Kartini
dan Citra Perempuan
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 19 April 2014
TANGGAL 21 April dalam kalender kebangsaan
kita dinobatkan sebagai Hari Kartini. Hari yang mengingatkan kita ihwal
pentingnya emansipasi perempuan dari sistem yang menindas dan diskriminatif. Kartini
melalui surat-surat yang dihimpun Abendanon yang saat itu menjabat menteri
kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang) menyuarakan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan agar
dapat keluar dari sekapan keterpurukan itu. Pendidikan sebagai pintu masuk
untuk menanamkan kesadaran eksistensial tentang manusia dan kemanusiaan tanpa
disekat alasan perbedaan jenis kelamin.
Nubuat pembebasan yang
dijangkarkannya pada haluan religieusiteit, wijsheid, en schoonheid
(keilahian, kesantunan, dan keindahan). Di samping berpijak pada spirit
humanitarianisme (kemanusiaan) dan cinta tanah air (nasionalisme) seperti
tampak dalam zelf-ontwikkeling,
zelf-onderricht, zelf-vertrouwen, zelf-werkzaamheid, dan solidariteit.
Tentu saja risalah mulia seperti
ini bukan hanya penting, melainkan juga akan terus memiliki relevansi dan
tingkat aktualisasi yang tinggi justru ketika perempuan masih belum menemukan
citra dirinya secara ontologis sebagaimana yang difantasikan Raden Ajeng
Kartini. Seperti yang dicita-citakan Kartini.
Peringatan Hari Kartini dalam
konteks ini pada hakikatnya bukan sekadar mengingat masa silam tentang kiprah
dan perhatian RA Kartini terhadap dunia perempuan. Apalagi sekadar atraksi
kegenitan menyelenggarakan festival kebaya dan konde khas ideologi `perempuan
darma wanita', melainkan lebih jauh dari itu ialah bagaimana spirit Kartini
itu terinternalisasikan dan pesan substantifnya mengorbitkan kesadaran baru
bagi terwujudnya tata dunia yang egalitarian dan lebih melihat manusia bukan
dari sisi gender dan hal ihwal artifisial lainnya, melainkan kepada karya
nyata, keluhuran akal budi, dan keelokan pekerti, baik posisi mereka sebagai
ibu rumah tangga, guru, dosen, perawat, pekerja sosial, politikus, dokter,
maupun posisi lainnya.
Konteks sekarang
Harus diakui bahwa sebelum
pesan-pesan Kartini itu dengan tuntas dapat kita wujudkan dalam atmosfer
kehidupan sehari-hari, tiba-tiba hari ini kita dihadapkan pada fenomena
dahsyat globalisasi yang tidak kalah berat tantangannya jika dibandingkan
dengan yang dialami masa Kartini.
Pada zaman Kartini ketertindasan
itu lebih nyata dan tampak dalam bentuk kolonialisasi fisik seperti yang
diperagakan kaum penjajah atau menak pribumi yang berpandangan feodal,
sedangkan sekarang ini penjajahan itu bergerak di wilayah simbolis, atau
dalam telaah Majid Tahrenian disebut dengan tirani kognitif. Kolonial isasi
dalam wujud kekerasa yang berkecambah di wilayahwilayah serabut saraf bawah
sadar.
Saat ini perempuan tidak lagi
berhadapan dengan sistem diskriminatif yang dikonstruksikan budaya dan
kepercayaan (agama), tapi mereka mengalami serbuan globalisasi melalui `agama
baru' dengan daya cengkeram yang tidak kalah mengerikan: budaya populer.
Dalam budaya populer jangan
bayangkan ada penawaran kedalaman, pencerahan, keinsafan, transen densi, dan
huma nisasi, tapi dengan rapi dan nyaris tak banyak di sadari menghunjamkan
luka pendang kalan, pembodohan, pelupaan, dan penistaan terhadap fungsi dan harkat
kemanusiaan.
Tiba-tiba konsep diri perempuan
pun lebih didefinisikan sebatas `tubuh' dengan segala ornamennya demi
mengejar identitas cantik. Cantik yang sebelumnya telah dirumuskan iklan
melalui media televisi, internet, majalah, media sosial, dan koran.
Lipstik
interaksi simbolisnya bukan sekadar bertemali dengan zat pewarna bibir, melainkan
lebih sebagai `ideologi sensualitas' untuk mengejar pasar agar masuk kategori
sexy, menarik, memiliki daya pikat seperti yang diperagakan `idolanya' itu.
Tubuh material yang telah
kehilangan daya spiritual. Tubuh yang telah tersungkur dalam daulat iklan
yang dengan intens mengabarkan payudara ideal, pinggang ramping, lengkung
alis mata. Lengkap dengan petunjuk alat-alat kebugaran dan alamat senam yang
mesti didatangi.
Mungkin ada benarnya apa yang
dikatakan sosiolog muslim terkemuka Akbar S Ahmad bahwa musuh umat Islam itu
bukan tubuh Yesus yang sedang disalib sebagai penebus dosa manusia, melainkan
tubuh `Madonna' yang memancarkan pesona sihir sensualitas dan dapat
menghipnosis sekian juta hasrat perempuan dan laki-laki.
Musuh bersama itu ialah `tubuh politik'
yang menawarkan daya `pornografi' berupa politik transaksional, dagang sapi,
korup, dan banal. Tubuh politik yang hanya berbicara kalah-menang, bukan
benar dan salah. Tubuh politik pornografi seperti itu ternyata selalu
gentayangan dari satu pemilu ke pemilu yang lain. Tiba-tiba suara rakyat
berubah menjadi angka dan angka di tangan para pialang politik didagangkan di
pasar koalisi dengan harga sesuai dengan nafsu kuasa mereka. Suara rakyat
sebagai epifani suara Tuhan mungkin hanya tinggal gema. Selesai pemilu,
rakyat dan Tuhan menyingkir ke luar gelanggang kebangsaan dan yang tersisa
ialah absurditas atraksi kerumunan politikus.
The feminine mystique
Inilah sebuah fenomena yang
disebut Betty Friedan sebagai `mistik perempuan' dalam kitabnya yang laris, The Feminine Mystique. Perempuan
sebagai misteri mistis itu telah kehilangan auranya karena, seperti dalam
elaborasi Idi Subandy Ibrahim (2007), urusan kecantikan dan pemeliharaan
tubuh telah menggeser akal budi. Telah menjadi industri. Sementara itu,
kecantikan telah menjadi bagian dari konstruksi pasar dan komoditas
menjanjikan.
Tentu saja dalam konteks `mistik
keperempuanan' tidak ada lagi jela jah mencari kebenaran. Kebenaran bukan
lagi diacukan kepada nalar (Descartes), roh absolut (Hegel), kebersamaan
(Gabriel Marcel), ada (Haidegger), cinta kasih (Levinas), apalagi agama dan
kearifan tradisional yang sejak awal telah dianggapnya sebagai sesuatu yang
kuno, melainkan justru kepada ‘tubuh’.
Tubuh menyeruak menjadi kiblat
dari seluruh sejarah kita. “Tubuh
muncul sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menjual komoditas dan jasa
sekaligus sebagai objek yang dengan sendirinya dikonsumsi. Agar bisa
digunakan sebagai objek untuk menjual pelbagai hal, tubuh harus ‘direka
ulang’ oleh ‘pemiliknya’ dan dilihat secara narsisistik,” seperti tafsir
Jean Baudrillard dalam The Consumer
Society: Myths and Structures (I
Subandy Ibrahim, 2007).
Alhasil, 21 April di awal abad
ke21 tentu bukan sekadar penanda dari sebuah kehendak membebaskan perempuan
yang disimpulkan Kartini, melainkan juga iktikad untuk tidak pernah lelah
mempertanyakan adakah suara Kartini itu saat ini hanya menjadi gema seperti
dengan bagus dan cukup menggelitik ditulis penyair Joko Pinurbo pada 1997
tentang Kartini dalam Dari Raden Ajeng
Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem:
‘Raden
Ajeng Kartini terbatuk-batuk/di bawah cahaya lampu remang-remang/Demam mulai
merambat ke leher/encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang/Dan angin
pantai Jepara yang kering/berjingkat pelan di alis yang tenang/di pelupuknya
anak-anak kesunyian ingin lelap berbaring, ingin teduh dan
tenteram/”Terimalah salam damaiku/lewat angin laut yang kencang, dinda/Resah
tengah kucoba/Sepi kuasah dengan pena…/Di telapak tangannya perahu-perahu
dilayarkan/ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh/tak terjangkau
“Badai, dinda, badai menyerbu ke atas ranjang/Kaudengarkah kini biduk
mimpiku/sebentar lagi karam di laut Rembang?”/
Raden
Ajeng Kartini terkantuk-kantuk/di bawah cahaya lampu remang-remang/Demam
membara, encok meruyak pula/ Dan sepasang alap-alap melesat/dari ujung pena
yang luka’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar