Kamis, 10 April 2014

Dampak Politik Transaksional

Dampak Politik Transaksional

Sumaryono  ;   Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
KORAN JAKARTA, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Rabu (9/4) ini sangat mendebarkan bagi sekitar 1,6 juta calon legislatif (caleg) pusat maupun daerah. Beberapa parpol begitu percaya diri mendeklarasikan capresnya. Sebagian lain masih menunggu hasil pemilu legislatif sebagai parameter memajukan capres dan cawapres.

Dalam kamus politik kapitalisme, politik dipandang sebagai seni mendapat kekuasaan dengan modal besar walaupun kadang minus gagasan. Konsekuensi paham politik demikian, berbagai cara pun digunakan untuk merengkuhnya. Salah satu cara dengan praktik politik transaksional.

Politik transaksional juga biasa disebut politik dagang sapi. Deskripsi sederhananya, berupa perjanjian politik antarbeberapa pihak dalam usaha menerima serta memperalat kekuasaan. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa menyentuh seluruh aktivitas politik. Bukan hanya pilpres, tapi juga pileg, pilkada, saat pengambilan kebijakan penguasa dan lainnya.

Dari namanya, maka ada transaksi untuk menjual dan membeli. Di sini tentu dibutuhkan alat pembayaran jual-beli tersebut, baik berupa jabatan, uang, ataupun lainnya. Jadi, dalam pembahasan, politik uang menjelang pemilu merupakan salah satu bagian dari politik transaksional.

Dalam konteks ini, aparat hukum perlu memidanakan pelaku politik uang tersebut dengan hukuman berat secara tegas dan konsisten. Sebab bila ini dibiarkan, tentu akan berdampak bahaya.

Menurut Mantan Menko Kesra 2004-2005 (Alwi Syihab), praktik politik ini mulai subur semenjak pemilu tahun 50-an. Dalam sistem presidensial, presiden terpilih akan menjatah menteri kepada anggota koalisi, bukan oposisi.

Andai ada jatah menteri untuk oposisi, akan didorong menjadi anggota koalisi baru. Dalam hal ini, penguasa berupaya merangkul banyak kekuatan untuk menjaga rezim.

Sebagai contoh kasus, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, ketika Golkar mendadak menjadi koalisi, meski tidak ikut mengangkat SBY ke R1 satu. Upaya ini juga coba diterapkan pada PDIP, ketika Demokrat meminang Puan Maharani menjadi menteri, tapi gagal.

Politik transaksional berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya akan memunculkan pejabat yang tidak berintegritas.

Banyak pejabat yang sejatinya tidak layak menduduki jabatan, tetapi terpilih karena didorong politik transaksional. Hasilnya, seperti terlihat dari evaluasi Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tahun 2012 lalu, yang telah diserahkan kepada presiden. Banyak kementerian yang kinerjanya mendapat rapot merah. Lebih dari itu, kinerja anggota DPR 2009-2014 juga buruk. Tentu ini menjadi ironi.

Terlepas adanya indikasi motif politik dari lembaga tersebut, namun secara kasat mata terlihat kinerja para menteri dan anggota DPR tidak mampu menaikkan tingkat kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.

Selain itu, politik transaksional dapat menciptakan pemimpin transaksional. Kepala negara model ini teramat doyan mengambil kebijakan-kebijakan berdasar transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik, maupun pihak-pihak lain. Alhasil implementasi kebijakan penguasa ini banyak tidak berpihak kepada rakyat. Contoh, kebijakan liberalisasi migas dan penjualan aset negara.

Di samping itu, politik transaksional juga akan memunculkan maraknya korupsi. Lemahnya penegakan hukum akibat politik transaksional tersebut menjadikan korupsi kian tak terkendali. Hari demi hari, masyarakat selalu disuguhi pemberitaan korupsi para pejabat.

Sistem hukumnya sendiri masih lemah dari awal sehingga makin sulit mengatasi persoalan hukum yang muncul. Ketika kekuasaan memerlukan finansial besar untuk membiayai transaksi-transaksi politik, implikasinya mereka akan terus berusaha untuk mencari cara mengembalikan modal.

Lebih dari itu, politik transaksional akan menjadikan lemahnya penegakan hukum. Governance World Bank (GWB) tahun 2011 pernah membeberkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

GWB menyoroti kinerja pemerintah dari beberapa kasus, seperti penanganan Bank Century, cicak-buaya, mafia hukum seperti suap para hakim, dan lumpur Lapindo. Dalam kasus-kasus tersebut disinyalemen ada politik saling sandera. Ini merupakan efek politik transaksional.

Korporasi

Ada satu gejala paling menonjol yang melanda parpol, masuknya para pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Sudah bukan rahasia, dalam politik transaksional, akan terdapat simbiosis mutualistis antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnis, sementara para politikus memerlukan dukungan dana guna membiayai kegiatan politik.

Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini dipandang tidak praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih ringkas jika kedudukan politik ada di tangan pengusaha.

Sebaliknya, jaringan bisnis dimiliki seorang politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur bila pengusaha seorang penguasa atau penguasanya seorang pengusaha. Tampaknya inilah tren atau kecenderungan yang mewarnai peta perpolitikan pada masa mendatang.

Bila indikasi ini kelak benar, Indonesia bakal mengalami transformasi menuju negara korporasi (corporation state) yang dikendalikan persekutuan antara kelompok politikus dan pengusaha. Negara dijadikan instrumen atau kendaraan bisnis. Keputusan-keputusan politik, bisa saja tidak sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan bisnis.

Dominasi korporasi terhadap negara semakin menguat bila perusahaan multinasional dipersilakan turut bermain sebagai kompensasi dukungan mereka terhadap elite politik yang pengusaha itu.

Contohnya, dalam kasus blok kaya minyak Cepu, Exxon Mobil, perusahaan minyak raksasa dunia yang total sales-nya saja lebih besar dari GDP Indonesia, bisa memaksa pemerintah Amerika Serikat campur tangan agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk pemerintah Indonesia sebagai pengelola Blok Cepu.

Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak masyarakat, dianggap pemborosan.

Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya. Di Indonesia, Pemilu 2014 berpeluang menjadi pintu utamanya. Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang berada di pimpinan sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan pada hasil pemilu 2014, dampaknya perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi semakin nyata.

Dengan demikian, sudah saatnya dibutuhkan perubahan paradigma politik dari kepentingan transaksional menuju pelayanan yang sungguh-sungguh berkomitmen mengabdi rakyat. Jangan sampai keputusan-keputusan politik dibuat tidak sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk bisnis.

Kader partai yang duduk di parlemen jangan hanya menjadi alat legitimasi pemuasan politik-ekonomi elite partai. Bila sebelumnya telah lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, ke depan UU semacam itu perlu direvisi. UU semacam itu akan memiskinkan  rakyat. Masyarakatlah yang harus menanggung beban. Jurang kaya-miskin bakal semakin lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar