LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Menyongsong
Angin Perubahan ASEAN
Tim Kompas
|
KOMPAS,
15 April 2014
Pengantar
Redaksi
Harian ”Kompas" kembali mengadakan diskusi
bersama Asia Research Centre (ARC), Murdoch University. Diskusi pada 20 Maret
di Perth, Australia, bertema ”Indonesia dalam Perubahan Politik dan Ekonomi di ASEAN”. Para pembicara adalah Direktur ARC Dr
Kevin Hewison serta para peneliti di ARC, yaitu Prof Richard Robison, Prof
Garry Rodan, Prof Vedi Hadiz, Dr Jeffrey D Wilson, dan Dr Kelly Gerard. Dr
Joko Kusnanto Anggoro dari Universitas Pertahanan Indonesia menjadi pembahas
dan Dr Ian Wilson dari ARC sebagai moderator. Laporan diskusi disampaikan
berikut ini serta di halaman 6 dan 7 oleh Ninuk M Pambudy, Johanes Waskita
Utama, dan Andreas Maryoto.
--------------
NEGARA-negara
di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mengalami perubahan
penting dalam bidang ekonomi dan politik selama dekade terakhir.
Perdagangan
bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai akhir 2015. Dalam lingkup
lebih luas, Asia-Pasifik yang kini menjadi motor ekonomi dunia tengah
menyongsong dua pakta perdagangan bebas, yaitu Kerja Sama Ekonomi
Komprehensif Kawasan (RCEP) yang berpusat pada ASEAN dengan kesertaan
negara-negara lain dan Kemitraan Trans Pasifik (TPP) yang dimotori Amerika
Serikat.
Dari
sisi politik, ASEAN juga mengalami perubahan. Indonesia tengah berproses
menjadi negara demokrasi yang lebih berkualitas. Myanmar mulai membuka diri
terhadap dunia luar, Singapura dan Malaysia menghadapi tuntutan perubahan
dari kelas menengah, sementara di Thailand isu ketimpangan sosial-ekonomi
menyebabkan perpecahan dan demonstrasi berkepanjangan yang mengubah citra
negara demokrasi maju.
Bagi
masyarakat internasional, ASEAN adalah kawasan ekonomi dan politik penting.
Stabilitas kawasan ini menentukan stabilitas Asia-Pasifik, terlebih dengan
bangkitnya kekuatan ekonomi Tiongkok. Dana Moneter Internasional (IMF)
menyebut ASEAN akan menjadi pusat pertumbuhan baru ekonomi Asia-Pasifik.
Tahun ini diperkirakan ekonomi ASEAN tumbuh stabil 5 persen dengan Filipina
tumbuh 6,5 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Indonesia 5,4 persen.
Myanmar
dan Kamboja, yang baru membuka diri pada investasi dari luar, dalam fase
mengejar pertumbuhan ekonomi dengan 7,8 persen dan 7,2 persen. Persoalan bagi
Myanmar adalah rezim militer otoriter masih belum memberikan demokrasi lebih
luas karena takut kehilangan kekuasaan dan keuntungan ekonomi serta
instabilitas politik karena banyaknya suku yang beberapa di antaranya ingin
merdeka. Aliran investasi asing yang masuk deras juga dapat menjadi sumber
ketimpangan sosial-ekonomi, seperti di beberapa negara ASEAN, jika
diinvestasikan di properti, bukan infrastruktur.
Identitas ASEAN
Meski
terlihat solid, ASEAN menyimpan persoalan kronis karena keragaman yang besar
dalam politik, ekonomi, dan sosial anggotanya. Dengan prinsip tidak
mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, tak mudah menyatukan visi
tentang, misalnya, demokrasi dan hak asasi manusia.
Indonesia
sebagai negara dengan ekonomi, populasi, dan luas kawasan terbesar di ASEAN
sangat wajar jika diharapkan menjadi pemimpin. Sayangnya, kepemimpinan
tersebut belum menonjol, baik untuk kepentingan Indonesia maupun ASEAN. Dalam
perundingan ekonomi dan perdagangan bebas, misalnya, perjanjian lebih banyak
dibuat tiap-tiap anggota dengan mitra di luar ASEAN.
Perjanjian
perdagangan pun lebih ditujukan pada kesepakatan tarif daripada isu lebih
menukik, seperti pertanian dan ketahanan pangan, hak atas kekayaan
intelektual, serta keuangan. Karena alasan tersebut, muncul pesimisme
perjanjian MEA akan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat ASEAN.
Tidak
koherennya ASEAN juga terlihat dalam penyelesaian sengketa perbatasan antara
Thailand dan Kamboja. Peran Indonesia dibatasi oleh kerangka ASEAN yang tidak
mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Penyelesaian akhirnya harus
memakai dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Mahkamah Internasional. Begitu
pula dalam sengketa kepemilikan sejumlah pulau kecil di Laut Tiongkok Selatan
antara Filipina, Vietnam, dan Tiongkok. Kerangka ASEAN tidak tampak berbuat
banyak.
Dalam
hubungan dengan masyarakat sipil, ASEAN sebenarnya dapat membangun solidaritas
lebih baik. Ada banyak kerangka kerja untuk meningkatkan pelibatan masyarakat
sipil, tetapi juga tidak berfungsi baik.
Penyebabnya
karena lembaga masyarakat sipil yang dapat berpartisipasi dan jenis
partisipasinya diatur agar tak berbeda pandangan dengan pemerintah negara
anggota. Hal yang dianggap sensitif, misalnya, soal hak asasi manusia dan
demokrasi. Karena pengaturan yang formal tersebut, rasa memiliki masyarakat
menjadi lemah. Padahal, dialog di antara anggota masyarakat akan meningkatkan
solidaritas dan koherensi ASEAN.
Tanpa
kepemimpinan yang kuat, ASEAN tetap akan seperti sekarang. Kinerja ekonomi
dan politik kawasan ini tidak akan mencapai potensinya.
Kepemimpinan
Pada
dasarnya pemerintahan negara-negara anggota ASEAN bersifat elitis. ASEAN juga
melihat ke dalam sebagai organisasi dengan identitas ganda, yaitu ketika
berhadapan dengan dunia di luar ASEAN dan ketika saling berhadapan di antara
sesama anggota ASEAN.
Saat
berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat
sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin
dilakukan adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan
terintegrasi seperti Uni Eropa.
Itu
sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih
akan terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas
melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di
luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara
anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral
dengan kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan
inisiatif dalam kerangka ASEAN.
Indonesia
dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain
kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada
dukungan dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki
visi. Hal ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu
menyatukan semua pemangku kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar