LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Jalan
Panjang Reformasi Myanmar
Tim Kompas
|
KOMPAS,
15 April 2014
HAMPIR lima dekade Myanmar berada di bawah rezim
militer yang menutup diri terhadap dunia internasional. Angin perubahan
akhirnya bertiup setelah pada pemilu 2010. Thein Sein, mantan perdana menteri
rezim dan jenderal beraliran moderat, terpilih sebagai presiden yang memimpin
pemerintahan sipil dukungan militer.
Sejumlah
langkah reformasi dilakukan, antara lain pembebasan tahanan politik,
melonggarkan pembatasan media, izin bagi buruh untuk berserikat, dan
keleluasaan bagi tokoh oposisi Aung San Suu Kyi untuk terjun ke dunia
politik. Upaya ini cukup meyakinkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara
untuk tak lagi menunda giliran Myanmar menjadi ketua ASEAN pada 2014.
Namun,
isolasi sejak militer berkuasa pada 1962 membuat negeri itu hanya memiliki
sedikit pengalaman bersentuhan dengan dunia luar, selain hubungan ekonomi
yang erat dengan Tiongkok. Tak heran masih ada kecurigaan pada hal berbau
asing atau Barat, seperti sistem demokrasi, supremasi hukum, hak warga
negara, dan sistem pasar.
Dalam
beberapa hal, proses yang dijalani Myanmar mengingatkan pada pengalaman
Indonesia. Muncul pertanyaan, bisakah Myanmar berubah dan apakah Indonesia
bisa menjadi contoh bagi Myanmar?
Kedua
negara sama-sama menjalani periode demokrasi parlementer pada dekade 1950-an.
Lalu terjadi transisi dari sistem demokratis ke pemerintahan otoritarian,
diikuti nasionalisme ekonomi, serta peran negara yang semakin dominan. Di
Myanmar, kekuasaan dijalankan rezim militer. Di Indonesia, Soekarno memimpin
dengan demokrasi terpimpin sebelum diambil alih militer. Karena itu, militer
kedua negara menjadi faktor penentu di bidang politik, ekonomi, dan sosial
kemasyarakatan.
Situasi
Indonesia berubah cepat pada era reformasi. Diawali tumbangnya Orde Baru,
disusul reformasi demokrasi, kebijakan desentralisasi, keterbukaan masyarakat
madani, dan kebebasan pers. Apakah Myanmar akan menempuh jalan serupa?
Perubahan terkendali
Meski
ada kesamaan di permukaan, terdapat juga perbedaan penting. Bangkitnya rezim
militer di Indonesia sejak 1965 malah menghapus nasionalisme ekonomi era Soekarno
dan bergerak menuju integrasi lebih luas dengan ekonomi global. Sebaliknya,
militer Myanmar memperkuat nasionalisme ekonomi dan lebih memandang ke dalam.
Perbedaan
lain, kekuasaan militer Indonesia dan peran ekonomi mereka justru berkurang
pada era Soeharto. Terjadi pergeseran dari kekuasaan Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada awal Orde Baru ke kekuatan
baru berbasis pada Golongan Karya dan pemilu terkontrol. Teknokrat mulai
berperan dalam pengambilan kebijakan. Saat reformasi terjadi, militer tak
lagi menjadi penghalang.
Di
Myanmar, militer terus mencengkeram. Kekuasaan ala Kopkamtib dipertahankan
untuk memberangus masyarakat sipil. Peran ekonomi mereka terus berkembang.
Militer menguasai sejumlah perusahaan besar, terutama di sektor gas dan
kehutanan, meski sekarang dibubarkan.
Hal lain
yang membedakan, kelompok masyarakat madani di Myanmar rapuh dan jumlahnya
terbatas. Pengajaran bahasa Inggris sempat dihentikan sejak 1960-an karena
dianggap sebagai bahasa kaum imperialis. Pendidikan berisi propaganda
pemerintah yang diawasi militer. Gerakan oposisi lebih didasarkan pada
kebencian terhadap pemerintah dan ketertarikan pada figur Suu Kyi yang
karismatik, tanpa ideologi atau kerangka kerja organisasi jelas.
Cengkeraman militer
Akhirnya
pelaku reformasi datang dari kalangan pemerintahan militer. Reformasi hanya
bisa dilakukan terbatas karena ada kubu dalam militer menolak reformasi
khawatir kehilangan kekuasaan konstitusional, kursi di parlemen, dan
keuntungan ekonomi. Belum lagi peluang perpecahan jika kekuasaan militer
melemah mengingat etnisitas minoritas, seperti Kachin, menggelorakan
perlawanan bersenjata untuk memisahkan diri. Lalu juga ada persoalan etnis
Rohingya.
Ini
berbeda dari Indonesia yang memiliki masyarakat madani cukup kuat dan
berperan besar menggulirkan reformasi. Di bidang hak asasi manusia, Indonesia
telah memiliki Komisi Nasional HAM sejak Soeharto masih berkuasa. Indonesia
juga tidak menutup diri dari dunia luar dan menjalani politik luar negeri bebas
aktif sesuai Undang- Undang Dasar 1945.
Myanmar
memang bisa becermin pada Indonesia dalam sejumlah hal, termasuk mengelola
desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, keragaman etnisitas di Myanmar
cukup menimbulkan masalah. Dari segi geografis, kerusuhan di satu daerah di
Myanmar bisa menjalar dengan cepat ke daerah lain. Hal ini bisa menjadi
alasan militer Myanmar tidak begitu saja membuka keran demokratisasi atau
otonomi daerah.
Pada
akhirnya reformasi politik, ekonomi, dan demokrasi di Myanmar akan sulit
ditempuh jika militer masih mencengkeram kuat kekuasaan. Bagi militer hanya
ada dua pilihan: sekuat tenaga mempertahankan kepentingan mereka saat ini
atau melihat perubahan tak dapat dihindari sehingga harus dikendalikan dan
diatur oleh militer.
Selain
itu, peran masyarakat madani yang masih berada di tahap awal demokratisasi
memperlihatkan bahwa jalan masih panjang bagi Myanmar untuk menjalankan
reformasi politik menuju negara yang demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar