Selasa, 30 Maret 2021

 

Ketika Musik Menyenandungkan Alam

 Purnawan Andra ;  Staf Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud

                                                        KOMPAS, 28 Maret 2021

 

 

                                                           

Musik diakui mempunyai efek signifikan pada manusia karena berpengaruh kuat sebagai media artikulasi ide dan pemikiran yang ampuh. Musik juga mampu membawa dan mengikat individu-individu menjadi satu dalam menghadapi suatu permasalahan bersama, mulai dari tema krisis politik, problematika sosial ekonomi hingga kerusakan lingkungan.

 

Lingkungan alam memang menjadi isu penting saat ini. World Wide Fund for Nature (WWF), organisasi internasional yang menangani masalah lingkungan, pada tahun 2008 telah memperkirakan bahwa sekitar 400 spesies primata terancam punah dalam 40 tahun mendatang karena perubahan lingkungan yang drastis akhir-akhir ini. Kini, hal itu mendekati kenyataan.

 

Dulu, ketika kita nyanyikan lagu nina bobo “kidang talun, mangan kacang talun..”, lalu terbayangkah pada benak kita gambaran lima puluh tahun ke depan? Mungkin lagu itu masih hidup, akan tetapi kita tak dapat memberi makna. Lagu itu menjadi sesuatu yang sunyi, tak bicara apa-apa, karena kijang tak ada lagi di bumi.

 

Disatu sisi, musik selalu berada di sekitar kita. Hujan turun dengan ritmenya, desiran angin, apapun bisa kita sebut musik secara sederhana. Sehingga, jika alam mulai rusak, maka kehidupan para musisi (apalagi pemusik etnis) juga terancam, karena lingkungan sekitar yang menjadi sumber idenya, telah berubah.

 

Namun isu lingkungan hanya bergerak di sekitar meja perundingan dan tidak menyentuh masalah (apalagi solusi terkait) kerusakan alam. Problem ini menjadi jauh dan asing. Brigitta Isworo (2009) menyebut di tahun 70-an lagu "Kemarau" dan "Di Padang Tandus" dari band Rollies mencoba menyampaikan persoalan lingkungan ketika HPH-HPH (hak pengusahaan hutan) mulai merambah hutan-hutan Kalimantan.

 

Periode selanjutnya dikenal karya-karya Leo Kristi dan Ully Sigar Rusady yang bertema lingkungan. Itulah kepekaan dan protes pemusik dalam merespon kondisi sekitarnya. Tapi situasi politik saat itu membuatnya hanya semata lagu dan tidak memicu sebuah gerakan.

 

Manusia jelas terancam karena kerusakan lingkungan. Awal tahun ini saja, berbagai bencana alam mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi dan erupsi gunung berapi terjadi. Situasinya sangat tidak sederhana ketika muncul isu bahaya lingkungan.

 

Musisi (etnis) juga terkena dampak langsung kerusakan lingkungan tersebut karena bahan-bahan musiknya dibuat dari bahan-bahan alami seperti bambu. Di Indonesia ada lebih dari 100 alat musik yang terbuat dari 50 jenis bambu yang digunakan menjadi alat musik. Jegog dari Jembrana bisa berukuran panjang 3 m, dengan jangkauan suara lebih dari 2 km.

 

Untuk mendapat bambu dengan ukuran dimaksud, yang bisa mencapai kualitas suara seperti itu, kita harus menunggu 7 tahun. Jika kita tidak menanam kembali, apa kita akan dapatkan bahan bambu seperti itu? Tentu akan ikut musnah dan orang tidak tahu lagi apa itu musik Jegog yang sedemikian unik.

 

Bisa jadi tidak akan ada lagi gambar seorang anak meniup seruling sambil duduk di atas punggung kerbau yang tengah makan rumput di suatu padang hijau yang luas. Tidak ada lagi romantisme ketika lahan hijau berubah menjadi beton. Kita juga tidak bisa lagi mendengar seruling bambu yang khas dan unik karena saat ini sudah digantikan dengan seruling cap hasil industri. Meski berpresisi tinggi dan berwarna suara sama, akan tetapi nuansa yang dihasilkannya tetaplah berbeda.

 

Inilah yang pantas dibela oleh para musisi karena hal itu berhubungan dengan kualitas ekspresi karyanya - sesuatu yang sangat spesifik dan pantas diperjuangkan. Maka kesadaran musisi untuk mencipta dan mengemukakan isu-isu lingkungan melalui lagu-lagunya berbanding lurus dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat sehingga bisa bergerak menyelamatkan lingkungan.

 

Lebih lanjut dikatakan Isworo, hal semacam itu pernah dilakukan oleh musisi Nugie bersama sekitar 50 musisi lainnya melalui lagu “Dunia Berbagilah” yang berisi ajakan untuk menyelamatkan lingkungan. Karya ini menjadi lagu tema konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan PBB di Bali pada tahun 2007. Musisi berperan strategis untuk sebuah kebijakan politik - tidak hanya berperan sebagai pembawa berita, ia bisa mengajak dan merayu para elit politik untuk menerbitkan kebijakan.

 

Karena mengurus lingkungan adalah persoalan politik. Kita tidak hanya bicara kehidupan satu atau dua orang, akan tetapi kehidupan orang banyak. Data Kementerian Lingkungan Hidup menyebut bahwa dari tahun 70-an sampai sekarang, jumlah bencana meningkat lima kali lipat, dari puluhan menjadi ratusan per tahun. Kini, tingkatannya semakin massif karena kerusakan alam juga sudah sedemikian parahnya.

 

Kita perlu para tokoh publik seperti halnya para seniman dan musisi yang berpihak dan militan memperjuangkan isu penyelamatan lingkungan. Dengan kedudukannya di masyarakat, mereka bisa mengingkatkan perlunya pemahaman dan kebijakan berbasis ekologis dan merevisi pembangunan infrastruktur yang terlalu maskulin (penuh gedung jangkung yang kekar tanpa resapan) agar lebih feminin (bertelaga).

 

Musik mampu berlaku sebagai wacana dan wahana urun suara dalam menyikapi pusaran dinamika dunia kontemporer. Musik adalah sebuah representasi estetis beragam maksud dan pemikiran. Nada, irama dan alat musik hanyalah media, sementara spirit yang mendasarinya, salah satunya bisa jadi adalah kesadaran bersama menyikapi kondisi lingkungan alam sekitar. Dan kebersamaan itu yang akan membangun dan menumbuhkan sesuatu yang baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar