Dampak
Politik Transaksional
Sumaryono ; Dosen Fakultas
Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
|
KORAN
JAKARTA, 09 April 2014
Rabu
(9/4) ini sangat mendebarkan bagi sekitar 1,6 juta calon legislatif (caleg)
pusat maupun daerah. Beberapa parpol begitu percaya diri mendeklarasikan
capresnya. Sebagian lain masih menunggu hasil pemilu legislatif sebagai
parameter memajukan capres dan cawapres.
Dalam
kamus politik kapitalisme, politik dipandang sebagai seni mendapat kekuasaan
dengan modal besar walaupun kadang minus gagasan. Konsekuensi paham politik
demikian, berbagai cara pun digunakan untuk merengkuhnya. Salah satu cara
dengan praktik politik transaksional.
Politik
transaksional juga biasa disebut politik dagang sapi. Deskripsi sederhananya,
berupa perjanjian politik antarbeberapa pihak dalam usaha menerima serta
memperalat kekuasaan. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa
menyentuh seluruh aktivitas politik. Bukan hanya pilpres, tapi juga pileg,
pilkada, saat pengambilan kebijakan penguasa dan lainnya.
Dari
namanya, maka ada transaksi untuk menjual dan membeli. Di sini tentu
dibutuhkan alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa jabatan, uang,
ataupun lainnya. Jadi, dalam pembahasan, politik uang menjelang pemilu
merupakan salah satu bagian dari politik transaksional.
Dalam
konteks ini, aparat hukum perlu memidanakan pelaku politik uang tersebut
dengan hukuman berat secara tegas dan konsisten. Sebab bila ini dibiarkan,
tentu akan berdampak bahaya.
Menurut
Mantan Menko Kesra 2004-2005 (Alwi Syihab), praktik politik ini mulai subur
semenjak pemilu tahun 50-an. Dalam sistem presidensial, presiden terpilih
akan menjatah menteri kepada anggota koalisi, bukan oposisi.
Andai
ada jatah menteri untuk oposisi, akan didorong menjadi anggota koalisi baru.
Dalam hal ini, penguasa berupaya merangkul banyak kekuatan untuk menjaga
rezim.
Sebagai
contoh kasus, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, ketika Golkar mendadak menjadi
koalisi, meski tidak ikut mengangkat SBY ke R1 satu. Upaya ini juga coba
diterapkan pada PDIP, ketika Demokrat meminang Puan Maharani menjadi menteri,
tapi gagal.
Politik
transaksional berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya
akan memunculkan pejabat yang tidak berintegritas.
Banyak
pejabat yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena
didorong politik transaksional. Hasilnya, seperti terlihat dari evaluasi Unit
Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tahun
2012 lalu, yang telah diserahkan kepada presiden. Banyak kementerian yang
kinerjanya mendapat rapot merah. Lebih dari itu, kinerja anggota DPR
2009-2014 juga buruk. Tentu ini menjadi ironi.
Terlepas
adanya indikasi motif politik dari lembaga tersebut, namun secara kasat mata
terlihat kinerja para menteri dan anggota DPR tidak mampu menaikkan tingkat
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.
Selain
itu, politik transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional. Kepala
negara model ini teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar
transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik,
maupun pihak-pihak lain. Alhasil implementasi kebijakan penguasa ini banyak
tidak berpihak kepada rakyat. Contoh, kebijakan liberalisasi migas dan
penjualan aset negara.
Di
samping itu, politik transaksional juga akan memunculkan maraknya korupsi.
Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut menjadikan
korupsi kian tak terkendali. Hari demi hari, masyarakat selalu disuguhi
pemberitaan korupsi para pejabat.
Sistem
hukumnya sendiri masih lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi
persoalan hukum yang muncul. Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar
untuk membiayai transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus
berusaha untuk mencari cara mengembalikan modal.
Lebih
dari itu, politik transaksional akan menjadikan lemahnya penegakan hukum.
Governance World Bank (GWB) tahun 2011 pernah membeberkan lemahnya penegakan
hukum di Indonesia.
GWB
menyoroti kinerja pemerintah dari beberapa kasus, seperti penanganan Bank
Century, cicak-buaya, mafia hukum seperti suap para hakim, dan lumpur
Lapindo. Dalam kasus-kasus tersebut disinyalemen ada politik saling sandera.
Ini merupakan efek politik transaksional.
Korporasi
Ada satu
gejala paling menonjol yang melanda parpol, masuknya para pengusaha di
jajaran puncak pimpinan partai. Sudah bukan rahasia, dalam politik
transaksional, akan terdapat simbiosis mutualistis antara pengusaha dan
penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnis,
sementara para politikus memerlukan dukungan dana guna membiayai kegiatan
politik.
Namun,
membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini dipandang tidak
praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih ringkas jika
kedudukan politik ada di tangan pengusaha.
Sebaliknya,
jaringan bisnis dimiliki seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih
manjur bila pengusaha seorang penguasa atau penguasanya seorang pengusaha.
Tampaknya inilah tren atau kecenderungan yang mewarnai peta perpolitikan pada
masa mendatang.
Bila
indikasi ini kelak benar, Indonesia bakal mengalami transformasi menuju
negara korporasi (corporation state)
yang dikendalikan persekutuan antara kelompok politikus dan pengusaha. Negara
dijadikan instrumen atau kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik, bisa
saja tidak sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat, tetapi demi
kepentingan bisnis.
Dominasi
korporasi terhadap negara semakin menguat bila perusahaan multinasional
dipersilakan turut bermain sebagai kompensasi dukungan mereka terhadap elite
politik yang pengusaha itu.
Contohnya,
dalam kasus blok kaya minyak Cepu, Exxon Mobil, perusahaan minyak raksasa
dunia yang total sales-nya saja lebih besar dari GDP Indonesia, bisa memaksa
pemerintah Amerika Serikat campur tangan agar perusahaan minyak asal AS itu
ditunjuk pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu.
Negara
korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam
negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak
masyarakat, dianggap pemborosan.
Aset-aset
negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang
tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya. Di Indonesia, Pemilu 2014
berpeluang menjadi pintu utamanya. Oleh karena itu, bila para politikus
pengusaha yang sekarang berada di pimpinan sejumlah parpol nantinya
benar-benar naik ke tampuk kekuasaan pada hasil pemilu 2014, dampaknya
perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi semakin nyata.
Dengan
demikian, sudah saatnya dibutuhkan perubahan paradigma politik dari
kepentingan transaksional menuju pelayanan yang sungguh-sungguh berkomitmen
mengabdi rakyat. Jangan sampai keputusan-keputusan politik dibuat tidak
sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk bisnis.
Kader
partai yang duduk di parlemen jangan hanya menjadi alat legitimasi pemuasan
politik-ekonomi elite partai. Bila sebelumnya telah lahir sejumlah UU yang
sangat liberal-kapitalistik, ke depan UU semacam itu perlu direvisi. UU
semacam itu akan memiskinkan rakyat.
Masyarakatlah yang harus menanggung beban. Jurang kaya-miskin bakal semakin
lebar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar