Petaka
Demokrasi di Demokrat Zainal Arifin Mochtar ; Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada |
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2021
Partai selalu punya logika sendiri. Namun,
demokrasi pun sering kali punya logikanya, yang bahkan bukan tidak mungkin
berakhir menyedihkan, baik buat demokrasi maupun buat partai itu sendiri.
Partai punya logika dalam membangun sistem partai internal, yang bisa jadi
berbeda dari bagaimana textbook bicara tentang sebaiknya partai dikelola. Pada saat yang sama, partai bisa jadi
dibangun dengan semua praktiknya secara internal yang dipengaruhi aktor-aktor
di internal. Begitu pun logika demokrasi. Aspek prosedural ataupun aspek
substansial menjadi penting. Aspek formal dan moral juga sesuatu yang
sebenarnya haram untuk ditinggalkan. Makanya, apa yang terjadi di Partai
Demokrat saat ini sebenarnya bisa dianggap mewakili tesis pernyataan di awal
tersebut. Sederhananya, Partai Demokrat sedang
menghadapi serangan atas betapa tidak demokratisnya secara formal dan moral
pengurus di internal. Ada pengurus yang mengatasnamakan demokrasi prosedural
dan substansial, lalu melakukan pengambilalihan dengan cara yang sebenarnya
juga masih ada pertanyaan secara formal dan substansial. Bisa dibayangkan, akan ada saling klaim
soal mana yang lebih benar secara formal dan moral. Tulisan ini tidak
berhasrat untuk membenarkan mana yang terlihat lebih formal dan mana yang
bisa mengemas ajaran moral dengan baik. Walaupun sederhananya, mudah untuk
melihat konteks-konteks kuncinya. Petaka
demokrasi Demokrasi, yang seharusnya baik buat partai
malah berujung ke petaka. Saling klaim paling demokratis itulah yang
menyisakan pertanyaan soal petaka demokrasi yang terjadi di Partai Demokrat
dan bagaimana keluar dari impitan tersebut. Saling klaim, yang sebenarnya bisa
diselesaikan andai dilakukan langkah-langkah sederhana, yang juga dilakukan
berbagai pihak. Pertama, pihak partai tetap harus mencoba
menyelesaikan ini dengan mekanisme yang ada di dalam UU Partai Politik. Logika UU Parpol sebenarnya ialah dorongan
untuk menyelesaikan sengketa yang ada melalui internal partai politik. Itu
sebabnya di dalam UU Partai Politik jelas dicantumkan bahwa perselisihan
partai politik diselesaikan secara internal dengan mengacu pada ketentuan AD
dan ART. Itulah logika yang melahirkan Mahkamah
Partai atau lembaga yang sejenis dengan itu, dengan logika penyelesaian
secepatnya dan disampaikan kepada kementerian. Bahkan, untuk perselisihan
kepengurusan, putusannya bersifat final dan binding secara internal. Masalahnya, memang tidak semua aktor
politik mau taat pada hal ini. Apalagi, jika memang ada dorongan hasrat dan
tekanan pihak tertentu, termasuk jika ada jaminan bisa memenangi proses
peradilan atas hal itu. Itulah yang membuat nyaris tidak pernah ada
perselisihan internal partai yang berakhir di Mahkamah Partai atau badan
sejenis ini. Hampir selalu semuanya berujung ke pengadilan yang untuk hal ini
juga, sudah diatur limitatif penyelesaiannya. Bahkan, Mahkamah Agung juga sudah
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang hal ini. Pada titik ini, sebenarnya ini ujian untuk
internal Partai Demokrat. Pada saat yang sama akan memperlihatkan bahwa
apakah memang ini hanya perdebatan tentang demokratisasi di tubuh internal
partai atau ada iktikad lain yang memboncengi. Partai Demokrat harusnya berani untuk duduk
dengan legawa. Oleh karena itu, dalam sejarah sebenarnya ada dua hal yang
sering kali merancukan proses ini, yakni selain pengadilan itu sendiri, juga
pihak pemerintah yang kemudian melakukan pengesahan. Jika tidak menyelesaikan
secara internal, tetap saja yang tergerus ialah Partai Demokrat itu sendiri. Jika yang menang akhirnya ialah pihak
‘diambil alih’, tetap saja sudah ada gambaran dan cerita-cerita tidak
demokratisnya di tubuh internal. Begitu pun jika yang menang ialah pihak
‘pengambil alih’, tetap akan ada banyak catatan atas proses yang terkesan
juga tidak demokratis. Menang jadi arang dan kalah jadi abu bagi Partai
Demokrat. Beda jika kemudian bisa diselesaikan internal dan di ujungnya ada
islah. Sedikit banyak, bisa menjaga proses kebakaran di Partai Demokrat
sehingga tak perlu menjadi arang atau abu. Jika ini gagal, pengadilan biasanya menjadi
jalan yang tak terelakkan. Menariknya, jika dilihat, pengadilan lebih banyak
membenarkan ‘pihak lama yang diambil alih’. Paling tidak, ini terlihat di
tiga kasus belakangan, yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan
Partai Berkarya. Makanya, pihak kedua, yakni pengadilan, harusnya tetap pada
logika hukum dan tidak mencoba menyeberang ke arah yang mengikuti tabuhan genderang
politik. Namun, ada faktor lain, yakni pemerintah
yang sering kali berlawanan logika dengan itu, misalnya, dengan menerima atau
membenarkan SK kepengurusan oleh pihak-pihak yang melaksanakan
‘pegambilalihan’. Artinya, ini yang harus jadi catatan yang ketiga, yakni
terhadap pihak pemerintah. Tentu saja ada beban berat di tubuh pemerintah.
Oleh karena itu, di Kementerian Hukum dan HAM akan dihadapkan sesuatu saling
klaim. Harusnya, pemerintah tidak sekadar melihat
aspek prosedural soal siapa yang sah, tapi juga melihat aspek substansial
demokratis. Salah satunya ialah harusnya ada tindakan jelas dari pemerintah
untuk membersihkan tuduhan bahwa pemerintah ada di belakang pengambilalihan. Dukungan pengambilalihan oleh pemerintah,
nyaris tidak pernah surut. Apalagi, jika dibandingkan dengan Peristiwa
Kudatuli, Soerjadi yang bertemu Presiden Soeharto di kitaran kasus itu sudah
menjadi kesimpulan umum, bahwa pengambilalihan itu didukung Pemerintah Orde
Baru. Padahal, Soerjadi juga seorang tokoh internal dan ‘darah biru’ dalam
seragam merah di PDI kala itu. Bayangkan, sekarang ada tokoh yang
nonpartai tiba-tiba didapuk menjadi ketua partai, padahal selain bukan darah
biru partai, juga sama sekali tidak ada sejarah biru dengan partai. Pada saat
yang sama, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), yang
sebenarnya tupoksinya ialah membantu presiden dengan menyediakan pemikiran
dan aksi-aksi untuk membantu presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Maka, mustahil bisa dihilangkan kesan bahwa
tindakan pengambilalihan ialah hal yang berbeda dengan bantuan atas presiden.
Belum lagi, jika disambungkan dengan isu bahwa memang ada agregasi upaya
menuju ke arah amendemen kelima, lengkap dengan kemungkinan perubahan masa
jabatan presiden, kesan bahwa ada upaya campur tangan pemerintah akan menjadi
besar. Kembali, pemerintah harusnya mau lebih
berhati-hati. Konsep formal dan moral tetap harus ditegakkan secara
bersamaan. Makanya, pilihan buat pemerintah melalui presiden seharusnya ialah
segera menyingkirkan kecurigaan yang sulit dibantah itu, dengan memberhentikan
Moeldoko selaku Kepala KSP. Bukan karena hukuman, melainkan sebagai upaya
menjaminkan kepada publik bahwa ini bukan atas campur tangan pemerintah. Pemerintahan yang disokong selalu punya
unsur penting yang salah satunya ialah kepercayaan. Atas dasar itulah,
pemerintah harusnya bertindak. Jika tidak dilakukan, pertanyaan besar tentang
semakin ramainya partai politik yang ‘diambil alih’ di 6 tahun masa
kepemimpinan Jokowi bisa menjadi hal yang buruk. Bahkan, cepat atau lambat,
Presiden Jokowi dapat menanggung risiko politik yang menodai kredibilitas
demokrasi yang diusung Jokowi, bahkan warisan politiknya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar