Sabtu, 27 Maret 2021

 

Mengungkap Kekerasan Seksual di Kampus

 Sulistyowati Irianto ;  Co-founder Mata Kuliah Gender dan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

                                                        KOMPAS, 26 Maret 2021

 

 

                                                           

Umumnya kampus dipersepsi sebagai tempat aman bagi perempuan dan anak, sama seperti sekolah, rumah tangga, dan lingkungan rumah ibadah sehingga orang tak menyadari itu cuma mitos.

 

Kejahatan yang merendahkan kemanusiaan, berupa kekerasan seksual, terjadi juga di kampus. Karena diselubungi mitos, kejahatan itu justru tersembunyi, tak terlaporkan, pelakunya tak pernah dihukum setimpal, dan korban mengalami trauma seumur hidup.

 

Korban adalah generasi muda kita, umumnya mahasiswi. Tindakan ini menambah panjang deretan cacat etika dari (sebagian) kaum intelektual kita, di samping isu plagiarisme dan mis-tata kelola universitas.

 

Sementara itu, sebagian besar akademisi diam, tidak mau tahu karena menganggap kasus itu urusan privat dan memalukan institusi, atau menyangkal, bahkan ikut menyalahkan korban.

 

Mitos berikutnya adalah kekerasan seksual disebabkan kurangnya pendidikan agama; padahal ada pelajaran agama, dari prasekolah sampai universitas.

 

Masalahnya terletak pada ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku melakukan penyalahgunaan kuasa sungguhpun mereka orang dekat, seperti ayah kandung, saudara laki-laki, guru sekolah, guru agama, dan dosen.

 

Demikianlah evidence based (dasar pembuktian) ratusan ribu kasus yang dilaporkan dari seluruh Indonesia kepada Komnas Perempuan setiap tahun.

 

Di kampus, pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja; sesama mahasiswa, staf administrasi, dosen, dosen tamu, yang prinsipnya punya kuasa lebih daripada korban (lebih pintar, lebih senior, menentukan nilai dan nasib mahasiswa).

 

Namun, ketika pelakunya dosen atau profesor, kejadiannya tak mudah dipercaya oleh pemimpin program studi, departemen, dan fakultas. Nama baik institusi dianggap lebih penting daripada bela rasa pada korban. Mereka minta bukti dan pembuktian kejahatan kemanusiaan disamakan dengan bukti tindak pidana biasa.

 

Korban kian takut karena pembuktian dibebankan kepadanya dan sulit dipenuhi. Biasanya kejahatan sudah berlangsung lama, bisa beberapa bulan, tahun, bahkan korban sudah menjadi alumnus. Ada hambatan psikologis dan sosial sehingga korban baru berani mengadu dan bukti sudah kedaluwarsa.

 

Jika pelakunya dosen, prinsip universitas sebagai gerakan moral di jantung hati masyarakat (Magna Charta Universitatum, 1988), kehilangan rohnya, runtuh.

 

Kaum intelektual dipandang sebagai penjaga gerbang kebenaran. Tugasnya memproduksi ilmu pengetahuan, melakukan pencarian kebenaran yang tak pernah usai karena selalu ada kebenaran baru dari temuan berikutnya. Dosen tempat orang berguru. Akibatnya, sulit memercayai jika ada di antara mereka menjadi predator seksual bagi mahasiswanya sendiri.

 

Problem utamanya, banyak kampus tak memiliki regulasi khusus untuk menanggulangi penanganan kekerasan seksual dan pencegahannya. Jika ada dosen yang mendampingi korban, mereka tak punya petunjuk apa yang harus dilakukan. Dosen pendamping juga berhadapan dengan sebagian besar dosen lain yang tidak memiliki literasi kekerasan seksual dan perspektif korban.

 

Ketiadaan literasi adalah problem kedua. Tak banyak yang paham, kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan karena korbannya bisa mati, atau cacat seumur hidup, dan jenis tindakannya sangat beragam. Dari cat calling, pelecehan, yang sering dianggap remeh, sampai percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan penyiksaan seksual.

 

Cat calling pun berbahaya. Ada mahasiswi yang menghindari siulan nakal setiap keluar rumah dengan cara menggunakan headset, kemudian menyeberang rel, tak dengar kereta datang, dan kehilangan nyawa.

 

Angka kekerasan seksual

 

Kasus kekerasan seksual di kampus yang dapat dilaporkan adalah dari 2019, yaitu 174 kasus di 79 kampus di 29 provinsi. Pelakunya dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter klinik di kampus, dan warga lain. Tempat kejadian bisa di dalam atau luar kampus, seperti lokasi KKN, tempat magang, dan acara kemahasiswaan.

 

Korban 96 persen mahasiswi, 20 persen tak melapor dan 50 persen tak menceritakan kepada siapa pun (Vice Indonesia, Tirto, dan Jakarta Post, 2019). Kasus yang tak dilaporkan tenggelam dalam gunung es.

 

Kasus kekerasan di kampus juga bersembunyi dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS) karena pelaku melakukannya secara digital. Laporan KBGS langsung ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus (2019) ke 940 kasus (2020). Laporan KBGS dari lembaga layanan juga naik dari 126 kasus (2019) ke 510 kasus (2020).

 

Kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi dari laporan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP) di ranah komunitas/publik, yaitu 21 persen atau 1.731 kasus (KP, 2021). Paling banyak memang kekerasan seksual, yaitu 55 persen atau 962 kasus, terdiri dari pemerkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181), percabulan (166), dan sisanya percobaan pemerkosaan.

 

Sementara 79 persen KTP di ranah privat atau pelakunya orang dekat korban, seperti kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (49 persen), kekerasan masa pacaran (20 persen), sisanya kekerasan dari bekas suami, bekas pacar, dan KTP pada pekerja rumah tangga.

 

Secara keseluruhan, laporan KTP yang diterima Komnas Perempuan tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus, menurun 31,5 persen dari 2019 sebesar 431.471 kasus. Namun, penurunan ini tak dapat dilihat sebagai turunnya KTP karena imbas pandemi, yaitu (1) perubahan jam kerja dan ketidaksiapan teknologi lembaga layanan, (2) selama pembatasan sosial berskala besar korban takut lapor karena serumah dengan pelaku, dan (3) rendahnya literasi teknologi korban.

 

Problem sosio-yuridis

 

Kasus kekerasan seksual di kampus jarang berakhir di pengadilan. Penyebabnya, pertama, secara nasional kita memang belum memiliki instrumen hukum khusus penghapusan kekerasan seksual.

 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ada sekarang menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan, padahal itu kejahatan kemanusiaan karena mengancam nyawa dan hidup korban.

 

Kedua, sukarnya memenuhi prosedur pembuktian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta berbagai prosedur penyelidikan dan penyidikan di lembaga penegakan hukum (harus ada bukti fisik dan saksi).

 

Ketiga, adanya berbagai mitos dan stereotip yang menyalahkan korban, yang dipercaya aparat penegak hukum, atau jadi bagian dari budaya hukum mereka (Nelken, 2007).

 

Keempat, mitos dan stereotip yang hidup di kalangan penegak hukum, sumbernya ada dalam masyarakat. Hal ini membuat korban takut, malu, bimbang, sakit psikologis, yang menghalanginya melapor.

 

Akibatnya, banyak kasus berlangsung terus. Selalu saja ada kasus dengan pelaku sama dan korban banyak karena berlangsung menahun. Jika ada korban berani buka suara, diikuti korban berikutnya, semua terkendala bukti yang sudah hilang. Satu-satunya bukti, kesaksian korban. Itu pun sulit didapat karena biasanya korban sudah menjadi alumnus atau orang besar dan tak mau diketahui publik kasusnya.

 

Akibatnya, kekerasan seksual di kampus menjadi kejahatan tertutup rapat dan pelakunya tidak dihukum. Ada juga korban yang memilih pindah ke kampus lain daripada mempersoalkan kasusnya dengan harapan tipis untuk mendapat keadilan.

 

Kejahatan seksual menandai semakin buruknya wajah kampus kita. Sungguh paradoks karena di sisi lain berbagai kampus menjadi hub program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk program penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendidikan berkualitas.

 

Pencapaian SDGs jadi parameter penting mengukur keberhasilan nasional meningkatkan kualitas hidup dan martabat manusia. Jangan-jangan hanya sekadar formalisasi capaian jumlah penelitian, publikasi, dan webinar. Tak benar-benar melindungi mahasiswa kita sendiri dari ancaman kejahatan seksual, dan tidak memberikan keadilan bagi korban. Hipokrasi kampus menampakkan wajahnya yang nyata. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar