Selasa, 30 Maret 2021

 

Candu Impor Pangan

 Enny Sri Hartati ;  Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance

                                                        KOMPAS, 30 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam era keterbukaan ekonomi, impor barang ataupun jasa tentu merupakan suatu yang lumrah, bahkan sebuah keniscayaan. Pasalnya, kerja sama perdagangan tidak mungkin terjadi jika tidak ada hubungan timbal balik atau resiprokal. Pendek kata, tidak ada satu negara pun yang membuka ekonominya dengan mengekspor, tanpa melakukan impor. Apalagi, di tengah perdagangan bebas ketika hambatan perdagangan utamanya, baik tarif bea masuk maupun bea keluar, ditiadakan.

 

Hampir semua negara berlomba mengejar efisiensi dengan fokus spesialisasi pada produk yang memiliki daya saing tinggi. Apalagi, teknologi dan jaringan produksi global (global supply chain) semakin merebak dan maju. Demi mengejar efisiensi, sebuah produk tak lagi mengejar brand satu negara, tetapi gabungan komponen produk dari berbagai negara.

 

Tentu hanya negara-negara yang memiliki daya saing tinggi yang terpilih dalam jaringan produk global tersebut. Dalam kondisi seperti itu, impor tentu tidak jadi masalah, bahkan impor semakin memacu produktivitas perekonomian dalam negeri. Termasuk jika importasi dilakukan guna mendorong berbagai investasi pada sektor-sektor riil, terutama industri pengolahan.

 

Sementara itu, Indonesia memiliki keragaman komoditas hasil sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari komoditas yang berasal dari perut bumi (hasil tambang) hingga di atas perut bumi (pertanian, perkebunan, kehutanan). Termasuk hamparan lautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni  95.181 kilometer (perikanan, garam).

 

Ironisnya, Indonesia justru memiliki ketergantungan berbagai bahan baku impor untuk industri. Hingga Februari 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, komposisi impor terdiri 74,39 persen bahan baku/penolong, barang modal 14,93 persen, dan barang konsumsi 10,68 persen. Artinya, arah kebijakan industrialisasi tidak berbasis pada pengembangan nilai tambah (value added) kekayaan komoditas dalam negeri. Lebih ironis lagi, sekalipun porsi impor terbesar merupakan bahan baku, ekspor Indonesia tetap didominasi sektor primer 53,5 persen, sementara ekspor industri manufaktur hanya berkontribusi 46,5 persen.

 

Padahal, proporsi industri nonmigas terbesar adalah industri makanan, yakni mencapai sekitar 24 persen. Sayangnya, bahan bakunya sangat bergantung pada impor. Sepanjang tahun 2020, impor serealia menduduki empat besar impor nonmigas Indonesia, yakni 3,23 miliar dollar AS. Impor komoditas pangan terbesar sepanjang 2020 antara lain gandum (2,6 miliar dollar AS), gula (1,94 miliar dollar AS), kedelai (1 miliar dollar AS), bawang putih (585,78 juta dollar AS), jagung (172,6 juta dollar AS), dan garam (94 juta dollar AS).

 

Rente ekonomi

 

Ketergantungan impor pangan yang semakin meningkat ternyata tidak semata-mata disebabkan oleh persoalan kekurangan pasokan di dalam negeri. Contoh paling mutakhir adalah polemik impor  beras, yang akan dilakukan saat produksi beras surplus sekitar 12,5 juta ton. Pasalnya, BPS memperkirakan sampai Mei 2021 produksi beras 17,5 juta ton dan ditambah sisa stok akhir Desember 2020 masih 7,3 juta ton. Sementara perkiraan kebutuhan beras nasional hanya 12,3 juta ton.

 

Ajaibnya, pemerintah memutuskan akan mengimpor 1 juta ton beras. Akibatnya, harga gabah kering panen (GKP) petani anjlok, hanya berkisar Rp 3.300-Rp 3.700 per kilogram. Jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.200 per kg untuk GKP. Sekalipun akhirnya Presiden menegaskan tidak ada beras impor hingga Juni 2021, belum tentu serta-merta gabah petani akan terserap oleh Bulog menggunakan HPP. Pasalnya, harga beras di Indonesia memang 1,5-2 kali lebih mahal ketimbang harga beras di Vietnam atau Thailand. Karena itu, diperkirakan rente ekonomi impor 1 juta ton beras mencapai lebih dari Rp 2,5 triliun. Ditambah lagi, Bulog tidak lagi menyalurkan bantuan pangan (Rastra) sehingga kehilangan pasar (captive market) 2,5-3,4 juta ton.

 

Selain beras, polemik juga terjadi pada keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ketika menambah kuota impor garam mencapai 3,07 ton. Pasalnya, di tengah garam rakyat tidak terserap di tengah pandemi, pemerintah justru menambah kuota impor 13,8 persen dibandingkan dengan impor tahun 2020 yang mencapai 2,7 juta ton. Dalihnya, kebutuhan garam industri mencapai 3,8 juta ton, artinya diasumsikan hampir seluruh kebutuhan garam industri hanya bisa dipenuhi dari impor.

 

Bisa jadi kebutuhan industri kimia 2,4 juta ton memang memerlukan kadar NaCl berkisar 95-98 persen. Selebihnya atau 1,4 juta ton garam masuk untuk memenuhi aneka industri, yang sebagian besar adalah usaha mikro, kecil, dan  menengah (UMKM) yang mampu dipenuhi oleh garam rakyat.

 

Tak kalah menarik adalah problem klasik dan mengakar pada importasi gula. Pasalnya, Indonesia merupakan importir gula terbesar di dunia, yakni mencapai 4,7 juta ton. Pemerintah seolah dihadapkan pada dilema, apalagi mendekati bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

 

Dengan dalih stabilisasi harga gula, pemerintah memutuskan telah mengeluarkan izin impor 680.000 ton gula mentah (raw sugar) dan 150.000 ton gula kristal putih (GKP). Sementara itu, realisasi nilai impor gula Januari-Februari 2021 mencapai 481,7 juta dollar AS atau naik 99,38 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020.

 

Candu Impor

 

Disparitas harga pangan internasional dan harga di dalam negeri memang selalu memberi insentif ekonomi untuk melakukan impor. Termasuk dijadikan justifikasi untuk melakukan stabilisasi harga agar tidak terjadi fluktuasi harga pangan pokok. Sementara sumber inefisiensi produk pangan di dalam negeri tidak pernah diselesaikan secara tuntas dari fundamental akar masalah.

 

Konyolnya lagi, ketiadaan peningkatan produktivitas pangan dijadikan alasan menghapus subsidi pupuk. Padahal, subsidi pupuk semestinya ditujukan untuk memberikan insentif ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan petani. Nyatanya, alih-alih meningkat kesejahteraannya, petani selalu dikorbankan demi menjaga stabilisasi harga.

 

Jadi, jangan salahkan jika impor pangan justru semakin menjadi candu dalam perekonomian. Juga jangan salahkan jika tidak ada lagi yang tertarik menjadi petani dan memilih menjual lahan suburnya sehingga alif fungsi lahan semakin masif. Tentu akan menjadi paradoks tragis bagi sebuah negeri agraris. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar