Ketika
Musik Menyenandungkan Alam Purnawan Andra ; Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen
Kebudayaan Kemendikbud |
KOMPAS,
28 Maret
2021
Musik diakui mempunyai efek signifikan pada
manusia karena berpengaruh kuat sebagai media artikulasi ide dan pemikiran
yang ampuh. Musik juga mampu membawa dan mengikat individu-individu menjadi
satu dalam menghadapi suatu permasalahan bersama, mulai dari tema krisis
politik, problematika sosial ekonomi hingga kerusakan lingkungan. Lingkungan alam memang menjadi isu penting
saat ini. World Wide Fund for Nature (WWF), organisasi internasional yang
menangani masalah lingkungan, pada tahun 2008 telah memperkirakan bahwa
sekitar 400 spesies primata terancam punah dalam 40 tahun mendatang karena
perubahan lingkungan yang drastis akhir-akhir ini. Kini, hal itu mendekati
kenyataan. Dulu, ketika kita nyanyikan lagu nina bobo
“kidang talun, mangan kacang talun..”, lalu terbayangkah pada benak kita
gambaran lima puluh tahun ke depan? Mungkin lagu itu masih hidup, akan tetapi
kita tak dapat memberi makna. Lagu itu menjadi sesuatu yang sunyi, tak bicara
apa-apa, karena kijang tak ada lagi di bumi. Disatu sisi, musik selalu berada di sekitar
kita. Hujan turun dengan ritmenya, desiran angin, apapun bisa kita sebut
musik secara sederhana. Sehingga, jika alam mulai rusak, maka kehidupan para
musisi (apalagi pemusik etnis) juga terancam, karena lingkungan sekitar yang
menjadi sumber idenya, telah berubah. Namun isu lingkungan hanya bergerak di
sekitar meja perundingan dan tidak menyentuh masalah (apalagi solusi terkait)
kerusakan alam. Problem ini menjadi jauh dan asing. Brigitta Isworo (2009)
menyebut di tahun 70-an lagu "Kemarau" dan "Di Padang Tandus"
dari band Rollies mencoba menyampaikan persoalan lingkungan ketika HPH-HPH
(hak pengusahaan hutan) mulai merambah hutan-hutan Kalimantan. Periode selanjutnya dikenal karya-karya Leo
Kristi dan Ully Sigar Rusady yang bertema lingkungan. Itulah kepekaan dan
protes pemusik dalam merespon kondisi sekitarnya. Tapi situasi politik saat
itu membuatnya hanya semata lagu dan tidak memicu sebuah gerakan. Manusia jelas terancam karena kerusakan
lingkungan. Awal tahun ini saja, berbagai bencana alam mulai dari banjir,
tanah longsor, gempa bumi dan erupsi gunung berapi terjadi. Situasinya sangat
tidak sederhana ketika muncul isu bahaya lingkungan. Musisi (etnis) juga terkena dampak langsung
kerusakan lingkungan tersebut karena bahan-bahan musiknya dibuat dari bahan-bahan
alami seperti bambu. Di Indonesia ada lebih dari 100 alat musik yang terbuat
dari 50 jenis bambu yang digunakan menjadi alat musik. Jegog dari Jembrana
bisa berukuran panjang 3 m, dengan jangkauan suara lebih dari 2 km. Untuk mendapat bambu dengan ukuran
dimaksud, yang bisa mencapai kualitas suara seperti itu, kita harus menunggu
7 tahun. Jika kita tidak menanam kembali, apa kita akan dapatkan bahan bambu
seperti itu? Tentu akan ikut musnah dan orang tidak tahu lagi apa itu musik
Jegog yang sedemikian unik. Bisa jadi tidak akan ada lagi gambar
seorang anak meniup seruling sambil duduk di atas punggung kerbau yang tengah
makan rumput di suatu padang hijau yang luas. Tidak ada lagi romantisme
ketika lahan hijau berubah menjadi beton. Kita juga tidak bisa lagi mendengar
seruling bambu yang khas dan unik karena saat ini sudah digantikan dengan
seruling cap hasil industri. Meski berpresisi tinggi dan berwarna suara sama,
akan tetapi nuansa yang dihasilkannya tetaplah berbeda. Inilah yang pantas dibela oleh para musisi
karena hal itu berhubungan dengan kualitas ekspresi karyanya - sesuatu yang
sangat spesifik dan pantas diperjuangkan. Maka kesadaran musisi untuk
mencipta dan mengemukakan isu-isu lingkungan melalui lagu-lagunya berbanding
lurus dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat
sehingga bisa bergerak menyelamatkan lingkungan. Lebih lanjut dikatakan Isworo, hal semacam
itu pernah dilakukan oleh musisi Nugie bersama sekitar 50 musisi lainnya
melalui lagu “Dunia Berbagilah” yang berisi ajakan untuk menyelamatkan
lingkungan. Karya ini menjadi lagu tema konferensi perubahan iklim yang
diselenggarakan PBB di Bali pada tahun 2007. Musisi berperan strategis untuk
sebuah kebijakan politik - tidak hanya berperan sebagai pembawa berita, ia
bisa mengajak dan merayu para elit politik untuk menerbitkan kebijakan. Karena mengurus lingkungan adalah persoalan
politik. Kita tidak hanya bicara kehidupan satu atau dua orang, akan tetapi
kehidupan orang banyak. Data Kementerian Lingkungan Hidup menyebut bahwa dari
tahun 70-an sampai sekarang, jumlah bencana meningkat lima kali lipat, dari
puluhan menjadi ratusan per tahun. Kini, tingkatannya semakin massif karena
kerusakan alam juga sudah sedemikian parahnya. Kita perlu para tokoh publik seperti halnya
para seniman dan musisi yang berpihak dan militan memperjuangkan isu
penyelamatan lingkungan. Dengan kedudukannya di masyarakat, mereka bisa
mengingkatkan perlunya pemahaman dan kebijakan berbasis ekologis dan merevisi
pembangunan infrastruktur yang terlalu maskulin (penuh gedung jangkung yang
kekar tanpa resapan) agar lebih feminin (bertelaga). Musik mampu berlaku sebagai wacana dan
wahana urun suara dalam menyikapi pusaran dinamika dunia kontemporer. Musik
adalah sebuah representasi estetis beragam maksud dan pemikiran. Nada, irama
dan alat musik hanyalah media, sementara spirit yang mendasarinya, salah
satunya bisa jadi adalah kesadaran bersama menyikapi kondisi lingkungan alam
sekitar. Dan kebersamaan itu yang akan membangun dan menumbuhkan sesuatu yang
baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar