Sabtu, 27 Maret 2021

 

Suara ”Netizen” Bukan Suara Rakyat

 Ignatius Haryanto ;  Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

                                                        KOMPAS, 26 Maret 2021

 

 

                                                           

Sekarang ini sudah menjadi lumrah jika kita menyebut istilah netizen dengan merujuk pada suatu kerumunan yang ada di berbagai media sosial, yang setiap hari punya saja topik untuk dibicarakan (baca: dicela, ditertawakan, dirundung), dan setiap hari selalu ada hal baru yang bisa dijadikan trending topic.

 

Belum lama ini, dalam suatu riset ilmiah yang dilakukan Microsoft, muncul kesimpulan bahwa perilaku netizen Indonesia termasuk yang paling tidak sopan di dunia maya, bahkan dalam ukuran di Asia Tenggara. Merespons riset ini pun, netizen kemudian menyerbu situs dan aneka akun media sosial Microsoft untuk menyatakan kemarahannya.

 

Berarti benar dong jika dikatakan netizen Indonesia paling tidak sopan?

 

Jadi, apakah netizen itu? Bisakah kita mengidentifikasi secara persis, siapakah yang disebut netizen itu? Betulkah mereka memiliki cara pikir yang sama, atau justru mereka ini adalah sebentuk mosaik yang bentuknya bisa sangat beragam, tidak tunggal, bersuara plural, dan sangat acak.

 

Perilaku ”netizen”

 

Dalam pembicaraan tertentu, sejumlah sosok terlihat mendominasi, tetapi untuk pembicaraan lain, sosok lain yang terlihat menonjol. Demikian seterusnya. Netizen bukanlah sesuatu yang stabil, sesuatu yang tidak goyah. Sebaliknya, sosok netizen ini tidak pernah stabil, selalu bergerak, selalu merespons untuk macam-macam hal: mulai dari yang serius terkait dengan pengambilalihan Partai Demokrat, kudeta militer di Myanmar, hingga ke soal heboh putusnya pacaran anak Presiden.

 

Netizen sebagai istilah merujuk pada dua hal: net dan citizen. Net merujuk pada dunia internet, dan citizen merujuk pada para pengguna (baca: konsumen dan produsen) media sosial.

 

Jadi, netizen adalah istilah longgar untuk merujuk pada siapa pun yang memiliki akun media sosial (mau yang asli, menampilkan profil sesungguhnya, hingga akun anonim atau bahkan akun bot), yang kemudian menggunakan akun tersebut untuk mem-posting sesuatu ataupun mengomentari tentang (segala) hal yang menurut mereka menarik untuk dikomentari.

 

Rasa akan waktu dalam hitungan media sosial akan berbeda dengan hitungan waktu dalam dunia nyata. Apa yang disebut ”baru”, ”basi”, ”sedang trending”, ”sudah tidak in”, sekarang itu hitungannya adalah hari, jam, menit…. Jika sebelumnya kita akan menyebut waktu seperti dekade, tahun, bulan, minggu sebagai waktu yang disebut ”lama”.

 

Kalau sudah tidak baru, sudah tidak trending, pasti akan ada tren berikutnya. Begitulah logika media sosial macam Twitter yang setiap hari memberi laporan apa saja yang menjadi trending topic di dunia, atau di Indonesia. Nanti adakalanya netizen Indonesia akan bangga jika hashtag asal Indonesia merajai trending topic di dunia. Ehm… betulkah itu suatu prestasi? Ya, tergantung topik yang sedang dibicarakan juga.

 

Kemunculan netizen bisa diurut ke belakang dengan bermulanya media sosial. Media sosial yang hadir dalam bentuk seperti Facebook, Twitter, kemudian sekarang Instagram, Tiktok, dan sekarang yang sedang hype: Clubhouse adalah media-media yang membuka ruang ”demokratisasi” dalam arus pengiriman pesan.

 

Sebelum ada media sosial, pengirim pesan utamanya adalah media-media. Pesan dikemas dan dianggap penting untuk pembaca, mulai dari berita nasional, berita internasional, berita politik, ekonomi, pangan, lingkungan hidup, hingga olahraga. Seolah semua pesan ini harus dilalap karena itulah yang dianggap penting.

 

Monopoli pengiriman pesan dari media perlahan-lahan berubah. Mereka yang menjadi pembaca tak mau lagi sekadar membaca karena mereka juga ingin didengar, mereka juga memiliki pesan yang hendak disampaikan (soal penting atau tidak itu soal lain).

 

Awalnya adalah kolom-kolom komentar (atau yang sering disebut sebagai user generated content) dalam berita. Awalnya komentar terhadap berita masih sopan, tetapi makin lama makin liar, dan kemudian malah komentar yang tertuang dalam berita tak lagi ada kaitan dengan berita utamanya.

 

Netizen ini sudah tak lagi dikenal sebagai audiens semata dalam ranah ilmu komunikasi. Audiens yang biasanya ditaruh dalam rantai paling belakang pada proses pengiriman pesan kini harus diperhitungkan dengan lebih cermat.

 

Henry Jenkins yang terkenal dengan buku Convergence Culture telah lama memperkenalkan konsep soal fandom sebagai bagian dari budaya partisipasi yang dilakukan para penikmat budaya.

 

Pernah ada masa di mana sejumlah ahli seperti Stuart Hall (dalam Encoding-Decoding, 1973) dan juga Ien Ang (Desperately Seeking Audiences, 1991) begitu percaya dengan konsep ”audiens yang aktif” pada abad lalu.

 

Peneliti asal Indonesia seperti Merlyna Lim pernah menuliskan kondisi masyarakat di Indonesia yang terbelah dalam artikelnya di jurnal Critical Asian Studies (2017), ”Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia”. Ada yang lebih rumit dari sekadar melihat netizen dari pandangan audience studies.

 

Alan Rusbridger, mantan Pemimpin Redaksi The Guardian, selama 20 tahun dalam buku memoarnya menulis bahwa korannya membuka ruang komentar dari para pembaca, tetapi pembaca memanfaatkan ruang yang ada untuk mendiskusikan hal lain di luar berita utamanya.

 

Pembaca merasa bahwa ruang itu adalah miliknya, dan mereka bebas menggunakannya seturut agendanya. Dengan agak kesal Rusbridger mengatakan, para komentator itu seenaknya berpindah-pindah topik dan ”tak ada yang bertahan membicarakan satu hal dalam tiga posting berturutan….” (Breaking News: The Remaking of Journalism and Why It Matters Now, 2018)

 

Demokratisasi ini pun terjadi ketika perangkat pendukung untuk mengakses berita semakin mudah. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa satu orang Indonesia pasti memiliki lebih dari satu nomor telepon seluler, entah untuk modem atau untuk perangkat lainnya. Survei-survei telah menunjukkan jumlah nomor telepon seluler yang ada di Indonesia dua kali lipat lebih banyak dari total jumlah penduduk Indonesia.

 

Demokrasi atau anarki?

 

Perangkat-perangkat akses komunikasi jadi makin terjangkau, makin mudah mengakses ”berita”, dan perangkat ini disebut sebagai smart phones (telepon pintar). Namun, apakah pemiliknya ”lebih smart” daripada perangkatnya, kita tak mau cepat-cepat membuat kesimpulan. Oleh karena itu, pembicaraan yang tadinya dilakukan secara terbatas, pemberitaan yang dikomentari oleh para cendekiawan semata, sudah lewat jauh.

 

Semua bisa bicara sekarang. Ingat dengan karya Tom Nichols, The Death of Expertise (2017). Seorang profesor yang puluhan tahun menekuni bidangnya di ranah media sosial tak lebih hebat dari suatu akun anak belasan tahun yang terlihat ingin ”hebat” dan ”sok tahu” dengan cara menghardik sang guru besar.

 

Buat dia, sebuah kebanggaan ia bisa menghardik seorang tua yang mungkin seumur kakeknya. Tapi itulah ”demokratisasi” di dunia media sosial. Apakah perilaku netizen ini betul suatu demokratisasi? Ataukah bukan sebentuk anarki?

 

Dengan konteks sosial politik yang berkali-kali mengalami pembelahan akibat pemilihan umum nasional ataupun lokal yang terjadi beberapa tahun lalu, dunia media sosial selalu jadi riuh. Ia ibarat pasar yang buka setiap hari dari pagi hingga pagi lagi. Selalu ada keramaian di sana. Selalu ada topik untuk dipergunjingkan di sana.

 

Tak cukup jelas, mereka yang bersuara ramai itu apakah tak memiliki pekerjaan khusus yang harus mereka lakukan ataukah ngelantur dengan topik yang silih ganti itu adalah memang pekerjaannya.

 

Nuansa anarki bisa saja sangat terasa karena dari berbagai macam peristiwa, berbagai macam narasi, plot twist bisa terjadi di mana-mana, dan ini pun dirayakan ramai-ramai.

 

Dengan keahlian netizen membuat meme, memberi komentar, hingga memodifikasi foto-foto tertentu, terkadang memang dalam hati saya merasa, netizen Indonesia itu sangat kreatif, lucu, walau banyak juga yang mengesalkan.

 

Contoh plot twist saat-saat ini, misalnya, adalah dua peristiwa yang kebetulan hadir hampir bersamaan. Pertama adalah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang menetapkan Moeldoko sebagai ketuanya, dan kedua, putusnya percintaan anak Presiden. Buat para netizen—dengan segala kebenaran yang dicelotehkannya, begitu sindiran dari korban netizen—dua narasi ini sama-sama menarik untuk dikomentari, tetapi juga menarik untuk menjadi bahan untuk plot twist.

 

Sebuah meme yang cepat muncul menggambarkan bagaimana Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengimbau para ibu agar fokus pada permasalahan dirinya (yang tidak tertulis dalam meme: ”ketimbang kasus putus pacaran anak presiden”).

 

Masih dari urusan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, istri Agus menulis dalam cuitannya, ”apa nama dari perampok partai orang”, seorang netizen dengan tangkas menjawab, ”kalau disingkat: pepo”.

 

Semua ini pembicaraan dalam level penanda dan petanda yang absurd. Orang harus tahu banyak latar belakang untuk menangkap kelucuan atau ironi dari dialog-dialog di atas. Dan itulah netizen Indonesia: yang disebut paling tidak sopan, tetapi sekaligus punya kejenakaan, kelincahan, dan kreativitas tanpa batas.

 

Padahal, baru beberapa hari sebelumnya netizen Indonesia ikut dalam keharuan dengan gugurnya seorang perempuan remaja Myanmar yang turut aktif dalam demonstrasi menentang kudeta militer, tetapi akhirnya mati tertembak. Begitu cepat isu berubah, dan topik bisa datang dari mana saja.

 

Terakhir, apakah netizen itu sama dengan adagium Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan)? Ya, saya percaya Tuhan pasti tidak antihumor, tetapi kalau netizen disamakan dengan suara rakyat, apalagi sebagai suara Tuhan, rasanya juga terlalu jauh. Mungkin netizen itu ibarat kerumunan lebah yang selalu mendengung.

 

Sendirian lebah mendengung sudah terdengar, tetapi bayangkan jika ratusan atau ribuan lebah yang berdengung. Nah, bayangkanlah jika netizen Indonesia yang jutaan itu bersuara.

 

Dalam pidato kebudayaan tahun 2013 (buat para netizen, waktu itu seakan sudah lewat berabad lalu) Karlina Supelli pernah menyebutkan bahwa dalam satu detik dalam hidup Twitter di Indonesia ada 15 cuitan yang muncul.

 

Demikianlah cerewetnya para netizen Indonesia. Apakah ini cerminan dengan perangkat canggih yang dimiliki, tetapi para penggunanya memiliki pengetahuan sangat terbatas tentang apa yang disebut melek media digital? Sangat mungkin benar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar