi pemerintahan itu tidak sekadar koalisi bagibagi kekuasaan tanpa kejelasan platform dan komitmen tinggi sebagaimana terjadi selama lima tahun terakhir.

Tidak dapat dimungkiri, tema sentral dan dominan yang sering muncul dalam pembicaraan koalisi di tingkat elite adalah ”siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” ketimbang mewujudkan penguatan sistem presidensial demi perbaikan nasib bangsa dan negara di masa mendatang. Bahkan boleh jadi bukan sekadar persoalan ”siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana,” tetapi juga kalkulasi mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilu lima tahun mendatang.

Sudah menjadi rahasia umum jabatan di kementerian sering menjadi pintu masuk bagi arus dana partai politik. Belajar dari pengalaman selama dua periode pemerintahan SBY, koalisi pemerintahan mendatang tidak boleh ”gemuk” dengan diisi oleh tiga atau empat partaipolitiksaja. Halinipenting agar pemerintahan mendatang dapat berjalan lebih efektif dan tidak terganggu berbagai kebisinganataukegaduhanpolitik. Koalisi pemerintahan dengan melibatkan banyak partai politik berpontensi mengganggu efektivitas pemerintahan. Apalagi bila diwarnai intrik politik antaranggota koalisi untuk saling menjegal satu sama lain.

Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Angket Dugaan Skandal Dana Talangan (Bailout) Bank Century merupakan awal dari kegaduhan politik dalam koalisi pemerintahan saat ini. Hal itudikarenakanpembentukan pansus angket tersebut tidak cuma digagas oleh partaipartai politik oposisi— PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra—tetapi juga melibatkan sejumlah partai mitrakoalisiseperti Partai Golkar, PKS, dan PPP. Mereka dinilai bersikap inkonsisten dengan melancarkan manuver politik dua kaki.

Sikap inkonsisten itu kembali terulang saat pemerintahan SBY-Boediono berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pertengahan 2012 lalu. Sejumlah partai politik anggota koalisi menentang keras kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dengan tidak memberikan dukungan di parlemen. Publik tentu sangat tercengang melihat manuver politik dua kaki semacam itu, senang dengan kekuasaan yang diperoleh melalui kursi kabinet, tapi enggan untuk memikul tanggung jawab kebijakan.

Jauh lebih elegan jika mereka mundur dari koalisi untuk kemudian tampil sebagai kekuatan oposisi ketimbang tetap berada dalam koalisi, tapi secara terusmenerus ”menusuk” dari belakang. Padahal, koalisi pemerintahan dibangun untuk memperkuat pemerintahan, bukan justru untuk melemahkan dan saling menjegal. Sikap inkonsisten tersebut tentu sangat merugikan kehidupan demokrasi dan masa depan sistem presidensial kita. Inkonsistensi seperti ini tidak memunculkan kekuatan oposisi yang kuat, tetapi juga tidak melahirkan pemerintah yang efektif.

Inilah anomali dalam sistem presidensial di Indonesia. Mungkin benar apa yang dikatakan Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994). Linz dan Velenzuela mengatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial yang diaplikasikan di dalam sistem multipartai akan melahirkan kerumitan-kerumitan tersendiri, yang mengakibatkan kehidupan demokrasi cenderung tidak stabil.

Senada dengan studi Linz dan Velenzuela, Scott Mainwaring dalam ”Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination” juga mengungkapkan kombinasi sistem presidensial dan sistem multipartai membawa implikasi berupa ketiadaan kekuatan mayoritas partai politik yang menguasai parlemen sehingga berpotensi mengakibatkan kebuntuan (deadlock). Hal ini kemudian memberi peluang bagi parlemen untuk ”mengganggu” presiden. Presiden pun dipaksa untuk melakukan konsensus dan kompromi dengan parlemen.

Jadi, benar bahwa secara teoretis gagasan koalisi sesungguhnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti dianut Indonesia. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu di satu sisi dan membangun blok oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut serta dalam pemerintahan di sisi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar