Mencandai,
Menyemangati Coblosan
Rohman Budijanto ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 09 April 2014
PADA
mulanya, pemilu adalah pesta demokrasi 230 juta rakyat Indonesia. Di musim
kampanye, suasana berubah memestakan 200 ribuan caleg dengan aneka kemeriahan
di panggung dan di poster-poster. Sore nanti, setelah hasil coblosan
diketahui lewat quick count, yang
pesta betulan tinggal 19 ribuan caleg yang terpilih.
Ke mana
181 ribuan caleg yang tak terpilih? Kalau tak melakukan upaya terakhir dengan
menggugat ''kecurangan'' dan ''kezaliman'' ke Mahkamah Konstitusi, mestinya
ya kembali ke hidup normal. Namun, media mencandai mereka yang tak terpilih
dengan, misalnya, disiapkan kamar rawat khusus caleg stres. Itu berita sarat
bumbu humor cabe-cabean alias pedas. Memang, di RS ada ruang perawatan jiwa.
Tapi, agak nyeleneh kalau itu khusus disiapkan buat caleg stres. Jelas lebih
banyak orang yang stres bukan karena gagal di politik.
Hajat
politik memang sangat seksi untuk digodai dan dicandai. Seperti menonton
permainan bola, penonton politik riuh oleh cercaan, celetukan, juga banyolan.
Selain melepas ketegangan, daya untuk bercanda tersebut menjadi sarana
''sosialisasi'' pemilu yang tak bisa dipandang remeh. Dengan canda, orang
tergiring memikirkan terus hajatan pemilu. Dan, itu bisa mengurangi kegalakan
saling kecam antarjurkam. Bahkan, para elite parpol berpuisi pun mengandung
cekcok. Dengan subkultur canda politik ini, pemilu terasa adem.
Di
tengah makin serunya pemilu banyak orang, entah di mana dan tanpa nama,
selalu berbuat ''kebajikan'' memancing senyum. Yakni, menciptakan banyak
sekali materi canda, baik itu teks, foto, foto berteks, maupun gambar hidup,
yang disebar lewat jejaring sosial. Ketika melihat, misalnya, gambar Jokowi
mengeramasi SBY di salon dengan teks ''Nyalonin Presiden'', tentu banyak yang
tersenyum. Versi yang lain, Jokowi sedang dikeramasi dan diberi teks
''Akhirnya Nyalonin''. Penciptanya, entah siapa, pasti orang berbahagia
karena bisa menyantaikan momen seserius pencapresan.
Dengan
canda, pemilu menjadi penuh kejutan kecil. Banyak kontestan atau parpol yang
makin dibicarakan karena dicandai. Misalnya, ramalan serius Jayabaya tentang
siapa pemimpin bangsa, yakni Notonagoro dipanjangkan dengan Soekar(no),
Soehar(to), A(na)knya Soekarno, (G)us Dur, Susilo Bambang Yudhoyon(o), dan
(Ro)ma Irama. Namanya juga canda, ejaan tak akurat dan ''maksa'' pun tak jadi
apa.
Banyak
caleg terpancing untuk rileks pula dalam menampilkan diri. Di Sidoarjo ada
caleg yang membalik fotonya yang tertempel di pohon (dia bilang, Caleg
Wolak-waliking Jaman alias caleg zaman jungkir balik). Ada juga yang mengganti
kepalanya dengan kepala binatang seperti tikus (dengan teks, dia tak akan
seperti itu). Di Batu ada gambar caleg yang mengenakan baju zirah gladiator
dan berpedang Janus, tapi berkopiah! Semoga figur-figur itu tetap berselera
humor, apa pun hasil coblosan hari ini.
Canda-canda
itu kadang tak nyaman bagi kelompok yang serius memperjuangkan pemilu bersih.
Misalnya, Di Sini Menerima Serangan Fajar, atau yang lebih halus: Yang
Nyoblos dan Yang Dicoblos Harus Sama Enaknya. Kalau pemilu sebelumnya, karena
sulitnya membendung politik duit, ada anjuran mengibuli caleg penyuap: Ambil
Uangnya, Jangan Coblos Orangnya. Rupanya, anjuran yang pernah lucu tersebut
agak memalukan seiring dengan keinginan meningkatkan kualitas pemilu. Perlu
pula diingat lagi, ''Serangan Fajar'' dipungut dari judul film yang
menggambarkan momen heroik ketika pejuang kemerdekaan merebut Ibu Kota
Jogjakarta selama enam jam dari Belanda pada 1 Maret 1949 untuk membuktikan
eksistensi republik.
Canda
politik juga menyentil kelompok yang tak tertarik untuk memilih alias golput.
Anda mungkin pernah membaca pesan singkat ini: Jangan kawin dengan orang
golput karena di malam pertama pasti cuma dipandangi, tak dicoblos. Sentuhan
lucu ini bisa melengkapi imbauan (serius) antigolput yang disampaikan oleh,
misalnya, KPU, NU, dan Muhammadiyah. Bisa pula mengurangi tensi seruan seram
dari partai, misalnya, ''Jangan golput karena suara Anda akan dicuri orang
jahat''. Memang, karena orang jahat atau bukan, sebaiknya tidak golput karena
bisa dimaknai ''golongan putus asa''
Seperti
serangan fajar, penamaan orang yang ogah memilih karena sikap politik maupun
karena malas dengan golput alias golongan putih ini pelesetan. Ketika Arief
Budiman dan aktivis yang lain menjelang pemilu Orde Baru 1971 merasa pemilu
Pak Harto itu tak demokratis menganjurkan mendatangi TPS dengan mencoblos
bagian putih di kertas suara, tidak pada gambar 10 parpol kontestan.
Kemudian, kelompok golput tersebut dikenal dengan lambang segi lima kosong.
Jadi, golput itu bentuk protes atas pemilu yang tidak demokratis. Tapi, kini
istilah golput dikenakan juga kepada orang yang tak mendapat izin majikannya
ke TPS (golkat, golongan terikat), tak bisa mengakses TPS (golbai, golongan
terabaikan), tak peduli hari pemilu (golcu, golongan cuek), atau memilih pelesiran
karena libur coblosan (goleg, golongan egois).
Memutuskan
tidak mencoblos terasa tidak lucu kalau karena egois. Maunya negara
berkembang das des set wuet...,
tapi ikut memilih legislator dan presiden yang baik saja tak mau. Betapapun
riuh tawa canda, demokrasi tetap urusan serius. Pemilu jelas ikhtiar membuat
Indonesia lebih baik, bukan Indonesia yang lebih lucu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar