Sabtu, 05 April 2014

Rayuan Penanggal Kewastikaan

Rayuan Penanggal Kewastikaan

Bambang Hidayat  ;   Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 04 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Inisiatif Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta untuk membuka dialog tentang peran etika akademik dan pencegahan plagiarisme pada tanggal 2 April 2014 di Fakultas kedokteran UGM patut disyukuri. Ini mengingat maraknya perbuatan itu pada era yang serba digital sekarang, dan pencegahan berlandaskan etika menjadi kuncinya.
Pemberitaan mengenai olah pikir bertujuan mengajak lingkungannya menyadari adanya pertumbuhan atau kelahiran gagasan baru.

Citra pembaharuan menjadi deklarasi kemaslahatan ilmu dan adanya dimensi pemecahan baru. Akan lebih sahih lagi kalau citra pembaharuan itu terpoles dengan hasil pengamatan tajam, olahan cerdas dari rongga penelitian.

Hasil ilmu pengetahuan dan produk teknologi baru mencuat dari laboratorium, dari studio, bahkan dari kamar kerja. Tanggap kagum muncul apabila produk baru yang keluar dari satu rangkaian pengamatan yang sistematik.

Pertemuan ilmiah sejawat, baik penerbitan di jurnal, seminar, simposium, atau tatap muka dengan mitra bestari tidak hanya menebar hasil dan wawasan terbaru, tetapi juga berbuahkan umpan balik sebagai sarana penyempurnaan.

Wahana informasi

Media massa cetak dan elektronik menjadi wahana penebaran informasi dan gagasan; baik sosial maupun sains dan teknologi, berisikan tautan ilmu dengan kepentingan umum atau semata berita penggeseran front keilmuan.

Seperti halnya hampir semua kegiatan manusiawi, penelitian dilaksanakan atas dasar saling percaya untuk mengikuti prosedur wajib, dan penerimanya percaya bahwa informasi itu diolah dengan benar.

Ilmuwan dan pemikir dipercaya atas premis kebenaran dan kejujuran, sedangkan publik penerima informasi mengiakan keterangan itu atas dasar logikanya.
Informasi ilmiah adalah pencerminan kebenaran dari laku jujur dan benar. Hasilnya adalah kaleidoskop tanpa prasangka atau bias. Kewajiban ilmuwan adalah menjaga nilai produknya.

Agar kepercayaan bisa langgeng, episentra informasi harus menggenggam nilai dan etika berproduksi dan berkomunikasi.

Pencetus wawasan ilmiah ataupun sosial kadangkala harus menentukan pilihan etis dari sejumlah kebenaran agar dapat menggerakkan kompas moral pendengarnya.
Bagaimanapun penyebaran informasi harus mengantongi etik kebenaran agar pulsa informasi menyuruk ke dalam ruang seluler massa dengan benar.

Sastrapratedja (2013) mengemukakan balutan ilmu dan teknologi dengan etika, terutama etika akademis. Dimensi etis ini, menurut Sastrapartedja, terpilin erat bersama moralitas pengembangan kedua entitas kebudayaan tersebut.

Moralitas yang sama seharusnya menjadi milik masyarakat penerima yang ingin menghayati makna informasi. Untuk itu, masyarakat perlu saringan mental untuk menilai kesahihan berita. Sebaliknya, sumber informasi harus berdiri di atas bukit kejujuran, kesalehan, dan kebenaran.

Untuk memberikan pencerahan dan memperbesar khazanah pengetahuan, beberapa faktor luar dapat muncul menambah dimensi harga diri.

Tidak hanya keanggunan yang diraih, tetapi juga ketenaran merebak sehingga menambah parameter pemijahan diri. Keinginan berbagi pengetahuan dan pandangan, teraduk dengan ambisi, karier, dan wawasan berpamrih. Sikap yang wajar selama etika mendampingi usahanya.

Jika tidak, virus penggrogot kewaskitaan berkembang biak, membuat orang lupa diri: enak berdiri di atas setumpuk pikiran orang lain tanpa memberi kredit sewajarnya.

Membalak pikir

Fenomena baru dalam masyarakat adalah tebaran gagasan dengan penemuan fiktif dan membalak pikiran orang lain. Gejala seperti ini adalah dorongan untuk menonjol dengan seminimal mungkin upaya.

Virus tadi menanggalkan akal sehat, membuat orang lalai, dan memasukkan karya orang lain ke dalam alur pikirannya. Jadilah ia seorang plagiat.

Pemekaran ideologi seperti itu merasuki garba ilmiah yang diharapkan menjadi penyelia moral.

Kejadian di beberapa universitas (di Indonesia) memperlihatkan betapa ganasnya virus plagiat tersebut, dia meluruhkan kedudukan pemikir dari garis depan kehormatan. Orang lupa bahwa kehormatannya terletak dalam kepercayaan masyarakat terhadap status akademianya.

Ilmuwan dan pemikirnya di banyak negara didera lecut ”publish or perish”. Karena deraan itu, sosok lemah bisa terserang F2P: fabrication (pengkhayalan eksperimen), falsification (penyulapan data), serta plagiarisme. Yang terakhir sudah disinggung.

Dua hal pertama membuat sewot masyarakat Amerika dengan inovasi fiktif laboratorium Bell. Banyak karya tulis negara lain di bidang bio-science dan genome yang harus ditarik dari peredaran dari jurnal Nature, Science, dan lainnya, dan dianggap tidak pernah terbit (Nature, 18 September 2009; Science, 1 Oktober 2012).

Keinginan pribadi untuk tenar membuat orang lupa bahwa eksperimen dapat ditera. Tiongkok menarik tidak kurang dari empat artikel ilmuwan ternama dari peredaran karena hal yang sama, serta secara kritis memonitor publikasi ilmiah untuk menghindari plagiarisme (Science, 18 Oktober 1998, 337).

Cousin-Frankel (Science, 1 Oktober 2012) mengingatkan perlunya kewaspadaan karena merebaknya malalaku dalam sains dan teknologi dapat menyumbat kemajuan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Lebih jelek lagi menghilangkan kepercayaan publik kepada lembaga penelitian dan pendidikan tinggi. Negara akan merugi karena terpaksa melambatkan laju penelitian untuk membangkitkan kembali tingkat kepercayaan.

Masyarakat keilmuan harus memperkokoh janjinya kepada ”sumpah hipokratik”, mengedepankan kejujuran demi ilmu. Banyak catatan positif jejak lembaga penelitian di Indonesia, semoga tidak tercemar oleh cuatan keinginan sesaat F2P.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar