Prahara
Partai Demokrat Lely Arrianie ; Dosen Komunikasi Politik Universitas Nasional, Presidium Asosiasi Ilmuwan
Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI), dan Dewan Pakar ISKI |
SINDONEWS,
09 Maret
2021
Akhirnya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai
Demokrat benar benar dilaksanakan. Mereka memilih Sumatera Utara sebagai
tempat berkongres. Hasil KLB kemudian mengukuhkan Moeldoko sebagai ketua
umum, sungguh sebuah anti klimak yang tidak diduga, bahwa KLB Partai Demokrat
bisa digelar secepat itu. Sinyalemen beberapa tokoh pendiri partai
akan menggelar kongres memang begitu kuat, namun tidak terdeteksi waktunya
begitu dekat dengan isu kudeta yang ramai dibicarakan. Isu kudeta yang juga
dikaitkan dengan pertemuan Moeldoko dengan beberapa tokoh partai yang
kemudian dipecat oleh ketua umum hasil Kongres Jakarta. Dengan suara bergetar Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyatakan kemarahan dan
kekecewaannya, terutama terhadap ketua umum terpilih di KLB itu, Moeldoko .
SBY bahkan harus mengulik kembali kisah lama Moeldoko saat SBY memberi
kepercayan atas beberapa jabatan Moeldoko. Kekecewaan itu tidak mengubah
posititioning sebagai ketua umum terpilih di KLB Partai Demokrat. Kepemimpinan
yang Lemah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpilih
secara aklamasi sebagai ketua umum dalam Kongres ke V Partai Demokrat di JCC
Senayan pada 14 Maret 2020 dengan dukungan 93% suara dari DPD maupun DPC. AHY
adalah pemimpin kelima di partai berlambang Mercy itu. Ia seharusnya memimpin Partai Demokrat dari
2020 sampai dengan 2025. Sebelumnya ada Subur Budhisantoso (2001-2005), Hadi
Utomo (2005-2010), Anas Urbaningrum (2010-2013) dan SBY (2013-2020). Belum setahun AHY memimpin, prahara di
partai yang dipimpinnya tiba-tiba meruak. AHY melakukan konferensi pers
tentang kepemimpinannya yang tengah digoyang. Tak tanggung tanggung, AHY
mengumumkan keterlibatan orang dekat Presiden Jokowi, yakni Moeldoko yang
notabene adalah Kepala Staf Presiden. AHY bahkan harus berkirim surat ke
istana , namun tidak direspons. Pascakonferensi pers yang dilakukan AHY ,
tokoh-tokoh senior partai merespons dengan melakukan konperensi pers juga,
dugaan pertemuan tersembunyi yang oleh Moeldoko dikatakan sekadar “ngopi
bareng,” ternyata disikapi tokoh senior partai lebih dari sekedar ngopi.
Mereka ingin mendukung dan mengusung Moeldoko utk menggantikan AHY. Partaipun
makin beriak, beberapa tokoh senior dipecat secara tidak hormat dari partai. Pemecatan itupun berdampak hukum. Marzuki
Ali melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan terhadap Partai Demokrat . Di
sela-sela gugatan, KLB pun berlangsung. Marzuki Ali ditetapkan sebagai Ketua
Dewan Pembina di KLB itu. Hasil KLB itupun membunyikan genderang
perang antara kepemimpinan di Partai Demokrat hasil Kongres Jakarta dengan
hasil KLB Sumut. Tokoh dari kedua versi kepemimpinan berdebat di media sosial
dan media mainstream. Ada hal lain yang bisa dibaca, bahwa ada pola relasi
dalam kepemiminan yang lemah, AHY adalah figur utama dibalik kepemimpinan
yang lemah itu. Keterpilihan AHY sebagai ketua umum di
Kongres V Partai Demokrat, disinyalir tidak lepas dari posisinya sebagai anak
SBY. AHY dianggap mentah secara politik, tapi ia seolah “dipaksa” tanpa
melalui proses meretrokasi, dibandingkan anak SBY lainnya, Ibas yang sudah
lebih dulu berkiprah di politik, bahkan pernah menjadi ketua fraksi partai
Demokrat di DPR. Kepemimpinan yang lemah, yang bersandar
pada relasi patron-klien, tidak mampu merangkul semua komponen partai,
ditambah hilangnya kekuasaan dan kharisme ”patron” nya yakni SBY, menyebabkan
AHY seperti kehilangan kepercayaan dari sebagian anggota partai. Terutama
yang menganggap bahwa AHY tidak boleh serta merta mendapatkan kekuasaan
karena ia adalah anak SBY, melainkan ia harus menjadi pribadi politik yang
matang dan teruji lebih dulu. Prahara yang terjadi di Partai Demokrat
menunjukkan bahwa AHY tidak mampu mengelola kisruh internal yang akhirnya
meruak ke eksternal, bahkan menjungkirbalikkan kekuasaannya di partai. Meski
harus diuji lagi melalui serangkaian proses hukum dan politik misalnya
melalui PTUN atau Kemenkumham, apakah AHY benar benar akan lengser dari
kepemimpinnya. Komedi
dan Tragedi dalam Politik Politik itu adalah komedi bila dilihat dari
jauh dan adalah tragedi bila dilihat dari dekat, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena itu, mereka yang berkecimpung di panggung politik sulit
diharapkan memegang teguh “ etika politik” pada saat syahwat politik mereka
tengah bergelora. Moeldoko yang terpilih menjadi ketua umum
versi KLB ramai menjadi perbincangan warganet. Tentu saja pro dan kontra
bermunculan menyikapi keputusannya menerima pencalonannya sebagai ketua umum
Partai Demokrat. Satu hal yang bisa dibaca dari kesediaanya dicalonkan,
disamping sinyalemen kekuasaan politik ke depan, tentu saja adalah tantangan
dan prejudice politik yang telah diterimanya pascapertemuan dengan beberapa
tokoh Partai Demokrat yang dikatannya sekadar “ngopi” tersebut, Moeldoko pernah menyatakan agar ia jangan
‘ditekan”. Saat ia menyatakan jangan ditekan, menunjukkan betapa ia justru
bisa membalikkan tuduhan itu menjadi kenyataan. Akhirnya kenyataan itu
menjadi tragedi di Partai Demokrat . Menjadi komedi bagi penikmat politik
pertunjukan mereka. Atau menjadi komedi juga bagi para peserta KLB yang merasa
sukses menjalankan rencananya. Kubu AHY maupun Moeldoko harus sama-sama
bergerilya untuk membuktikan kepada publik, mana kepemimpinan yang akan
diakui oleh negara. Prahara ini telah merugikan Partai Demokrat secara umum,
khususnya kader-kader partai. Masyarakat juga melihatnya dari berbagai sisi,
baik sisi kepentingan politik maupun dari sisi etika komunikasi politik orang
orang yang terlibat dalam prahara ini. Di antara berbagai sisi yang bisa diamati
dengan mata telanjang, muncul pertanyaan besar tentang prahara di Partai
Demokrat , apakah secara “deontologis” etika komunikasi politik, nilai dari
suatu tindakan tidak dilihat dari tercapainya tujuan, namun dari niat baik
yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Pertanyaannya, bisakah
kehadiran Moeldoko yang merasuk ke Partai Demokrat memiliki niat baik itu? Karena itu dalam perspektif etika
komunikasi politik dikenal juga istilah etika “teologis” bahwa, meskipun
manusia memiliki niat baik dalam bertindak, tetap saja harus diiringi dengan
tujuan akhir yang baik juga. Sebagai aset bangsa, semoga Partai Demokrat bisa
menyelesaikan prahara dengan cara yang elegan dan terhormat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar