Kepala
Sekolah
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif
Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
01 April 2014
SECARA
struktural, kemajuan pendidikan suatu daerah ditentukan oleh ”three musketeers”, yaitu kepala
daerah, kepala dinas, dan kepala sekolah. Kepala daerah yang memiliki visi
pendidikan sebagai episentrum kemajuan akan
menunjuk kepala dinas yang tak sekadar loyal, tetapi juga memiliki
kemampuan profesional dan manajerial kependidikan. Demikian pula kepala dinas
yang progresif akan mengusulkan calon kepala sekolah yang cakap.
Di
lapangan, terlebih dalam era otonomi daerah, gambaran di atas jarang terjadi.
Sebagian besar kepala daerah tak paham makna strategis pendidikan
sehingga jabatan kepala dinas
pendidikan, kepala sekolah, dan bahkan guru sering kali dipolitisasi untuk
balas budi dan atau mengamankan jalur
korupsi. Terjadilah berbagai anomali pendidikan, sementara pihak Kemdikbud
hanya menonton karena UU menetapkan pendidikan sebagai urusan pemerintah
daerah.
Dalam
situasi seperti itu, gagasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memopulerkan
”lelang” jabatan kepala sekolah merupakan angin segar. Meski kriteria dan
prosedur perekrutan secara substantif tak banyak berbeda dengan sebelumnya,
ini inisiatif positif sebab menunjukkan semangat perbaikan dan (semoga) bukan
sekadar proforma sebagaimana umumnya.
Sebenarnya,
Pemprov DKI menggunakan istilah resmi Sistem Seleksi Jabatan Terbuka (SSJT)
Kepala Sekolah, bukan ”lelang” sebagaimana terpopulerkan. Sebutan lelang,
selain tak layak, juga bertentangan dengan substansi yang diinginkan program
SSJT. Dalam tradisi lelang di mana
pun, yang berani membayar tertinggi, dialah yang jadi pemenang/pemilik.
Sementara maksud perekrutan terbuka
justru sebaliknya, ingin menghilangkan peluang permainan uang yang diduga
marak dalam ”bursa” kepala sekolah.
Dengan
demikian, diharapkan diperoleh ”bibit” kepala sekolah yang primus inter
pares. Masalahnya, bagaimana calon kepala sekolah potensial itu jadi pemimpin
aktual yang memajukan lembaga dan meningkatkan mutu pendidikan sekolah?
Kepemimpinan pendidikan
Berbeda
dengan pimpinan lembaga birokrasi, korporasi, atau politik, kepala sekolah
sebagai pimpinan institusi pendidikan harus senantiasa mempertimbangkan aspek
edukasi yang berinti pada pengembangan akal budi dan nilai-nilai kebajikan.
Seorang birokrat, seperti kepala daerah, barangkali boleh kasar terhadap
bawahannya dan puas dengan respons ”Siap Pak!”. Sementara pemimpin institusi
pendidikan tak cukup mengutamakan kepatuhan. Mereka mengemban misi
pencerdasan sehingga harus memberikan
ruang dialogis yang memungkinkan mekarnya nalar dalam lingkungan
pendidikan.
Sayangnya,
lembaga pendidikan kita semakin terkontaminasi budaya birokrasi, korporasi,
dan politik. Para pemimpinnya kurang tertarik pada kebenaran dan kecerdasan.
Sikap mereka sering kali picik, rigid, dan arogan, terbentuk oleh citra para
birokrat atasannya dan politisi yang kerap mereka saksikan. Budaya kaku dan
hierarkis itu kemudian merembes ke kinerja guru/dosen, lalu meredupkan cahaya
kearifan dari dunia pendidikan.
Kepala
sekolah, seperti didefinisikan dalam Permendiknas No 28/2010, adalah
guru yang diberi tugas tambahan untuk
memimpin. Ini dapat dimaknai, kepala sekolah
dalam menjalankan tugas manajerialnya tak boleh mengabaikan prinsip
dan jiwa kependidikan. Menggabungkan
secara dinamis prinsip-prinsip manajerial yang menuntut kepatuhan dengan
dasar-dasar kependidikan yang dialogis adalah seni memimpin yang memerlukan
momen penghayatan dan pembiasaan, di antaranya melalui pelatihan.
Pendidikan
dan pelatihan harus jadi bagian sistem seleksi kepala sekolah. Pertama, untuk mendekonstruksi pola umum dan pembentukan
pola pikir baru kepemimpinan pendidikan di sekolah. Pelatihan kepala sekolah
harus memfasilitasi tumbuh dan kukuhnya ide-ide pembaruan sehingga tak layu
ketika mengalami kesukaran dalam implementasinya.
Kedua,
untuk menginternalisasi serta menyinkronkan spirit dan sikap
kepemimpinan kepala sekolah dengan
keinginan pemangku kepentingan, terutama kepala daerah atasannya. Meski
secara teoretis leadership dan manajemen memiliki prinsip universal, kepemimpinan
setiap orang memiliki style yang berbeda.
Spirit dan irama kepemimpinan baru itu harus ditanamkan dalam momentum
pelatihan.
Ketiga,
untuk membangun kesadaran akan tanggung jawab atas jabatan dan motivasi
kerja. Tugas tambahan sebagai kepala sekolah sebenarnya berat karena selain
kemajuan dan kualitas sekolah terletak di pundaknya, juga harus ”memuaskan”
pemangku kepentingan terkait. Sementara imbalan atas jabatan itu belum cukup
”memuaskan”. Para kepala sekolah perlu bekal dasar-dasar esoteris yang kuat
yang terbangun dari jalinan rasionalitas dan spiritualitas yang diyakininya.
Keempat,
mengenalkan dan melatihkan berbagai aspek keterampilan manajerial dan
administratif yang diperlukan dalam menjalankan tugas kepala sekolah.
Menurut
Permendiknas No 28/2010, pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah
dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka selama minimal 100 jam dan praktik
pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal tiga bulan. Alokasi waktu yang
terlalu panjang ini akan menjadikan pelatihan tidak efektif dan sangat
membosankan, kecuali menggunakan metode yang jitu dan menyenangkan.
Berdasarkan
pengalaman, untuk tujuan utama seperti di atas, pelatihan calon kepala
sekolah cukup 50 jam, tetapi harus diteruskan dengan aktivitas pengayaan
berkala. Sementara praktik lapangan perlu dipertimbangkan tentang tujuan dan
keperluannya, mengingat calon kepala sekolah adalah guru minimal golongan
IIIC, yang tentu telah mengalami interaksi cukup lama dengan lingkungan
pendidikan dan kepala sekolah.
Proses penyadaran
Pelatihan
kepala sekolah harus didesain sebagai
proses penyadaran dan pengubahan sikap serta perilaku, bukan
pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi pengetahuan yang dapat
dipelajari sendiri oleh peserta. Evaluasi peserta berlangsung selama pelatihan berdasarkan beragam indikator
yang terukur.
Pelatihan
juga harus berasas pendidikan orang dewasa. Para peserta tidak hanya
diceramahi dan diperlakukan seperti anak-anak sehingga menciutkan kepercayaan
dirinya. Untuk itu, para fasilitator harus memahami dan mampu menerapkan prinsip-prinsip
andragogi (pendidikan orang dewasa) yang di antaranya terekspresi dalam
keterampilannya membangun dinamika kelompok. Dinamika kelompok sangat
penting dalam pembelajaran
partisipatif untuk mengubah individu melalui kekuatan bersama.
Posisi struktural
dan kinerja kepala sekolah amat memengaruhi iklim sekolah dan secara tidak
langsung berkontribusi 5–10 persen terhadap kualitas. Kualitas pembelajaran
dan mutu pendidikan di sekolah lebih banyak—sekitar 30 persen (John Hattie,
2003)—ditentukan guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar