Semuanya
Tergantung Rakyat
Musa Maliki ; Pengajar FISIP UPN
Veteran Jakarta
|
OKEZONENEWS,
07 April 2014
Negara
ini menjadi baik atau buruk sangat ditentukan oleh refleksi rakyatnya.
Pilihan pemilu 2014 ini ditangan rakyat, bukan system dan pemimpinnya. Sistem
menjadi baik pun ditentukan oleh rakyat. Pemimpin yang baik pun tergantung
rakyat milihnya seperti apa. Singkatnya, suara rakyat adalah hidup matinya
negara ini.
Wakil
rakyat mau korup atau bersih, rakyat yang menentukan. Presiden mau leda-lede, mencla-mencle atau tegas,
sigap berwibawa, rakyat yang memilih. Rakyat Indonesia memang bermacam-macam:
ada yang cerdas, ada juga yang bodoh, yang paham dan yang cuek, ada yang
bermental preman, ada juga yang bermental kesatria, ada yang berpikir pendek,
ada juga yang visioner, ada yang pragmatis, ada yang idealis. Jadi semua hal
yang menentukan negara ini bergantung pada rakyatnya, yang berpartisipasi
dalam pemilihan ini.
Kontraversi
yang ada: di satu sisi, kita katakan rakyat kita cerdas-cerdas dan mau
perbaikan. Di sisi lain, rakyat kita bodoh-bodoh dan mau enaknya
sendiri-sendiri. Jika kita pakai teori piramid atau darwinisme sosial, maka
yang rada/agak cerdas ada di tengah dengan jumlah yang sedang-sedang saja.
Sedangkan yang bodoh-bodoh berada terbawah dengan jumlah terbanyak,
berbanding terbalik dengan piramid tertinggi yang jumlahnya terkecil.
Rasanya, penulis masih melihat bahwa kemerataan kok ya tidak terjadi. Dengan kata,
lain jurang antara si bodoh dan si pintar semakin melebar. Jadi teori piramid
ini semakin kuat.
Kita
harus keluar dari tempurung kita dan mendekat kepada kebodohan di lapangan.
Kita harus keluar dari dunia dunia institusionalis, yakni keluar dari ruang-ruang
pendidikan formal, ruang ruang modernitas, dan ruang-ruang idealis. Di
kebodohan, ada ruang yang diklaim sebagai ‘bodoh’, karena memang sangat
sempit pergerakkan logika dan prakteknya, dibandingkan ruang yang dinamakan
‘pintar’. Yang bodoh itu banyak jumlahnya dan memiliki ruang kebodohan begitu
luas, tapi akses menuju ruang kepinteran itu terbatas karena banyak hal. Jadi
sebenarnya siapa yang mendominasi siapa, bukan masalah definisi ‘bodoh’ itu
salah dan ‘cerdas’ itu baik. Masalahnya, bodoh adalah mayoritas, karena
sistem kemoderenan dan sistem menuju pintar salurannya terbatas. Singkat
kata, jika Indonesia mau lebih baik menurut orang-orang pintar yang minoritas
itu, maka orang pinter harus membuat menjadi-pintar itu murah, bila perlu
gratis.
Salah
satu caranya membuka kemudahan untuk ruang kepinteran: ruang media dibuka
dengan diskusi-diskusi yang mencerdaskan bukan tontonan-tontonan dangkal yang
memuaskan nafsu, birahi, dan kesenangan semata. Menjadi pintar itu capek,
susah, sakit dan penuh perjuangan. Menjadi pintar adalah olah raga dan olah
jiwa. Ada tempaan bertubi-tubi. Sebaliknya ruang media apapun di Indonesia
tidak memaksa/menempa ke arah itu, karena demi rating, lalu kapital dan
berakhir pada doktrin materialisme. Sejauh mana dan sebanyak apa rakyat
Indonesia mau menempuh jalan terjal dan menyakitkan demi masa depan yang
cerah dan baik? Jawabannya hanya segelintir orang saja.
Masalah
subsidi pastinya keinginan rakyat kebanyakan, jadi pengeluaran untuk kebaikan
masa depan menjadi berkurang atau bahkan hampir tidak ada. Masalah kemacetan,
tentunya karena kebanyakan orang inginnya nyaman dan cari enaknya saja.
Sistem justru mengikuti yang non-sistem. Di sini kita paham betul orang
Indonesia tidak mau susah, tapi justru faktanya terjadi kesusahan. Hal inilah
yang disebut bodoh. Dari ukuran seperti ini, memilih wakil rakyat dan
pemimpin pun, rakyat kemungkinan besar akan menoblos orang-orang yang hanya
memberi keenakan, kesenangan, dan kenyamanan sesaat saja.
Kita
coba menengok pertarungan Kurawa dan Pandawa. Dari keduanya, Kurawa
pasukannya lebih banyak daripada Pandawa. Sepertinya dalam pertarungan ini,
jika jaman dulu mereka pakai sistem demokrasi, maka Kurawa menang, sebab
jumlahnya lebih banyak. Mayoritas signifikan untuk diopeni, dilayani, dan
lebih berhak menentukan masa depan negara Astina daripada minoritas satria
Pandawa. Jadi dengan menerapkan sistem demokrasi secara normal dan wajar pun,
negeri ini tetap dipimpin dan ditentukan oleh para Kurawa. Kita bisa
banyangkan di DPR itu hanya ada Bima sisanya Kurawa, maka dengan jelas kita
tahu arah kebijakan dan produk UU yang dibuat, lagi-lagi dibuat secara
demokratis.
Dalam
sistem demokrasi yang mayoritasnya masih mikir perut dan bawah perut,
tentunya negeri ini sudah jelas akan dibawa kemana, kegagalan negara (failed
state). Negara yang mayoritasnya bodoh, bukan karena bodoh sesungguhnya, tapi
karena akses ruang dan sistem orang-orang yang bodoh ini terbatas untuk
menjadi setara dengan orang yang dianggap pintar.
Dari
konteks di atas, sistem demokrasi sudah memberi dukungan kemenangan kepada
para Kurawa, karena ruang menjadi bodoh lebih luas dibandingkan ruang pintar.
Ruang pintar lancar hanya untuk orang-orang bodoh yang memaksa dirinya,
‘menyakiti diri’, menempa dirinya untuk mendapat akses menjadi pintar.
Sebanyak apa orang ingin menjadi pintar atau sistem menopang orang bodoh
mendapat akses untuk menjadi pintar? Begitu banyak hambatan dan kendala,
khususnya yang menyediakan ruang dan sistem itu pun orang bodoh juga. Kalau
begini, sepertinya Indonesia kerepotan mengejar ketertinggalan dari negara
maju. Terkait dengan perbandingan ini, masalahnya negara maju sedikit orang
bodoh, lumayan orang pintarnya. Minimal mereka merata. Sebaliknya di
Indonesia justru adanya ketimpangan si bodoh dan si pintar, si bodoh semakin
banyak dan sip inter semakin sedikit.
Secara
kasat mata, pemilu ini sepertinya akan terjadi sedikit perubahan, sebab masih
banyak sekali orang bodoh daripada orang pintar untuk memilih wakil dan
pemimpin mereka. Analisis historis filosofis di atas menjelaskan bahwa
Indonesia akan bergerak sangat lamban.
Kebenaran
analisis ini akan terlihat, terasa, dan dipahami 2 tahun ke depan. Masih
ingatkah dua periode SBY berkuasa? Sepertinya periode pertama dan kedua
perubahannya tidak signifikan, sehingga hampir tidak ada kesan apapun dalam
periode SBY.
Pesimisme
analisis ini sebaiknya menjadi bahan inspirasi para pembaca untuk memaksa
diri agar mau menjalankan laku kepinteran. Sebenarnya menjadi pintar itu
tidak ada yang mudah. Jadi yang harus dilakukan generasi sekarang adalah,
apakah mereka mau bersusah-susah untuk kira-kira 10 tahun ke depan demi
generasi berikutnya dan demi bangsa? Itu tantangan generasi sekarang.
Perubahan Indonesia yang lama diandaikan seperti kapal raksasa Titanic yang
membelok. Masalahnya jika belokan kapal raksasa Indonesia salah perhitungan,
karena belokannya begitu lamban dan lama, maka dia akan tenggelam menabrak
karang dan tenggelam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar