Rayuan
Penanggal Kewastikaan
Bambang Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
04 April 2014
Inisiatif Akademi Ilmu
Pengetahuan Yogyakarta untuk membuka dialog tentang peran etika akademik dan
pencegahan plagiarisme pada tanggal 2 April 2014 di Fakultas kedokteran UGM
patut disyukuri. Ini mengingat maraknya perbuatan itu pada era yang serba
digital sekarang, dan pencegahan berlandaskan etika menjadi kuncinya.
Pemberitaan mengenai olah pikir
bertujuan mengajak lingkungannya menyadari adanya pertumbuhan atau kelahiran
gagasan baru.
Citra pembaharuan menjadi
deklarasi kemaslahatan ilmu dan adanya dimensi pemecahan baru. Akan lebih
sahih lagi kalau citra pembaharuan itu terpoles dengan hasil pengamatan
tajam, olahan cerdas dari rongga penelitian.
Hasil ilmu pengetahuan dan
produk teknologi baru mencuat dari laboratorium, dari studio, bahkan dari
kamar kerja. Tanggap kagum muncul apabila produk baru yang keluar dari satu
rangkaian pengamatan yang sistematik.
Pertemuan ilmiah sejawat, baik
penerbitan di jurnal, seminar, simposium, atau tatap muka dengan mitra
bestari tidak hanya menebar hasil dan wawasan terbaru, tetapi juga berbuahkan
umpan balik sebagai sarana penyempurnaan.
Wahana informasi
Media massa cetak dan elektronik
menjadi wahana penebaran informasi dan gagasan; baik sosial maupun sains dan
teknologi, berisikan tautan ilmu dengan kepentingan umum atau semata berita
penggeseran front keilmuan.
Seperti halnya hampir semua
kegiatan manusiawi, penelitian dilaksanakan atas dasar saling percaya untuk
mengikuti prosedur wajib, dan penerimanya percaya bahwa informasi itu diolah
dengan benar.
Ilmuwan dan pemikir dipercaya
atas premis kebenaran dan kejujuran, sedangkan publik penerima informasi
mengiakan keterangan itu atas dasar logikanya.
Informasi ilmiah adalah
pencerminan kebenaran dari laku jujur dan benar. Hasilnya adalah kaleidoskop
tanpa prasangka atau bias. Kewajiban ilmuwan adalah menjaga nilai produknya.
Agar kepercayaan bisa langgeng,
episentra informasi harus menggenggam nilai dan etika berproduksi dan
berkomunikasi.
Pencetus wawasan ilmiah ataupun
sosial kadangkala harus menentukan pilihan etis dari sejumlah kebenaran agar
dapat menggerakkan kompas moral pendengarnya.
Bagaimanapun penyebaran
informasi harus mengantongi etik kebenaran agar pulsa informasi menyuruk ke
dalam ruang seluler massa dengan benar.
Sastrapratedja (2013)
mengemukakan balutan ilmu dan teknologi dengan etika, terutama etika
akademis. Dimensi etis ini, menurut Sastrapartedja, terpilin erat bersama
moralitas pengembangan kedua entitas kebudayaan tersebut.
Moralitas yang sama seharusnya
menjadi milik masyarakat penerima yang ingin menghayati makna informasi.
Untuk itu, masyarakat perlu saringan mental untuk menilai kesahihan berita.
Sebaliknya, sumber informasi harus berdiri di atas bukit kejujuran,
kesalehan, dan kebenaran.
Untuk memberikan pencerahan dan
memperbesar khazanah pengetahuan, beberapa faktor luar dapat muncul menambah
dimensi harga diri.
Tidak hanya keanggunan yang
diraih, tetapi juga ketenaran merebak sehingga menambah parameter pemijahan
diri. Keinginan berbagi pengetahuan dan pandangan, teraduk dengan ambisi,
karier, dan wawasan berpamrih. Sikap yang wajar selama etika mendampingi
usahanya.
Jika tidak, virus penggrogot
kewaskitaan berkembang biak, membuat orang lupa diri: enak berdiri di atas
setumpuk pikiran orang lain tanpa memberi kredit sewajarnya.
Membalak pikir
Fenomena baru dalam masyarakat
adalah tebaran gagasan dengan penemuan fiktif dan membalak pikiran orang
lain. Gejala seperti ini adalah dorongan untuk menonjol dengan seminimal
mungkin upaya.
Virus tadi menanggalkan akal
sehat, membuat orang lalai, dan memasukkan karya orang lain ke dalam alur
pikirannya. Jadilah ia seorang plagiat.
Pemekaran ideologi seperti itu
merasuki garba ilmiah yang diharapkan menjadi penyelia moral.
Kejadian di beberapa universitas
(di Indonesia) memperlihatkan betapa ganasnya virus plagiat tersebut, dia
meluruhkan kedudukan pemikir dari garis depan kehormatan. Orang lupa bahwa
kehormatannya terletak dalam kepercayaan masyarakat terhadap status
akademianya.
Ilmuwan dan pemikirnya di banyak
negara didera lecut ”publish or perish”. Karena deraan itu, sosok lemah bisa
terserang F2P: fabrication
(pengkhayalan eksperimen), falsification
(penyulapan data), serta plagiarisme. Yang terakhir sudah disinggung.
Dua hal pertama membuat sewot
masyarakat Amerika dengan inovasi fiktif laboratorium Bell. Banyak karya
tulis negara lain di bidang bio-science dan genome yang harus ditarik dari
peredaran dari jurnal Nature, Science,
dan lainnya, dan dianggap tidak pernah terbit (Nature, 18 September 2009; Science, 1 Oktober 2012).
Keinginan pribadi untuk tenar
membuat orang lupa bahwa eksperimen dapat ditera. Tiongkok menarik tidak
kurang dari empat artikel ilmuwan ternama dari peredaran karena hal yang
sama, serta secara kritis memonitor publikasi ilmiah untuk menghindari
plagiarisme (Science, 18 Oktober 1998, 337).
Cousin-Frankel (Science, 1
Oktober 2012) mengingatkan perlunya kewaspadaan karena merebaknya malalaku
dalam sains dan teknologi dapat menyumbat kemajuan ilmu pengetahuan pada
umumnya.
Lebih jelek lagi menghilangkan
kepercayaan publik kepada lembaga penelitian dan pendidikan tinggi. Negara
akan merugi karena terpaksa melambatkan laju penelitian untuk membangkitkan
kembali tingkat kepercayaan.
Masyarakat keilmuan harus
memperkokoh janjinya kepada ”sumpah
hipokratik”, mengedepankan kejujuran demi ilmu. Banyak catatan positif
jejak lembaga penelitian di Indonesia, semoga tidak tercemar oleh cuatan
keinginan sesaat F2P. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar