Vaksin
Nusantara dan Klaim-Klaim yang Prematur Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS,
15 Maret
2021
Lebih dari sebulan yang lalu media massa
heboh memberitakan soal Vaksin Nusantara. Vaksin ini risetnya dipicu dan
didorong oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto Beberapa bulan
setelah diberhentikan sebagai menteri, nama Terawan muncul dalam pemberitaan
soal vaksin ini. Menurut para penelitinya, vaksin ini hebat,
jauh lebih hebat dari vaksin yang sekarang sedang dipakai. Salah satu
kehebatannya adalah imunitas yang dihasilkan efektif seumur hidup. Berita soal vaksin ini mendapat banyak
tanggapan. Ada yang sifatnya berharap agar vaksin ini segera bisa selesai
risetnya, sehingga menjadi andalan untuk menangani pandemi Covid-19. Ada juga
yang memuji Terawan, yang tidak surut keinginannya untuk berbakti pada negeri
mesti sudah diberhentikan dari posisi sebagai menteri. Ada pula tanggapan
yang mempertanyakan keampuhan vaksin yang diklaim tadi. Minggu lalu, BPOM mengeluarkan pernyataan
resmi soal Vaksin Nusantara. Menurut BPOM, riset vaksin ini tidak sesuai
dengan kaidah ilmiah. Data hasil risetnya ada dalam berbagai versi. Posisi
dewan etik tidak sama dengan posisi tempat riset dilaksanakan. Dari IDI ada
kritik bahwa tidak ada publikasi di jurnal ilmiah soal riset ini. Pernyataan BPOM ini kembali ramai
ditanggapi. Banyak pihak yang menyesalkan sikap BPOM. Di antaranya anggota
Komisi IX DPR yang mendesak BPOM untuk meloloskan vaksin ini. Banyak yang
menganggap BPOM menjegal karya anak bangsa. Ujung-ujungnya kita akan terus
bergantung pada produk asing, karena karya anak bangsa selalu dijegal, kritik
mereka. Benarkah BPOM menjegal Vaksin Nusantara?
Menurut saya tidak. BPOM tidak punya kepentingan untuk menjegal. Badan ini
hanya menjalankan tugasnya untuk memastikan setiap obat yang akan dipakai
untuk masyarakat telah memenuhi syarat-syarat yang sesuai, guna melindungi
keselamatan masyarakat. Tapi kenapa vaksin hebat ini tidak lolos?
Yang mengatakan hebat adalah para pembuatnya. Kesalahan terbesar para
peneliti vaksin ini adalah membuat klaim di media massa. Ini konyol, dan
akhirnya hanya menimbulkan polemik konyol. Polemik konyol yaitu polemik yang
melibatkan orang-orang yang tidak kompeten, seperti anggota DPR tadi. Soalnya sederhana. Ini soal riset.
Publikasikan hasilnya di media untuk publikasi hasil riset, yaitu jurnal
ilmiah. Di situ para peneliti bebas membuat klaim. Tentu saja klaim itu harus
didukung oleh data yang sahih. Klaim dan data pendukungnya akan dinilai oleh
para ahli yang paham duduk persoalannya. Klaim hasil riset di media massa adalah
klaim yang konyol. Media massa tidak menyediakan ruang yang memadai untuk
mempublikasikan data pendukung klaim. Pembacanya juga orang awam yang tidak
memahami seluk beluk klaim. Tanggapan terhadap klaim juga tanggapan tanpa
basis data yang memadai. Akhirnya yang terjadi adalah debat kusir. Membuat klaim bombastis dan prematur adalah
kebiasaan banyak peneliti Indonesia. Dalam konteks pandemi Covid-19 ini saja
sudah ada sejumlah klaim. Mulai dari klaim soal manfaat curcuma untuk
menangkal virus Covid-19, penemuan obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini,
lalu soal kalung yang katanya bisa menangkal virus. Ditambah lagi dengan
klaim soal vaksin ini. Apa yang dihasilkan dari klaim-klaim itu?
Tidak ada. Kita tidak menjadi punya sesuatu yang bermanfaat. Tidak ada obat,
tidak ada kalung penangkal, tidak pula ada vaksin. Yang ada hanyalah
keriuhan. Tak jarang keriuhan itu menimbulkan perpecahan dan kecurigaan. Coba
perhatikan, misalnya, tuduhan orang-orang awam terhadap sikap BPOM. Kata
mereka, BPOM sengaja menjegal Vaksin Nusantara untuk melindungi mafia
importir vaksin. Kita memang sengaja dibuat terus tergantung pada produk
asing agar pihak-pihak tertentu bisa terus menikmati keuntungan. Konyol,
bukan? Ini adalah soal etika riset yang dilanggar.
Seperti saya tulis di atas, klaim soal hasil riset sepatutnya dimuat di media
ilmiah, dengan pengujian yang patut. Bila itu semua sudah dilalui, barulah
membuat klaim di media awam. Yang biasa terjadi di berbagai negara begitulah
adanya. Sebuah penemuan baru diangkat di media umum setelah dipublikasikan di
media ilmiah. Media umum biasanya mengutip publikasi di jurnal ilmiah dan
memberitakannya dengan bahasa populer. Kasus klaim bombastis ini bukan yang
pertama, dan bisa dipastikan bukan pula yang terakhir. Kejadian seperti ini
terus berulang. Para peneliti Indonesia sepertinya banyak yang haus publikasi
populer. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar