Selasa, 30 Maret 2021

 

Regenerasi Kepemimpinan Politik

 Moch Nurhasim ;  Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI

                                                        KOMPAS, 29 Maret 2021

 

 

                                                           

Dunia dan Indonesia sedang mengalami perubahan generasi, dari generasi tradisionalis ke generasi Alpha (iGeneration). Dari sisi struktur sosial, kedudukan generasi tua (tradisionalis dan baby boomers, lahir 1940-an hingga 1970-an) relatif telah tergantikan posisinya oleh generasi Y (1981-1994) dan generasi Z (1995-2010).

 

Namun, tak demikian pada dunia politik. Rebutan ruang politik-demokrasi antara generasi tradisionalis dan baby boomers, yang sering disebut generasi tua, dengan generasi X, Y, dan Z masih terasa. Hampir tak ada pemimpin partai saat ini yang ”murni” dari generasi Z.

 

Rata-rata politik Indonesia masih di bawah ”cengkeraman” para oligark—orang-orang tua, kelahiran 1940-an dan 1970-an. Hanya sedikit pemimpin politik kelahiran 1980-an, atau berusia 35-50 tahun, yang andal.

 

Generasi kepemimpinan politik saat ini masih didominasi usia 50 hingga 70 tahun. Di legislatif nasional pun relatif sama, dominasi baby boomers masih sangat terasa, walau ada anggota DPR yang berusia 23 tahun atau kelahiran 1996 sebagai anggota termuda, tetapi jumlahnya belum signifikan.

 

Politik usia

 

Generasi politik bukan hanya sebatas statistik atau angka semata. Keberadaan mereka berhubungan erat dengan proses pembangunan negara bangsa (nation-building). Studi Joseph Strayer di Eropa menunjukkan bahwa perbaikan administrasi pemerintahan membutuhkan minimal waktu 4-5 abad.

 

Dalam kurun waktu itu, ideologi negara juga baru terinternalisasi secara lebih nyata. Bisa dibayangkan, sebuah negara sesungguhnya membutuhkan usia politik tak singkat, terus berkelanjutan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, negara sebagai organisasi modern tak bisa dilepaskan dari regenerasi politik.

 

Penyiapan sumber daya politik menjadi salah satu hal yang penting. Dalam teori politik, kaidah rekrutmen politik calon yang bertarung dalam kontestasi politik bukan semata-mata hitungan menang-kalah secara elektoral. Dalam proses seperti itu ada pertimbangan keberlanjutan kepemimpinan politik.

 

Biasanya proses regenerasi seperti itu akan rusak jika institusi-institusi demokrasi yang penting seperti parpol mengalami pembusukan politik.

 

Pembusukan politik (political decay), seperti pernah disebut Huntington dalam proses pembangunan negara bangsa, bisa menjadi faktor penghambat regenerasi politik. Studi Manor (2017) menyebut bahwa degenerasi politik di India, misalnya, disebabkan institusi demokrasi mengalami pembusukan. Pun sama dalam sejarah, ketika rezim yang berkuasa terlalu lama seperti masa Orde Baru—hampir 32 tahun berkuasa—bisa menghambat terjadinya regenerasi politik.

 

Ada tiga alasan periode waktu kekuasaan yang lama bisa merusak institusi politik demokrasi. Pertama, kecenderungan jabatan akan menciptakan oligarki melalui pembentukan jaringan kepentingan politik yang saling membutuhkan. Kekuasaan yang ”langgeng”, terus-menerus bisa merintangi mobilitas vertikal secara politik.

 

Untuk menghindari itu, sistem demokrasi kemudian membatasi periode kekuasaan, khususnya kekuasaan eksekutif seperti presiden dan kepala daerah, karena dianggap berpotensi merusak apabila seseorang terlalu lama berkuasa.

 

Kedua, selain mencegah oligarki, pembatasan kekuasaan dalam jabatan politik dimaksudkan untuk menghindari potensi korupsi politik. Dan ketiga, alasan yang tidak kalah penting ialah agar calon-calon pemimpin baru bisa tumbuh kembang seiring dengan kebutuhan zaman.

 

Sebagai syarat agar sebuah entitas negara tetap eksis dan tidak bubar, usia politik membutuhkan kesinambungan dan keberlanjutan atau regenerasi politik. Problem utamanya ada pada bagaimana cara regenerasi itu akan dilakukan.

 

Apakah melalui proses reproduksi dinasti seperti saat ini yang terjadi pada sebagian besar partai politik kita. Ataukah berjalan dengan mekanisme demokrasi dalam bingkai rekrutmen politik yang terbuka, di mana proses regenerasi politik berjalan seiring dengan tumbuhnya sumber-sumber kepemimpinan politik yang tersedia.

 

Ada dua pola yang bisa dijadikan pelajaran, yakni pola politik AS dan Eropa. Politik-demokrasi di AS mencoba mencari sumber kepemimpinan politik melalui konvensi secara terbuka. Konvensi ini melibatkan para politisi, kader partai, dan konstituen (pemilih) mereka secara luas. Pemilu pendahuluan dilakukan sebagai ajang kontestasi untuk menentukan keberlanjutan generasi politik.

 

Pola kedua, kontestasi prapemilu secara terbatas seperti model Eropa, hanya melibatkan sebagian kecil orang, yakni politisi dan kader partai.

 

Perbedaannya dengan Indonesia, proses pencarian figur kepemimpinan nasional lebih sarat oleh kepentingan ”dinasti”. Jalur itu umumnya bisa melalui jalur keluarga, orang dekat, atau orang yang sedang menguasai jalur penting rekrutmen politik sebagai basis penyediaan calon pejabat publik yang akan memerintah. Reproduksi kepemimpinan dalam politik-demokrasinya masih dikerangkeng oleh budaya patrimonial. Sebuah budaya yang sesungguhnya berlawanan dengan kultur demokrasi.

 

Ketiga pola sebagaimana disebut di atas pada hakikatnya ingin mencari siapa yang layak secara politik akan memimpin orang banyak, baik di tingkat nasional maupun lokal. Memang tidak ada jaminan bahwa calon yang diusung dari ketiga model dapat mendorong munculnya calon terbaik.

 

Meski demikian, secara demokratis, semakin banyak orang terlibat dalam pencarian sosok yang layak, tingkat kemungkinan menemukan sosok yang terbaik akan jauh lebih tinggi peluangnya.

 

Itu semua kalau kita mengandaikan politik berjalan secara wajar, tanpa transaksi dan jual beli. Mahalnya biaya politik menyebabkan ilustrasi ketiga pola di atas bisa tidak berfungsi. Biaya politik yang tinggi menyebabkan kontestasi politik bukan saja ”diperdagangkan”, melainkan dicengkeram oleh generasi oligark, orang-orang yang telah lama dalam kekuasaan.

 

Regenerasi politik

 

Banyak artikel menyebut bahwa Indonesia berpeluang akan menikmati bonus demografi. Masalahnya, kenaikan angka penduduk itu tidak selaras dengan lahirnya tokoh-tokoh yang layak untuk menjadi pemimpin politik.

 

Fenomena 4 L (lu lagi, lu lagi) adalah paradoks bonus demografi dalam pembangunan politik sebuah negara.

 

Secara filosofis dan sosiologis generasi politik perlu dipersiapkan agar sebuah bangsa tidak menghadapi krisis kepemimpinan politik.

 

Perlu terobosan dan keberanian untuk mengesampingkan kepentingan sesaat, ambisi kelompok yang terlalu besar sehingga mengesampingkan kepentingan bangsa. Semua itu membutuhkan kesadaran bersama agar bangsa ini tidak mengalami stagnasi.

 

Fenomena berulangnya beberapa nama tokoh sebagai calon presiden yang maju berkali-kali dengan polesan politik pencitraan telah menjebak politik lima tahunan kita sebagai kontestasi politik yang terkelabui. Akibatnya dalam proses pencarian figur kepemimpinan nasional ada fenomena ”mengangkat calon yang satu dan menjatuhkan calon yang lain”.

 

Di sinilah jiwa kenegarawanan para politisi diuji. Sosok negarawan akan tahu kapan harus maju dan pada saat apa dirinya harus mundur dalam dunia politik. Tujuannya bukan melanggengkan kekuasaan, melainkan memberi kesempatan munculnya sosok baru agar politik-demokrasi memberi secercah harapan demi masa depan bangsa yang lebih baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar