Selasa, 08 April 2014

Semuanya Tergantung Rakyat

Semuanya Tergantung Rakyat

Musa Maliki  ;   Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta
OKEZONENEWS, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Negara ini menjadi baik atau buruk sangat ditentukan oleh refleksi rakyatnya. Pilihan pemilu 2014 ini ditangan rakyat, bukan system dan pemimpinnya. Sistem menjadi baik pun ditentukan oleh rakyat. Pemimpin yang baik pun tergantung rakyat milihnya seperti apa. Singkatnya, suara rakyat adalah hidup matinya negara ini.

Wakil rakyat mau korup atau bersih, rakyat yang menentukan. Presiden mau leda-lede, mencla-mencle atau tegas, sigap berwibawa, rakyat yang memilih. Rakyat Indonesia memang bermacam-macam: ada yang cerdas, ada juga yang bodoh, yang paham dan yang cuek, ada yang bermental preman, ada juga yang bermental kesatria, ada yang berpikir pendek, ada juga yang visioner, ada yang pragmatis, ada yang idealis. Jadi semua hal yang menentukan negara ini bergantung pada rakyatnya, yang berpartisipasi dalam pemilihan ini.

Kontraversi yang ada: di satu sisi, kita katakan rakyat kita cerdas-cerdas dan mau perbaikan. Di sisi lain, rakyat kita bodoh-bodoh dan mau enaknya sendiri-sendiri. Jika kita pakai teori piramid atau darwinisme sosial, maka yang rada/agak cerdas ada di tengah dengan jumlah yang sedang-sedang saja. Sedangkan yang bodoh-bodoh berada terbawah dengan jumlah terbanyak, berbanding terbalik dengan piramid tertinggi yang jumlahnya terkecil. Rasanya, penulis masih melihat bahwa kemerataan kok ya tidak terjadi. Dengan kata, lain jurang antara si bodoh dan si pintar semakin melebar. Jadi teori piramid ini semakin kuat.

Kita harus keluar dari tempurung kita dan mendekat kepada kebodohan di lapangan. Kita harus keluar dari dunia dunia institusionalis, yakni keluar dari ruang-ruang pendidikan formal, ruang ruang modernitas, dan ruang-ruang idealis. Di kebodohan, ada ruang yang diklaim sebagai ‘bodoh’, karena memang sangat sempit pergerakkan logika dan prakteknya, dibandingkan ruang yang dinamakan ‘pintar’. Yang bodoh itu banyak jumlahnya dan memiliki ruang kebodohan begitu luas, tapi akses menuju ruang kepinteran itu terbatas karena banyak hal. Jadi sebenarnya siapa yang mendominasi siapa, bukan masalah definisi ‘bodoh’ itu salah dan ‘cerdas’ itu baik. Masalahnya, bodoh adalah mayoritas, karena sistem kemoderenan dan sistem menuju pintar salurannya terbatas. Singkat kata, jika Indonesia mau lebih baik menurut orang-orang pintar yang minoritas itu, maka orang pinter harus membuat menjadi-pintar itu murah, bila perlu gratis.

Salah satu caranya membuka kemudahan untuk ruang kepinteran: ruang media dibuka dengan diskusi-diskusi yang mencerdaskan bukan tontonan-tontonan dangkal yang memuaskan nafsu, birahi, dan kesenangan semata. Menjadi pintar itu capek, susah, sakit dan penuh perjuangan. Menjadi pintar adalah olah raga dan olah jiwa. Ada tempaan bertubi-tubi. Sebaliknya ruang media apapun di Indonesia tidak memaksa/menempa ke arah itu, karena demi rating, lalu kapital dan berakhir pada doktrin materialisme. Sejauh mana dan sebanyak apa rakyat Indonesia mau menempuh jalan terjal dan menyakitkan demi masa depan yang cerah dan baik? Jawabannya hanya segelintir orang saja.

Masalah subsidi pastinya keinginan rakyat kebanyakan, jadi pengeluaran untuk kebaikan masa depan menjadi berkurang atau bahkan hampir tidak ada. Masalah kemacetan, tentunya karena kebanyakan orang inginnya nyaman dan cari enaknya saja. Sistem justru mengikuti yang non-sistem. Di sini kita paham betul orang Indonesia tidak mau susah, tapi justru faktanya terjadi kesusahan. Hal inilah yang disebut bodoh. Dari ukuran seperti ini, memilih wakil rakyat dan pemimpin pun, rakyat kemungkinan besar akan menoblos orang-orang yang hanya memberi keenakan, kesenangan, dan kenyamanan sesaat saja.

Kita coba menengok pertarungan Kurawa dan Pandawa. Dari keduanya, Kurawa pasukannya lebih banyak daripada Pandawa. Sepertinya dalam pertarungan ini, jika jaman dulu mereka pakai sistem demokrasi, maka Kurawa menang, sebab jumlahnya lebih banyak. Mayoritas signifikan untuk diopeni, dilayani, dan lebih berhak menentukan masa depan negara Astina daripada minoritas satria Pandawa. Jadi dengan menerapkan sistem demokrasi secara normal dan wajar pun, negeri ini tetap dipimpin dan ditentukan oleh para Kurawa. Kita bisa banyangkan di DPR itu hanya ada Bima sisanya Kurawa, maka dengan jelas kita tahu arah kebijakan dan produk UU yang dibuat, lagi-lagi dibuat secara demokratis.

Dalam sistem demokrasi yang mayoritasnya masih mikir perut dan bawah perut, tentunya negeri ini sudah jelas akan dibawa kemana, kegagalan negara (failed state). Negara yang mayoritasnya bodoh, bukan karena bodoh sesungguhnya, tapi karena akses ruang dan sistem orang-orang yang bodoh ini terbatas untuk menjadi setara dengan orang yang dianggap pintar.

Dari konteks di atas, sistem demokrasi sudah memberi dukungan kemenangan kepada para Kurawa, karena ruang menjadi bodoh lebih luas dibandingkan ruang pintar. Ruang pintar lancar hanya untuk orang-orang bodoh yang memaksa dirinya, ‘menyakiti diri’, menempa dirinya untuk mendapat akses menjadi pintar. Sebanyak apa orang ingin menjadi pintar atau sistem menopang orang bodoh mendapat akses untuk menjadi pintar? Begitu banyak hambatan dan kendala, khususnya yang menyediakan ruang dan sistem itu pun orang bodoh juga. Kalau begini, sepertinya Indonesia kerepotan mengejar ketertinggalan dari negara maju. Terkait dengan perbandingan ini, masalahnya negara maju sedikit orang bodoh, lumayan orang pintarnya. Minimal mereka merata. Sebaliknya di Indonesia justru adanya ketimpangan si bodoh dan si pintar, si bodoh semakin banyak dan sip inter semakin sedikit.

Secara kasat mata, pemilu ini sepertinya akan terjadi sedikit perubahan, sebab masih banyak sekali orang bodoh daripada orang pintar untuk memilih wakil dan pemimpin mereka. Analisis historis filosofis di atas menjelaskan bahwa Indonesia akan bergerak sangat lamban.

Kebenaran analisis ini akan terlihat, terasa, dan dipahami 2 tahun ke depan. Masih ingatkah dua periode SBY berkuasa? Sepertinya periode pertama dan kedua perubahannya tidak signifikan, sehingga hampir tidak ada kesan apapun dalam periode SBY.

Pesimisme analisis ini sebaiknya menjadi bahan inspirasi para pembaca untuk memaksa diri agar mau menjalankan laku kepinteran. Sebenarnya menjadi pintar itu tidak ada yang mudah. Jadi yang harus dilakukan generasi sekarang adalah, apakah mereka mau bersusah-susah untuk kira-kira 10 tahun ke depan demi generasi berikutnya dan demi bangsa? Itu tantangan generasi sekarang. Perubahan Indonesia yang lama diandaikan seperti kapal raksasa Titanic yang membelok. Masalahnya jika belokan kapal raksasa Indonesia salah perhitungan, karena belokannya begitu lamban dan lama, maka dia akan tenggelam menabrak karang dan tenggelam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar