Kamis, 10 April 2014

Mencandai, Menyemangati Coblosan

Mencandai, Menyemangati Coblosan

Rohman Budijanto  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 09 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PADA mulanya, pemilu adalah pesta demokrasi 230 juta rakyat Indonesia. Di musim kampanye, suasana berubah memestakan 200 ribuan caleg dengan aneka kemeriahan di panggung dan di poster-poster. Sore nanti, setelah hasil coblosan diketahui lewat quick count, yang pesta betulan tinggal 19 ribuan caleg yang terpilih.

Ke mana 181 ribuan caleg yang tak terpilih? Kalau tak melakukan upaya terakhir dengan menggugat ''kecurangan'' dan ''kezaliman'' ke Mahkamah Konstitusi, mestinya ya kembali ke hidup normal. Namun, media mencandai mereka yang tak terpilih dengan, misalnya, disiapkan kamar rawat khusus caleg stres. Itu berita sarat bumbu humor cabe-cabean alias pedas. Memang, di RS ada ruang perawatan jiwa. Tapi, agak nyeleneh kalau itu khusus disiapkan buat caleg stres. Jelas lebih banyak orang yang stres bukan karena gagal di politik.

Hajat politik memang sangat seksi untuk digodai dan dicandai. Seperti menonton permainan bola, penonton politik riuh oleh cercaan, celetukan, juga banyolan. Selain melepas ketegangan, daya untuk bercanda tersebut menjadi sarana ''sosialisasi'' pemilu yang tak bisa dipandang remeh. Dengan canda, orang tergiring memikirkan terus hajatan pemilu. Dan, itu bisa mengurangi kegalakan saling kecam antarjurkam. Bahkan, para elite parpol berpuisi pun mengandung cekcok. Dengan subkultur canda politik ini, pemilu terasa adem.

Di tengah makin serunya pemilu banyak orang, entah di mana dan tanpa nama, selalu berbuat ''kebajikan'' memancing senyum. Yakni, menciptakan banyak sekali materi canda, baik itu teks, foto, foto berteks, maupun gambar hidup, yang disebar lewat jejaring sosial. Ketika melihat, misalnya, gambar Jokowi mengeramasi SBY di salon dengan teks ''Nyalonin Presiden'', tentu banyak yang tersenyum. Versi yang lain, Jokowi sedang dikeramasi dan diberi teks ''Akhirnya Nyalonin''. Penciptanya, entah siapa, pasti orang berbahagia karena bisa menyantaikan momen seserius pencapresan.

Dengan canda, pemilu menjadi penuh kejutan kecil. Banyak kontestan atau parpol yang makin dibicarakan karena dicandai. Misalnya, ramalan serius Jayabaya tentang siapa pemimpin bangsa, yakni Notonagoro dipanjangkan dengan Soekar(no), Soehar(to), A(na)knya Soekarno, (G)us Dur, Susilo Bambang Yudhoyon(o), dan (Ro)ma Irama. Namanya juga canda, ejaan tak akurat dan ''maksa'' pun tak jadi apa.

Banyak caleg terpancing untuk rileks pula dalam menampilkan diri. Di Sidoarjo ada caleg yang membalik fotonya yang tertempel di pohon (dia bilang, Caleg Wolak-waliking Jaman alias caleg zaman jungkir balik). Ada juga yang mengganti kepalanya dengan kepala binatang seperti tikus (dengan teks, dia tak akan seperti itu). Di Batu ada gambar caleg yang mengenakan baju zirah gladiator dan berpedang Janus, tapi berkopiah! Semoga figur-figur itu tetap berselera humor, apa pun hasil coblosan hari ini.

Canda-canda itu kadang tak nyaman bagi kelompok yang serius memperjuangkan pemilu bersih. Misalnya, Di Sini Menerima Serangan Fajar, atau yang lebih halus: Yang Nyoblos dan Yang Dicoblos Harus Sama Enaknya. Kalau pemilu sebelumnya, karena sulitnya membendung politik duit, ada anjuran mengibuli caleg penyuap: Ambil Uangnya, Jangan Coblos Orangnya. Rupanya, anjuran yang pernah lucu tersebut agak memalukan seiring dengan keinginan meningkatkan kualitas pemilu. Perlu pula diingat lagi, ''Serangan Fajar'' dipungut dari judul film yang menggambarkan momen heroik ketika pejuang kemerdekaan merebut Ibu Kota Jogjakarta selama enam jam dari Belanda pada 1 Maret 1949 untuk membuktikan eksistensi republik.

Canda politik juga menyentil kelompok yang tak tertarik untuk memilih alias golput. Anda mungkin pernah membaca pesan singkat ini: Jangan kawin dengan orang golput karena di malam pertama pasti cuma dipandangi, tak dicoblos. Sentuhan lucu ini bisa melengkapi imbauan (serius) antigolput yang disampaikan oleh, misalnya, KPU, NU, dan Muhammadiyah. Bisa pula mengurangi tensi seruan seram dari partai, misalnya, ''Jangan golput karena suara Anda akan dicuri orang jahat''. Memang, karena orang jahat atau bukan, sebaiknya tidak golput karena bisa dimaknai ''golongan putus asa''

Seperti serangan fajar, penamaan orang yang ogah memilih karena sikap politik maupun karena malas dengan golput alias golongan putih ini pelesetan. Ketika Arief Budiman dan aktivis yang lain menjelang pemilu Orde Baru 1971 merasa pemilu Pak Harto itu tak demokratis menganjurkan mendatangi TPS dengan mencoblos bagian putih di kertas suara, tidak pada gambar 10 parpol kontestan. Kemudian, kelompok golput tersebut dikenal dengan lambang segi lima kosong. Jadi, golput itu bentuk protes atas pemilu yang tidak demokratis. Tapi, kini istilah golput dikenakan juga kepada orang yang tak mendapat izin majikannya ke TPS (golkat, golongan terikat), tak bisa mengakses TPS (golbai, golongan terabaikan), tak peduli hari pemilu (golcu, golongan cuek), atau memilih pelesiran karena libur coblosan (goleg, golongan egois).

Memutuskan tidak mencoblos terasa tidak lucu kalau karena egois. Maunya negara berkembang das des set wuet..., tapi ikut memilih legislator dan presiden yang baik saja tak mau. Betapapun riuh tawa canda, demokrasi tetap urusan serius. Pemilu jelas ikhtiar membuat Indonesia lebih baik, bukan Indonesia yang lebih lucu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar