Pemilu
Curang, DPR Korup
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 19 April 2014
Bersama
mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, saya pernah mengusulkan penarikan
sumbangan wajib kepada partai dari para anggota DPR dan DPRD agar partai
mempunyai dana operasional.
Waktu
itu bulan Februari tahun 2002, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru saja
melaksanakan Muktamar Luar Biasa (MLB) pasca pelengseran Gus Dur dari
jabatannya sebagai presiden. Di PKB Gus Dur adalah ketua Dewan Syura, Alwi
Shihab adalah ketua umum Dewan Tanfidz DPP, sedangkan saya adalah wakil ketua
umum. Waktu itu PKB mengalami krisis dana. Jangankan untuk kegiatan
konsolidasi, untuk pegawai administrasi saja kesulitan membayarnya. Saat itu
PKB mengalami pukulan politik besar karena Gus Dur sudah bukan presiden.
Donatur
mulai menjauh karena menghindari risiko politik kalau membantu PKB. Aktivitas
pengurus partai yang harus mengonsolidasi kembali organ-organnya ke
daerah-daerah dibiayai dari kocek masing-masing pengurus. Dalam keadaan
seperti itulah saya dan Alwi Shihab mengusulkan kepada Gus Dur agar gaji
semua anggota DPR dan DPRD yang dari PKB di seluruh Indonesia dipotong
sebesar 25% untuk keperluan partai. Kami berpendapat, tidak ada salahnya
membuat kebijakan seperti itu sebab mereka menjadi anggota lembaga perwakilan
rakyat karena PKB.
Tetapi,
pada waktu itu Gus Dur menolak usul itu. Kata Gus Dur, partai tak boleh
membebani anggota-anggota DPR dan DPRD dengan memotong gaji yang mereka
peroleh dari negara. Sebaliknya, partai harus mencarikan uang agar
penghasilan mereka bisa cukup dan tak perlu mencari-cari penghasilan lagi di
luar penghasilan yang sah. ”Kita harus
carikan tambahan uang penghasilan yang sah bagi para anggota DPR dan DPRD
kita agar mereka bisa bekerja dengan baik, tidak menyalahgunakan kedudukannya
untuk mencari uang secara tidak sah,” ungkap Gus Dur.
Dari
sudut praksis politik apa yang disampaikan oleh Gus Dur saat itu terasa naif.
Masak, partai mencarikan uang untuk anggota-anggota DPR dan DPRD dengan
alasan agar mereka bisa bekerja dengan baik. Mestinya wajarlah kalau mereka
justru menyerahkan sebagian penghasilannya kepada parpol untuk menghidupi
parpol yang mengantarkan mereka menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat.
Tetapi, jika direnungi makna terdalamnya, apa yang dikatakan Gus Dur itu
sangatlah tepat. Anggota-anggota DPR dan DPRD harus bisa bekerja dengan baik,
dengan penghasilan yang cukup, agar dapat melaksanakan tugasnya
memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kalau
anggota DPR dan DPRD masih dibebani berbagai pungutan dari penghasilannya
yang sebenarnya pas-pasan, dapat dipastikan mereka tidak akan dapat bekerja
dengan baik. Itulah sebabnya Gus Dur bukan saja tak setuju ada pemotongan
gaji anggota DPR dan DPRD untuk operasional partai, melainkan juga menggagas
pencarian dana halal untuk diberikan sebagai tambahan bagi anggota-anggota
DPR dan DPRD agar bisa bekerja dengan baik. Gus Dur khawatir, kalau anggota
DPR dan DPRD masih dibebani menyumbang dana untuk partai, akan terjadi
berbagai korupsi dan upaya penggalian dana secara tidak sah untuk dan atas
nama partai.
Melihat
kinerja DPR, DPRD, dan para anggotanya dalam beberapa tahun terakhir ini,
saya menjadi teringat akan pendapat Gus Dur itu. Apa yang dikhawatirkan Gus
Dur bahwa anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat akan terjerumus ke dalam
korupsi kalau dibebani menyumbang apalagi mengumpulkan dana kini terjadi. DPR
dan DPRD kita dilanda penyakit korupsi dan kolusi. Bacalah kasus-kasus
korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, hampir semua diduga kuat
terkait keperluan operasional partai yang berhimpit dengan pribadi pengurus
partai.
Permisivitas
partai kepada para anggotanya di DPR dan DPRD untuk mencari dana yang bisa
dimanfaatkan untuk partai telah mengesankan bahwa menjadi anggota DPR itu
boleh (bahkan harus) korupsi guna menghidupi parpol. Ketika saya menjadi
anggota DPR pada 2004-2008, para kolega saya di DPR mengaku ditugasi mencari
dana oleh partainya melalui mitranya di lembaga eksekutif. Mencari dana untuk
keperluan partai itu kemudian bertemu dengan upaya menumpuk kekayaan pribadi
melalui berbagai korupsi dan kolusi dengan berbagai bungkusnya.
Menjadi
anggota DPR dan DPRD kemudian dianggap sebagai peluang untuk menumpuk
kekayaan sehingga menjadi anggota DPR dan DPRD harus diperjuangkan apa pun
biayanya. Pemilu seperti yang kita lihat dengan benderang pada 2014 berjalan
dengan penuh kecurangan. Jual beli suara antara caleg, saksi, dan petugas
dari KPU terjadi. Seorang caleg membantai caleg lain dengan menutup
kemenangannya melalui uang. Caranya antara lain menjual perolehan suara caleg
yang nyata-nyata akan kalah kepada yang bisa menang asal membeli sedikit
suara, membeli kartu suara yang tak terpakai karena pemilik aslinya tidak
hadir atau karena memang sengaja menjualnya.
Dari pemilu yang seperti itulah
kemudian lahir DPR dan DPRD korup yang mengumpulkan uang secara menggila baik
untuk mengembalikan modal yang dibelanjakan saat-saat pemilu maupun untuk
melaksanakan tugas untuk mencari dana operasional partai. Inilah salah satu
hal penting yang harus kita tata ke depan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar