Suara
”Netizen” Bukan Suara Rakyat Ignatius Haryanto ; Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara,
Serpong |
KOMPAS,
26 Maret
2021
Sekarang ini sudah menjadi lumrah jika kita
menyebut istilah netizen dengan merujuk pada suatu kerumunan yang ada di
berbagai media sosial, yang setiap hari punya saja topik untuk dibicarakan
(baca: dicela, ditertawakan, dirundung), dan setiap hari selalu ada hal baru
yang bisa dijadikan trending topic. Belum lama ini, dalam suatu riset ilmiah
yang dilakukan Microsoft, muncul kesimpulan bahwa perilaku netizen Indonesia
termasuk yang paling tidak sopan di dunia maya, bahkan dalam ukuran di Asia
Tenggara. Merespons riset ini pun, netizen kemudian menyerbu situs dan aneka
akun media sosial Microsoft untuk menyatakan kemarahannya. Berarti benar dong jika dikatakan netizen
Indonesia paling tidak sopan? Jadi, apakah netizen itu? Bisakah kita
mengidentifikasi secara persis, siapakah yang disebut netizen itu? Betulkah
mereka memiliki cara pikir yang sama, atau justru mereka ini adalah sebentuk
mosaik yang bentuknya bisa sangat beragam, tidak tunggal, bersuara plural,
dan sangat acak. Perilaku
”netizen” Dalam pembicaraan tertentu, sejumlah sosok terlihat
mendominasi, tetapi untuk pembicaraan lain, sosok lain yang terlihat
menonjol. Demikian seterusnya. Netizen bukanlah sesuatu yang stabil, sesuatu
yang tidak goyah. Sebaliknya, sosok netizen ini tidak pernah stabil, selalu
bergerak, selalu merespons untuk macam-macam hal: mulai dari yang serius
terkait dengan pengambilalihan Partai Demokrat, kudeta militer di Myanmar,
hingga ke soal heboh putusnya pacaran anak Presiden. Netizen sebagai istilah merujuk pada dua
hal: net dan citizen. Net merujuk pada dunia internet, dan citizen merujuk
pada para pengguna (baca: konsumen dan produsen) media sosial. Jadi, netizen adalah istilah longgar untuk
merujuk pada siapa pun yang memiliki akun media sosial (mau yang asli,
menampilkan profil sesungguhnya, hingga akun anonim atau bahkan akun bot),
yang kemudian menggunakan akun tersebut untuk mem-posting sesuatu ataupun
mengomentari tentang (segala) hal yang menurut mereka menarik untuk
dikomentari. Rasa akan waktu dalam hitungan media sosial
akan berbeda dengan hitungan waktu dalam dunia nyata. Apa yang disebut
”baru”, ”basi”, ”sedang trending”, ”sudah tidak in”, sekarang itu hitungannya
adalah hari, jam, menit…. Jika sebelumnya kita akan menyebut waktu seperti
dekade, tahun, bulan, minggu sebagai waktu yang disebut ”lama”. Kalau sudah tidak baru, sudah tidak
trending, pasti akan ada tren berikutnya. Begitulah logika media sosial macam
Twitter yang setiap hari memberi laporan apa saja yang menjadi trending topic
di dunia, atau di Indonesia. Nanti adakalanya netizen Indonesia akan bangga
jika hashtag asal Indonesia merajai trending topic di dunia. Ehm… betulkah
itu suatu prestasi? Ya, tergantung topik yang sedang dibicarakan juga. Kemunculan netizen bisa diurut ke belakang
dengan bermulanya media sosial. Media sosial yang hadir dalam bentuk seperti
Facebook, Twitter, kemudian sekarang Instagram, Tiktok, dan sekarang yang
sedang hype: Clubhouse adalah media-media yang membuka ruang ”demokratisasi”
dalam arus pengiriman pesan. Sebelum ada media sosial, pengirim pesan utamanya
adalah media-media. Pesan dikemas dan dianggap penting untuk pembaca, mulai
dari berita nasional, berita internasional, berita politik, ekonomi, pangan,
lingkungan hidup, hingga olahraga. Seolah semua pesan ini harus dilalap
karena itulah yang dianggap penting. Monopoli pengiriman pesan dari media
perlahan-lahan berubah. Mereka yang menjadi pembaca tak mau lagi sekadar
membaca karena mereka juga ingin didengar, mereka juga memiliki pesan yang
hendak disampaikan (soal penting atau tidak itu soal lain). Awalnya adalah kolom-kolom komentar (atau
yang sering disebut sebagai user generated content) dalam berita. Awalnya
komentar terhadap berita masih sopan, tetapi makin lama makin liar, dan
kemudian malah komentar yang tertuang dalam berita tak lagi ada kaitan dengan
berita utamanya. Netizen ini sudah tak lagi dikenal sebagai
audiens semata dalam ranah ilmu komunikasi. Audiens yang biasanya ditaruh
dalam rantai paling belakang pada proses pengiriman pesan kini harus
diperhitungkan dengan lebih cermat. Henry Jenkins yang terkenal dengan buku
Convergence Culture telah lama memperkenalkan konsep soal fandom sebagai
bagian dari budaya partisipasi yang dilakukan para penikmat budaya. Pernah ada masa di mana sejumlah ahli
seperti Stuart Hall (dalam Encoding-Decoding, 1973) dan juga Ien Ang
(Desperately Seeking Audiences, 1991) begitu percaya dengan konsep ”audiens
yang aktif” pada abad lalu. Peneliti asal Indonesia seperti Merlyna Lim
pernah menuliskan kondisi masyarakat di Indonesia yang terbelah dalam artikelnya
di jurnal Critical Asian Studies (2017), ”Freedom to Hate: Social Media,
Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia”. Ada
yang lebih rumit dari sekadar melihat netizen dari pandangan audience
studies. Alan Rusbridger, mantan Pemimpin Redaksi
The Guardian, selama 20 tahun dalam buku memoarnya menulis bahwa korannya
membuka ruang komentar dari para pembaca, tetapi pembaca memanfaatkan ruang
yang ada untuk mendiskusikan hal lain di luar berita utamanya. Pembaca merasa bahwa ruang itu adalah
miliknya, dan mereka bebas menggunakannya seturut agendanya. Dengan agak
kesal Rusbridger mengatakan, para komentator itu seenaknya berpindah-pindah
topik dan ”tak ada yang bertahan membicarakan satu hal dalam tiga posting
berturutan….” (Breaking News: The Remaking of Journalism and Why It Matters
Now, 2018) Demokratisasi ini pun terjadi ketika
perangkat pendukung untuk mengakses berita semakin mudah. Banyak laporan yang
menyebutkan bahwa satu orang Indonesia pasti memiliki lebih dari satu nomor
telepon seluler, entah untuk modem atau untuk perangkat lainnya.
Survei-survei telah menunjukkan jumlah nomor telepon seluler yang ada di
Indonesia dua kali lipat lebih banyak dari total jumlah penduduk Indonesia. Demokrasi
atau anarki? Perangkat-perangkat akses komunikasi jadi
makin terjangkau, makin mudah mengakses ”berita”, dan perangkat ini disebut
sebagai smart phones (telepon pintar). Namun, apakah pemiliknya ”lebih smart”
daripada perangkatnya, kita tak mau cepat-cepat membuat kesimpulan. Oleh
karena itu, pembicaraan yang tadinya dilakukan secara terbatas, pemberitaan
yang dikomentari oleh para cendekiawan semata, sudah lewat jauh. Semua bisa bicara sekarang. Ingat dengan
karya Tom Nichols, The Death of Expertise (2017). Seorang profesor yang
puluhan tahun menekuni bidangnya di ranah media sosial tak lebih hebat dari
suatu akun anak belasan tahun yang terlihat ingin ”hebat” dan ”sok tahu”
dengan cara menghardik sang guru besar. Buat dia, sebuah kebanggaan ia bisa
menghardik seorang tua yang mungkin seumur kakeknya. Tapi itulah
”demokratisasi” di dunia media sosial. Apakah perilaku netizen ini betul
suatu demokratisasi? Ataukah bukan sebentuk anarki? Dengan konteks sosial politik yang
berkali-kali mengalami pembelahan akibat pemilihan umum nasional ataupun
lokal yang terjadi beberapa tahun lalu, dunia media sosial selalu jadi riuh.
Ia ibarat pasar yang buka setiap hari dari pagi hingga pagi lagi. Selalu ada
keramaian di sana. Selalu ada topik untuk dipergunjingkan di sana. Tak cukup jelas, mereka yang bersuara ramai
itu apakah tak memiliki pekerjaan khusus yang harus mereka lakukan ataukah
ngelantur dengan topik yang silih ganti itu adalah memang pekerjaannya. Nuansa anarki bisa saja sangat terasa
karena dari berbagai macam peristiwa, berbagai macam narasi, plot twist bisa
terjadi di mana-mana, dan ini pun dirayakan ramai-ramai. Dengan keahlian netizen membuat meme,
memberi komentar, hingga memodifikasi foto-foto tertentu, terkadang memang
dalam hati saya merasa, netizen Indonesia itu sangat kreatif, lucu, walau
banyak juga yang mengesalkan. Contoh plot twist saat-saat ini, misalnya,
adalah dua peristiwa yang kebetulan hadir hampir bersamaan. Pertama adalah
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang menetapkan Moeldoko sebagai ketuanya,
dan kedua, putusnya percintaan anak Presiden. Buat para netizen—dengan segala
kebenaran yang dicelotehkannya, begitu sindiran dari korban netizen—dua
narasi ini sama-sama menarik untuk dikomentari, tetapi juga menarik untuk
menjadi bahan untuk plot twist. Sebuah meme yang cepat muncul menggambarkan
bagaimana Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengimbau para ibu
agar fokus pada permasalahan dirinya (yang tidak tertulis dalam meme:
”ketimbang kasus putus pacaran anak presiden”). Masih dari urusan Kongres Luar Biasa Partai
Demokrat, istri Agus menulis dalam cuitannya, ”apa nama dari perampok partai
orang”, seorang netizen dengan tangkas menjawab, ”kalau disingkat: pepo”. Semua ini pembicaraan dalam level penanda
dan petanda yang absurd. Orang harus tahu banyak latar belakang untuk
menangkap kelucuan atau ironi dari dialog-dialog di atas. Dan itulah netizen
Indonesia: yang disebut paling tidak sopan, tetapi sekaligus punya
kejenakaan, kelincahan, dan kreativitas tanpa batas. Padahal, baru beberapa hari sebelumnya
netizen Indonesia ikut dalam keharuan dengan gugurnya seorang perempuan
remaja Myanmar yang turut aktif dalam demonstrasi menentang kudeta militer,
tetapi akhirnya mati tertembak. Begitu cepat isu berubah, dan topik bisa
datang dari mana saja. Terakhir, apakah netizen itu sama dengan
adagium Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan)? Ya, saya percaya
Tuhan pasti tidak antihumor, tetapi kalau netizen disamakan dengan suara
rakyat, apalagi sebagai suara Tuhan, rasanya juga terlalu jauh. Mungkin
netizen itu ibarat kerumunan lebah yang selalu mendengung. Sendirian lebah mendengung sudah terdengar,
tetapi bayangkan jika ratusan atau ribuan lebah yang berdengung. Nah,
bayangkanlah jika netizen Indonesia yang jutaan itu bersuara. Dalam pidato kebudayaan tahun 2013 (buat
para netizen, waktu itu seakan sudah lewat berabad lalu) Karlina Supelli
pernah menyebutkan bahwa dalam satu detik dalam hidup Twitter di Indonesia
ada 15 cuitan yang muncul. Demikianlah cerewetnya para netizen
Indonesia. Apakah ini cerminan dengan perangkat canggih yang dimiliki, tetapi
para penggunanya memiliki pengetahuan sangat terbatas tentang apa yang
disebut melek media digital? Sangat mungkin benar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar