Rabu, 16 April 2014

Jalan Panjang Reformasi Myanmar

LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN

Jalan Panjang Reformasi Myanmar

Tim Kompas
KOMPAS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
HAMPIR  lima dekade Myanmar berada di bawah rezim militer yang menutup diri terhadap dunia internasional. Angin perubahan akhirnya bertiup setelah pada pemilu 2010. Thein Sein, mantan perdana menteri rezim dan jenderal beraliran moderat, terpilih sebagai presiden yang memimpin pemerintahan sipil dukungan militer.

Sejumlah langkah reformasi dilakukan, antara lain pembebasan tahanan politik, melonggarkan pembatasan media, izin bagi buruh untuk berserikat, dan keleluasaan bagi tokoh oposisi Aung San Suu Kyi untuk terjun ke dunia politik. Upaya ini cukup meyakinkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk tak lagi menunda giliran Myanmar menjadi ketua ASEAN pada 2014.

Namun, isolasi sejak militer berkuasa pada 1962 membuat negeri itu hanya memiliki sedikit pengalaman bersentuhan dengan dunia luar, selain hubungan ekonomi yang erat dengan Tiongkok. Tak heran masih ada kecurigaan pada hal berbau asing atau Barat, seperti sistem demokrasi, supremasi hukum, hak warga negara, dan sistem pasar.

Dalam beberapa hal, proses yang dijalani Myanmar mengingatkan pada pengalaman Indonesia. Muncul pertanyaan, bisakah Myanmar berubah dan apakah Indonesia bisa menjadi contoh bagi Myanmar?

Kedua negara sama-sama menjalani periode demokrasi parlementer pada dekade 1950-an. Lalu terjadi transisi dari sistem demokratis ke pemerintahan otoritarian, diikuti nasionalisme ekonomi, serta peran negara yang semakin dominan. Di Myanmar, kekuasaan dijalankan rezim militer. Di Indonesia, Soekarno memimpin dengan demokrasi terpimpin sebelum diambil alih militer. Karena itu, militer kedua negara menjadi faktor penentu di bidang politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.

Situasi Indonesia berubah cepat pada era reformasi. Diawali tumbangnya Orde Baru, disusul reformasi demokrasi, kebijakan desentralisasi, keterbukaan masyarakat madani, dan kebebasan pers. Apakah Myanmar akan menempuh jalan serupa?

Perubahan terkendali

Meski ada kesamaan di permukaan, terdapat juga perbedaan penting. Bangkitnya rezim militer di Indonesia sejak 1965 malah menghapus nasionalisme ekonomi era Soekarno dan bergerak menuju integrasi lebih luas dengan ekonomi global. Sebaliknya, militer Myanmar memperkuat nasionalisme ekonomi dan lebih memandang ke dalam.

Perbedaan lain, kekuasaan militer Indonesia dan peran ekonomi mereka justru berkurang pada era Soeharto. Terjadi pergeseran dari kekuasaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada awal Orde Baru ke kekuatan baru berbasis pada Golongan Karya dan pemilu terkontrol. Teknokrat mulai berperan dalam pengambilan kebijakan. Saat reformasi terjadi, militer tak lagi menjadi penghalang.

Di Myanmar, militer terus mencengkeram. Kekuasaan ala Kopkamtib dipertahankan untuk memberangus masyarakat sipil. Peran ekonomi mereka terus berkembang. Militer menguasai sejumlah perusahaan besar, terutama di sektor gas dan kehutanan, meski sekarang dibubarkan.

Hal lain yang membedakan, kelompok masyarakat madani di Myanmar rapuh dan jumlahnya terbatas. Pengajaran bahasa Inggris sempat dihentikan sejak 1960-an karena dianggap sebagai bahasa kaum imperialis. Pendidikan berisi propaganda pemerintah yang diawasi militer. Gerakan oposisi lebih didasarkan pada kebencian terhadap pemerintah dan ketertarikan pada figur Suu Kyi yang karismatik, tanpa ideologi atau kerangka kerja organisasi jelas.

Cengkeraman militer

Akhirnya pelaku reformasi datang dari kalangan pemerintahan militer. Reformasi hanya bisa dilakukan terbatas karena ada kubu dalam militer menolak reformasi khawatir kehilangan kekuasaan konstitusional, kursi di parlemen, dan keuntungan ekonomi. Belum lagi peluang perpecahan jika kekuasaan militer melemah mengingat etnisitas minoritas, seperti Kachin, menggelorakan perlawanan bersenjata untuk memisahkan diri. Lalu juga ada persoalan etnis Rohingya.

Ini berbeda dari Indonesia yang memiliki masyarakat madani cukup kuat dan berperan besar menggulirkan reformasi. Di bidang hak asasi manusia, Indonesia telah memiliki Komisi Nasional HAM sejak Soeharto masih berkuasa. Indonesia juga tidak menutup diri dari dunia luar dan menjalani politik luar negeri bebas aktif sesuai Undang- Undang Dasar 1945.

Myanmar memang bisa becermin pada Indonesia dalam sejumlah hal, termasuk mengelola desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, keragaman etnisitas di Myanmar cukup menimbulkan masalah. Dari segi geografis, kerusuhan di satu daerah di Myanmar bisa menjalar dengan cepat ke daerah lain. Hal ini bisa menjadi alasan militer Myanmar tidak begitu saja membuka keran demokratisasi atau otonomi daerah.

Pada akhirnya reformasi politik, ekonomi, dan demokrasi di Myanmar akan sulit ditempuh jika militer masih mencengkeram kuat kekuasaan. Bagi militer hanya ada dua pilihan: sekuat tenaga mempertahankan kepentingan mereka saat ini atau melihat perubahan tak dapat dihindari sehingga harus dikendalikan dan diatur oleh militer.

Selain itu, peran masyarakat madani yang masih berada di tahap awal demokratisasi memperlihatkan bahwa jalan masih panjang bagi Myanmar untuk menjalankan reformasi politik menuju negara yang demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar