Minggu, 06 April 2014

Hajatan Itu Bernama Pemilu

Hajatan Itu Bernama Pemilu

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN SINDO, 05 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pemilu, sebagai peristiwa budaya, tak lebih sakral dari hajatan perkawinan. Banyak yang terlibat, lebih banyak lagi yang repot, walau yang berkepentingan hanya pengantinnya. Banyak sekali yang repot menjadi panitia, mengatur tata krama, lengkap dengan pasal dan sanksi serta hukuman, serta berbagai kecemasan yang diciptakan karena tak bisa dipenuhi.

Kapan hajatan, siapa yang diundang, pakaian seragam penyambut tamu, sampai siapa duduk di mana. Pemilu yang merepotkan kita lakoni karena kita memilih demokrasi. Apa dan berapa pun harga yang dituntut kita bayar. Hajatan perkawinan kita adakan karena kita memilih itu cara terbaik melakoni rumah tangga— meskipun tetap ada kumpul kebo, kawin di bawah tangan, atau apa pun namanya. Demikianlah kita hidup pada pilihan yang menjadi kesepakatan bersama.

Suara Rakyat, Milik Partai?

Karena mirip hajatan, harusnya kita tak risau-risau amat dengan uang politik. Baik itu sejak di pengerahan massa waktu kampanye atau waktu ”serangan fajar” menjelang pencoblosan. Bukan karena apa, karena itu hal yang biasa, yang wajar. Beberapa tokoh masyarakat sok suci dengan mengecam, menyalahkan–walau tak bisa menghentikan, menemukan alasan pelarangan. Peraturan yang dibuat dan akhirnya bikin frustrasi sendiri karena tak bisa mengawasi atau menangani. Atau hal yang lebih besar: pengawasan kampanye, di mana memakai media apa.

Peta pemilu 2014 pastilah berbeda jauh dengan tahun 1955, di mana peran media massa sekarang ini demikian dominan. Satu-satunya kontrol yang berlaku adalah tiadanya pemaksaan. Itu juga berlaku untuk nonpemilu dan audit yang terbuka. Yang harus dirumus kembali mestinya adalah peranan parpol sebagai panitia penampung titipan suara saat pemilu. Dalam hal ini rakyat memilih orang, dan kalau suatu ketika orang yang dipilih itu tidak benar—banyak membolos, banyak tidur, korupsi— harusnya dipecat dan hak keanggotaan sebagai wakil rakyat hilang.

Bukan menjadi milik partai, yang seenaknya menunjuk ”pengganti antarwaktu”. Sejak kapan ada anggapan bahwa partai politik menjadi pemilik suara, kalau pemilihan yang dilakukan berdasar pilihan pada pribadi? Ini bisa dilihat lagi meski para petinggi partai yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat lebih banyak ogahnya mempersoalkan hal yang merugikan wewenangannya.

Kompromi dan atau Kerja Sama

Meski pemilu telah dilakukan sejak tahun 1955, kayaknya tidak ada desain besar yang menjadi pijakan yang sama dan berkesinambungan. Masing-masing pemilu—atau bahkan saat tak ada pemilu padahal seharusnya ada—memiliki kuasa, warna, yang bisa berbeda. Demikianlah pemilu bisa diikuti dua partai atau banyak partai, bisa ditentukan 12 atau tambah tiga untuk daerah. Atau, juga bagaimana nanti menentukan suara ini masuk ke mana jika ada kelebihan yang tidak masuk dalam pembagian. Termasuk, mengajukan syarat calon presiden atau wakil presiden.

Atau, yang sederhana misalnya berapa jumlah proporsional yang berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian, sebenarnya sejak awal pun kompromi atau penyesuaian telah dilakukan, telah dioplos, dan disepakati— terpaksa atau tidak. Kompromi atau kerja sama atau kata lain yang lebih sedap, lebih didengungkan. Dalam dinamika yang sama kompromi, atau menjajal- jajal, terjadi sejak awal dalam masing-masing kandidat. Sehingga, selalu ada dukun politik, sehingga selalu ada survei, selalu ada siapa mengecam siapa— atau mengecam diri sendiri, selalu ada yang merasa lebih ideologis dari yang pragmatis, karena selalu ada dan selalu terbuka semua kemungkinan.

Semua serbamungkin dan dibolehkan, termasuk mencalonkan orang gila sekalipun selama tidak terdeteksi sebelumnya. Pada titik pertarungan ini kadang bukan siapa yang menyampaikan visi dan misi yang lebih cemerlang, melainkan siapa yang lebih dungu terlihat sebagai pecundang. Baik karena ketidaksiapan atau karena kasus dadakan yang menghancurkan. Dengan kata lain, bukan perang ideologi—karena nyaris sama, melainkan siapa yang lebih banyak melakukan kesalahan ialah yang tersingkir. Dalam sepak bola, mungkin kemenangan kesebelasan karena lawan melakukan gol bunuh diri.

Siapa Sakti, Siapa Sakit

Tidak berarti tak perlu tokoh yang sakti untuk menjadi pemenang atau yang terpilih. Tokoh sakti tetap diperlukan atau menjadi modal utama. Namun untuk menjadi pemenang, masih banyak faktor lain, faktor yang di luar desain besar, di luar perencanaan atau simpulan para cerdik cendekia. Kini kita berada dalam situasi ini. Sebagian mungkin tak tertarik memilih partai, namun itu jalannya kalau mau memilih calon. Sebagian, bahkan mungkin sekali, tak berminat dicalonkan oleh partainya—biasanya yang sudah mapan dengan kerja profesionalnya, tapi terpaksa ikutan.

Masyarakat ikut menilai tokoh-tokoh itu begitu, kurang ini atau kurang itu, tapi andai saja, tokoh itu yang ke-mudian terpilih, kita mengiya. Andai partai politik yang tak kita kehendaki menjadi pemenang, akhirnya kita semua akan menerima juga. Bukan tidak mungkin tokoh yang sekarang kita tertawakan atau sinisi, yang bermodal ketenaran atau kenekatan, bisa terpilih, bisa menjadi wakil kita semua. Dia akan memberi warna penentu untuk lima tahun mendatang. Karena negeri ini memilih pijakan demokrasi, ya sudahlah, kita saksikan ada pemilu. Kita rela untuk ikut memilih. Walau tak bisa memaksa kalau ada yang tak mau memilih. Dan, karena secara pribadi kita dulu dihajati dalam kawinan, ya kita teruskan ke anak cucu. Begitulah, baik pemilu dan perkawinan menjadi hajatan. Mudahmudahan jadinya makin baik— untuk semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar