Pelajaran
dari Bangkok
Achmad Soetjipto ; Mantan KSAL, Ketua
Persatuan Purnawirawan AL
|
KOMPAS,
01 April 2014
DALAM
sejarahnya militer Thailand sangat mudah tergerak untuk melakukan kudeta
manakala kepentingannya terganggu. Tercatat setidaknya 18 kudeta militer
pernah dilancarkan sejak 1932. Di tahun itu militer melakukan kudeta dengan
alasan mengakhiri sistem monarki absolut. Pada 1947, militer mengulangi
kudeta untuk menuntut peran lebih dalam pemerintahan. Menyusul kudeta pada
1957 dan 1958, motif tetap sama untuk memperkuat dominasi militer dalam
pemerintahan. Pada era Perang Dingin, supremasi militer Thailand mendapat
dukungan penuh Amerika Serikat untuk alasan membendung komunis.
Gerakan
oposisi muncul seiring menguatnya gerakan mahasiswa pada 1973 disusul kudeta
pada 1977 yang katanya untuk memperluas demokratisasi dan diberlakukannya
sistem pemerintahan parlementer. Pada Februari 1991, militer kembali
melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil karena PM Chatichai berusaha
mengambil kontrol lebih atas kekuatan militer.
Pada 19
September 2006, dengan alasan beda pandangan dalam penanganan masalah di
Thailand Selatan, militer yang sekian tahun seakan tunduk pada politisi sipil
tiba-tiba mengudeta PM Thaksin Shinawatra dan bahkan memaksanya menjadi
pelarian (exile) di sejumlah negara.
Di
pengujung 2013, ancaman kudeta kembali muncul sejak PM Yingluck Shinawatra
bermaksud mengamandemen Undang-Undang Pertahanan Thailand dan rencana
pemberian amnesti kepada Thaksin Shinawatra. Rencana ini juga membangkitkan
kembali gerakan kaus kuning untuk turun ke jalan yang kemudian direspons
dengan cara sama oleh gerakan berkaus merah.
Kedua
warna kaus itu selama ini menyimbulkan strata masyarakat Thailand. Kelompok
kaus merah adalah masyarakat pedesaan pendukung keluarga Shinawatra yang pada
masa kekuasaannya diuntungkan dengan berbagai program populis, yakni
pengentasan orang miskin, pinjaman lunak melalui jaringan perbankan miliknya,
jaminan kesehatan, dan lain-lain. Kelompok kaus kuning adalah oposisi yang
identik dengan kaum menengah perkotaan yang menganggap program populis
Thaksin sebagai pembodohan dan upaya pembelian suara rakyat dengan anggaran
negara yang kental dengan aroma korupsi.
Dengan
kekayaan yang dimiliki dan kekuasaan dalam penggunaan anggaran negara,
diperkuat pula dengan dukungan dua pertiga anggota kabinet yang merupakan
barisan konglomerat Thailand, keluarga Shinawatra dapat terus
mengonsolidasikan kekuasaannya melalui demokrasi one people one vote.
Para
intelektual, mahasiswa kaum perkotaan, dan kelas menengah putus harapan,
benar-benar empet dan rasanya tak punya pilihan kecuali cara jalanan.
Shutdown Bangkok, Restart Thailand adalah pilihan perlawanan karena kaum
oposan berpendapat bahwa saat ini demokrasi tidak akan mampu menjadi solusi
krisis secara mendasar.
Rumor
kudeta semakin kencang ketika militer mengerahkan lebih dari 20.000 anggota
pasukan berikut berbagai perlengkapan tempur ke Bangkok. Panglima Militer
Thailand mengatakan, kudeta bisa saja terjadi dan hal itu tergantung pada
situasi. Berbeda dengan kudeta militer di negara lain yang selalu menuai
resistensi, kudeta di Thailand, selama didukung Raja Bhumibol Adulyadej,
tidak akan mendapat penentangan dari rakyat. Sampai saat ini raja dan agama
Buddha masih menjadi perekat dalam setiap krisis.
Thailand versus Indonesia
Situasi
serupa dapat pula terjadi di sini karena pada dasarnya Indonesia mempunyai
masalah yang sama sebagai negara yang sedang belajar berdemokrasi. Pasca
reformasi, politik transaksional menjadi budaya di mana proses negosiasi
suara yang diaku sebagai musyawarah untuk mufakat begitu kental berbasiskan
materi. Setiap ajang pemilihan selalu menjadi ladang penyubur maraknya
politik uang. Kekacauan selama ini tak lepas dari sumbangsih politik
transaksional dan tampaknya Pemilu 2014 tak akan luput dari ancaman.
Lebih
miris lagi ketika tercium sinyalemen pemerintah berkolaborasi dengan DPR
menggembosi KPK melalui dua regulasi RUU KUHP dan RUU KUHAP. Jelas hal itu
diniatkan karena ketakutan dikejar bayangan kelakuan sendiri. Tiadanya
lembaga yang cukup kredibel sejak Mahkamah Konstitusi dilanda tsunami korupsi
telah memusnahkan kepercayaan rakyat terhadap sistem yang berlangsung dan
berpotensi menjadi bencana yang bahkan bisa lebih dahsyat dibandingkan
Thailand.
Masyarakat
Thailand relatif homogen dan keberadaan raja masih menjadi pemersatu bangsa.
Adapun masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan berbagai agama dan suku
yang terbentang dalam wilayah yang sangat luas. Agama Buddha di Thailand
dapat menjadi solusi, sementara Islam yang dianut mayoritas di sini belum
satu wajah dalam memandang Indonesia. Di Thailand hanya ada keluarga Thaksin
sebagai musuh bersama pihak oposisi, sementara di sini semakin banyak
konglomerat, taipan, dan cukong ambil peran dalam melembagakan oligarki.
Banyak
kalangan percaya Pancasila masih sakti sebagai pemersatu bangsa. Namun, di
manakah Pancasila saat ini berada?
Semakin
banyak kalangan yang redup kepercayaannya ketika demokrasi hanya melahirkan
politisi rakus. Ketika banyak kader partai menjadi koruptor raja tega yang
kemudian meringkuk di jeruji KPK, ketika birokrat hanya menjadi makelar
proyek dan pengejar rente, ketika lembaga pendidikan hanya bisa mencetak sarjana
plagiat dan penjilat yang hanya berebut posisi birokrasi, ketika sistem
ekonomi hanya memberi peluang konglomerat mengisap kekayaan negara, ketika
pemegang kuasa negara menjadi penghamba kepentingan asing, dan ketika tatanan
negara dalam keadaan karut marut, di mana Pancasila?
Mencegah ”shutdown” Jakarta”
Kudeta
militer di Thailand tak akan menjadi masalah serius manakala raja tidak
menentangnya. Namun, bagaimana dengan TNI? Apabila hasil Pemilu 2014 tidak
melegakan semua pihak, kalangan kritis sangat mungkin mengimpor gerakan
Shutdown Bangkok ke Jakarta. Kericuhan dan kerusuhan massa dalam merespons
hasil pilkada bisa menjadi indikator bahwa hal sama dapat terjadi pada Pemilu
2014. Pengalaman menunjukkan, gerakan massa dan konspirasi elite politik
cukup efektif menjadi presure group, bahkan telah berhasil menurunkan
Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Dalam
ketiga pengambil alihan kekuasaan tersebut TNI tak luput ambil peran. Ketika
menurunkan Soekarno, TNI mendukung kehendak rakyat yang anti komunis. Ketika
menurunkan Soeharto, TNI mendukung kehendak rakyat yang menginginkan
reformasi. Ketika menurunkan Gus Dur, TNI bersikap netral dengan alasan tidak
mau terlibat konflik elite. Padahal, Gus Dur sebagai presiden yang notabene
adalah panglima tertinggi sudah seharusnya TNI tidak mengambil jarak darinya.
Sikap ini diambil karena seringnya Gus Dur memecat senior TNI.
Lalu
bagaimana jika konflik nanti tidak hanya terjadi pada tingkat elite, tetapi
juga antarmassa. Apakah TNI tetap akan bersikap netral? Apakah TNI tetap akan
menjaga jarak? Militer di mana saja selalu terobsesi sebagai cermin negara
dan saat negara chaos cerminnya menghilang. Militer senang mengekspresikan
diri sebagai tentara pejuang dan saat kekacauan politik kata ”senang” bisa
berubah jadi harus. Sebagai pejuang tafsirnya tentu suka tidak suka TNI harus
mengambil peran meski akan mendapat tentangan keras dari kalangan yang tidak
menghendaki TNI kembali ke panggung politik, termasuk kecaman keras dunia
internasional sekalipun.
Dwi
Fungsi ABRI tinggal sejarah, TNI tak mau menjamahnya lagi. TNI sadar dua
fungsi akan saling merugikan dan sekarang kembali ke fungsi asasi, yaitu
pertahanan dan menjadi profesional. Mungkin ini bisa juga ditengok para
konglomerat. Konglomerat memang tidak dilarang terjun ke dunia politik. Yang
perlu dilakukan negara adalah membuat aturan main agar bebas dari konflik
kepentingan. Di negara maju mereka tanggalkan atribut ke konglomeratannya
begitu terjun ke dunia politik. Ada tugas yang lebih mulia bagi mereka, yaitu
memajukan dunia usaha dan menguatkan ekonomi nasional agar berdaya saing,
membuka lapangan kerja, dan menjadi penyumbang pajak terbesar serta seabrek
amal mulia lainnya.
Jika TNI
mampu menanggalkan Dwi Fungsi-nya kemudian taat asas, mengapa mereka tidak?
Dunia politik biarlah menjadi domain para politikus. Apabila itu semua
dikerjakan, insya Allah Shutdown Jakarta tak akan terjadi dan TNI bisa lebih
mengasah diri menjadi militer profesional yang disegani dan dihormati banyak
bangsa. Kesimpulannya, jika tak ingin TNI kembali hijrah dalam politik,
bangunlah civil society yang bermartabat dan beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar