Sabtu, 05 April 2014

Akal-akalan Permen Digital

Akal-akalan Permen Digital

Amir Effendi Siregar  ;   Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media
KOMPAS, 05 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
PADA 27 Desember 2013 Menkominfo mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 32/2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi secara Digital dan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial. Akhir Februari lalu Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) melayangkan somasi agar pemerintah mencabut aturan ini. Awal Maret 2014 ATVJI kembali menggugat dan meminta Mahkamah Agung membatalkan Permen No 32/2013. Permen ini memang tampak memaksakan diri, akal-akalan, kejar tayang, dan—lagi-lagi—bertentangan dengan undang-undang. Mengapa?

Permen No 32/2013 adalah pengganti Permen No 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, yang dinyatakan tidak sah oleh MA pada 3 April 2013. Permen No 22/2011 itu digugat oleh ATVJI dan ATVLI.

Di Putusan 38/P/HUM/2012, yang disampaikan pada 26 September 2013, ketika mengabulkan gugatan ATVJI, MA tegas menyatakan, Permen No 22/2011 ”...bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran... dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum”.  Selanjutnya, MA memerintahkan menteri mencabut permen itu.

Berdasarkan putusan MA itu, semua keputusan turunan Permen No 22/2011 seharusnya tak sah dan harus menyesuaikan diri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, apa yang tercantum dalam Permen No 32/2013 tampak akal-akalan dan memaksakan diri.

Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 25 dinyatakan bahwa lembaga penyiaran swasta yang telah ditetapkan oleh menteri sebagai Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) berdasarkan Permen 22/2011 tetap diakui keberadaannya, termasuk hak menyelenggarakan penyiaran multipleksing dan hak penggunaan spektrum frekuensi radio yang telah dimilikinya, serta tetap dapat menjalankan kegiatannya. Ini adalah perlawanan terhadap MA yang, menurut Menkominfo pada Mei tahun lalu, ”lebay” bila permen ini dianggap melawan MA.

Uniknya, Permen No 32/2013 dalam ketentuan menimbang hanya mengutip putusan MA yang mengabulkan gugatan ATVJI tanpa mengutip Putusan MA No 40 P/HUM/2012—disampaikan akhir Desember 2013—yang juga mengabulkan gugatan ATVLI. MA juga menyatakan Permen No 22/2011 bertentangan dengan peraturan di atasnya dan ”...karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum”.

Pertahankan konsentrasi

Pemerintah tampak terburu-buru mengeluarkan Permen No 32/2013. Sebetulnya ada apa? Secara substansial, isi Permen No 22/2011 dan Permen No 32/2013 tak berbeda. Permen No 22/2011 membagi dua lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan LPPPM. Bentuk ini tak dikenal dalam UU Penyiaran.

Permen No 32/2013 menetapkan dua fungsi penyelenggaraan penyiaran. Pertama, penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial dilaksanakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP Lokal, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Kedua, penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial dilaksanakan LPP TVRI dan LPS.

Dua fungsi ini juga tak dikenal dalam UU Penyiaran, tetapi pemerintah mengakali UU dengan menyatakan pelaksana multipleksing adalah LPP TVRI dan LPS, bukan lembaga baru seperti LPPPS dan LPPPM. Ini adalah juga bentuk diskriminasi terhadap LPK dan LPP Lokal.

Lebih jauh lagi, Permen No 32/2013 sama dengan Permen No 22/2011 hanya memberi izin penyelenggaraan penyiaran multipleksing bagi yang sudah memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Itu adalah lembaga yang kini eksis.

Semua ini memperlihatkan bahwa Permen No 32/2013 juga mempertahankan konsentrasi kepemilikan. Penyiaran tetap dikuasai oleh lima kelompok besar, Grup MNC, TV One/ANTV (VIVA), SCTV/Indosiar, Metro TV, dan Trans TV yang juga adalah pemenang penyelenggara multipleksing di banyak zona. Permen No 22/2011 membagi Indonesia dalam 15 zona dengan 216 wilayah, sementara Permen No 32/2013 membaginya dalam 33 provinsi dengan 236 wilayah.

Kemudian LPS yang akan melakukan penyiaran digital harus bekerja sama dengan LPS yang menyelenggarakan penyiaran multipleksing dan membayar sewa. Ini yang disebut sebagai ”anak kos” oleh beberapa lembaga penyiaran di daerah.

Lebih menarik lagi, RUU Penyiaran versi pemerintah yang sedang dibahas di DPR justru lebih terbuka dengan menyatakan bahwa penyelenggara multipleksing adalah badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan layanan multipleksing untuk penyiaran dan juga oleh LPP. Sementara itu, RUU Penyiaran versi DPR memberi kesempatan terbuka kepada banyak pihak dengan menyatakan penyelenggara multipleksing berbentuk badan hukum yang bergerak di bidang penyiaran yang dimiliki konsorsium atau oleh satu atau lebih badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta.

KPI dimarjinalkan

Permen 32 tetap menyingkirkan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang seharusnya dilibatkan dalam proses seleksi lembaga penyelenggara multipleksing, sebagaimana dinyatakan oleh UU Penyiaran, khususnya Pasal 33 Ayat (4d): ”...izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI”. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah membiarkan penyiaran analog mati dengan sendirinya dengan membiarkan persaingan terbuka antara penyiaran analog dan digital.

Seharusnya negara secara sistematis dan terencana mengatur migrasi penyiaran analog ke digital, termasuk perencanaan meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan penghasilan untuk negara. Peraturan seharusnya memberi peluang bagi semua pihak secara terbuka dan adil menjadi pemain di industri penyiaran. Konsentrasi kepemilikan harus dipecah. KPI harus diberi peran penting. Digitalisasi televisi seharusnya diatur oleh UU. Bila pemerintah bersikeras dengan Permen No 32/2013, ini memang ”lebay”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar