Rabu, 24 Maret 2021

 

Siklus Besar Komoditas

 Ari Kuncoro  ;  Rektor Universitas Indonesia

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Baru-baru ini lembaga keuangan Goldman Sachs membuat pernyataan menarik bahwa pandemi Covid-19 merupakan pemicu siklus besar komoditas global baru. Indeks komoditas Bloomberg secara tahunan sampai dengan Maret 2021 naik 11 persen, sedangkan secara kumulatif meningkat 40 persen dalam 52 pekan terakhir.

 

Hal ini mirip dengan situasi pascakrisis keuangan Asia pada 1998-1999, yang saat itu Indonesia termasuk negara terdampak parah. Penyebab utamanya adalah permintaan yang tertahan. Pada masa krisis, masyarakat biasanya menahan konsumsi dan memusatkan diri pada belanja dasar, seperti sandang dan pangan. Masyarakat mengorbankan atau paling tidak menahan sementara pengeluaran, baik untuk barang-barang tahan lama maupun untuk aktualisasi diri, seperti perjalanan wisata dan menonton konser.

 

Setelah krisis berakhir, masyarakat melampiaskan keinginan tertahan ini yang mendorong perekonomian keluar dari resesi. Daya beli didukung suntikan siklus besar komoditas periode 2004-2012 yang surplusnya didaur ulang ke sektor-sektor nontraded good atau nonekspor, seperti properti, perdagangan, dan jasa lainnya. Begitu kuatnya ledakan ini sehingga krisis keuangan global tidak dapat menghentikannya. Malahan sebaliknya, efek permintaan yang tertahan dari krisis keuangan global memperpanjang siklus sampai  2012-2013.

 

Tiga komoditas besar

 

Ada tiga komoditas yang memimpin the new commodity supercycle ini (Home [2021]). Pertama, minyak yang diwakili jenis West Texas Intermediate (WTI). Pandemi global berdampak pada stagnasi harga minyak internasional. Euforia vaksin mendorong pedagang dan spekulan di negara-negara industri mulai membeli minyak besar-besaran. Akibatnya, harga minyak WTI yang sejak awal September 2020 tertahan pada 40-an dollar AS per barel naik signifikan menjadi di atas 50 dollar AS per barel pada pertengahan Desember 2020. Bahkan, harga minyak terus menguji pasar, apakah memiliki fundamental untuk menembus 60 dollar AS per barel. Pemangkasan produksi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) plus dan spekulasi di pasar komoditas berjangka bahwa pemulihan ekonomi dunia akan berjalan mulus, turut berperan mendongkrak harga minyak mentah.

 

Komoditas berikutnya adalah tembaga. Harga tembaga saat ini sekitar 9.000 dollar AS per metrik ton atau hampir mencapai titik tertingginya pada 2011. Kenaikan harga ini didorong pembukaan kembali perekonomian negara-negara industri dan stimulus fiskal di Amerika Serikat. Permintaan masyarakat untuk barang-barang elektronik dan kendaraan diperkirakan melonjak setelah sekian lama tertahan.

 

Faktor berikutnya adalah pergeseran ke arah kendaraan listrik pascapandemi Covid-19. Kendaraan listrik memerlukan empat kali lebih banyak komponen berbasis tembaga dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil. Asosiasi tembaga internasional memperkirakan permintaan tembaga akan meningkat dari 185.000 ton pada 2017 menjadi 1,74 juta ton pada 2027 (Kimani [2021]).

 

Komoditas ketiga adalah adalah litium. Sebagai konsekuensi prospek peningkatan permintaan kendaraan listrik, permintaan litium, sebagai alternatif kobalt dan nikel untuk bahan komponen baterai kendaraan listrik, juga meningkat.

 

Dampak terhadap Indonesia 

 

Seperti pola angsa terbang, pergerakan tiga besar komoditas itu akan mengerek harga komoditas lain. Hal ini dapat diamati dari neraca perdagangan Indonesia. Kinerja ekspor membaik sejak November 2020. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia kembali surplus 2,44 miliar dollar AS pada Februari 2021. Adapun akumulasi surplus pada Januari-Februari sebesar 3,96 miliar dollar AS.

 

Penyebab surplus ini dapat ditelusuri dari perbaikan harga komoditas, seperti minyak kelapa sawit yang dibandingkan Februari 2020 harganya naik 39,59 persen. Sementara, harga karet dan batubara naik masing-masing 45,49 persen dan 28,24 secara tahunan. Akibatnya, surplus neraca perdagangan nonmigas dapat menutupi defisit neraca migas yang pada Januari-Februari 2021 mencapai 1,11 miliar dollar AS. Dengan demikian, secara keseluruhan neraca perdagangan masih surplus.

 

Saat ini Indonesia adalah pengimpor bersih minyak sehingga kenaikan harga minyak cenderung memperburuk neraca perdagangan. Namun, efek berantai harga komoditas menyebabkan surplus neraca perdagangan dapat dipertahankan karena harga komoditas ekspor lain juga naik. Surplus ini penting sebagai faktor penyangga rupiah yang selama ini ditopang arus modal masuk portepel. Pada Januari Februari 2021, arus modal bersih masuk sebesar 8,5 miliar dollar AS sehingga neraca pembayaran masih sehat. Prospek pemulihan ekonomi AS sebagai akibat stimulus fiskal membuka peluang pergeseran modal portofolio global yang harus diwaspadai karena berpotensi meningkatkan arus modal keluar.

 

Repetisi

 

Siklus komoditas global 2004-2012 turut berperan dalam mengangkat Indonesia dari kontraksi ekonomi 1997-1998 sebagai akibat dari krisis keuangan Asia. Apakah akan terjadi lagi dengan pemulihan pascapandemi Covid-19? Sampai saat ini pergerakan harga minyak internasional masih naik-turun dalam jangka pendek mengikuti irama vaksinasi dunia. Penundaan vaksinasi AstraZeneca di delapan negara Eropa sambil menunggu tinjauan Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) menyebabkan kenaikan harga WTI terhenti dan turun kembali hingga kehilangan sekitar 7 dollar AS dalam sepekan. Setelah EMA menyatakan AstraZeneca dianggap aman dan efektif, harga merangkak lagi ke sekitar 60 dollar AS.

 

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan siklus besar komoditas ini akan mengulangi pola 2004-2012 di Indonesia. Selain menghasilkan pertumbuhan dengan rerata 5,6 persen per tahun, dampak positif siklus tersebut adalah berkembangnya kelas menengah Indonesia, yakni pekerja kerah putih di kota-kota. Namun, angka koefisien gini juga meningkat, dari 0,346 pada 2006 menjadi 0,399 pada 2014.

 

Masih harus dilihat, apakah siklus komoditas besar baru ini akan menjadi pemicu belanja kelas menengah. Paling sedikit hal ini akan menjadi daya dorong tambahan bagi perekonomian yang sudah mendapatkan stimulus bantuan sosial bagi masyarakat dan sektor produktif usaha mikro, kecil, dan menengah, dan program vaksinasi.

 

Ada sisi positif jika nantinya bonanza komoditas tidak sebesar periode 2004-2012. Efek tekanan sektor ekspor komoditas yang sedang meledak terhadap sektor-sektor lain, khususnya manufaktur yang berpotensi ekspor, akan berkurang. Peluang fenomena yang dikenal sebagai penyakit Belanda (Dutch disease) akan lebih kecil sehingga proses pemulihan ekonomi secara sektoral akan lebih seimbang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar