Rabu, 24 Maret 2021

 

Tantangan Kebijakan Ekonomi Inklusif

 Santo Rizal Samuelson  ;  Ekonom, Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia

                                                        KOMPAS, 22 Maret 2021

 

 

                                                           

Dalam pemaparan Visi Ekonomi Indonesia Emas pada 2019, Presiden Joko Widodo optimistis produk domestik bruto Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045.

 

Dengan tingkat pertumbuhan tinggi dan inklusif, Indonesia diyakini menjadi negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kelima dunia. Jumlah penduduk berpendapatan menengah ke atas mencapai 70 persen saat usia emas NKRI.

 

Sebelumnya, lembaga konsultan McKinsey & Company dalam publikasi kajian empirisnya 2012, ”The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”, juga memproyeksikan Indonesia pada 2030 menjadi perekonomian terbesar ketujuh dunia setelah China, AS, India, Jepang, Brasil, dan Rusia. Indonesia akan menggusur Jerman dan Inggris.

 

Dengan PDB Indonesia 2020 sekitar 1 triliun dollar AS, dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sedikitnya 8 persen per tahun untuk mencapai target lompatan PDB tujuh kali lipat dalam kurun 25 tahun. Padahal, realisasi pertumbuhan PDB Indonesia dalam periode pertama Jokowi hanya 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen (2018), dan 5,02 persen (2019).

 

Realisasi pertumbuhan PDB bahkan tidak pernah mencapai target APBN. Target pertumbuhan PDB adalah 5,8 persen (APBN 2015), 5,3 persen (2016), 5,1 persen (2017), 5,4 persen (2018), dan 5,3 persen (2019).

 

Pertumbuhan PDB tahun 2020 negatif 2,07 persen akibat hantaman pandemi Covid-19, di bawah target APBN 2020 yang positif 5,3 persen. Dalam APBN 2021, pertumbuhan PDB Indonesia ditargetkan 4,5 persen hingga 5,5 persen.

 

Indonesia sebenarnya layak optimistis menyongsong tahun 2021 setelah pandemi global melanda pada 2020. Sejumlah lembaga internasional memprediksi prospek ekonomi Indonesia akan lebih cerah. PDB Indonesia dalam proyeksi IMF tumbuh positif 4,8 persen (2021) dan 6 persen (2022), Bank Dunia 4,4 persen (2021), dan OECD 5 persen (2021).

 

Meskipun masih tumbuh negatif, arah pembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat nyata dan diprediksi sudah keluar dari masa terberat. Pada kuartal IV-2020, PDB Indonesia tumbuh minus 2,19 (yoy), semakin membaik dibandingkan dengan kuartal II dan III-2020 sebesar minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen (yoy). Pada kuartal I-2020, PDB tumbuh positif 2,97 persen (yoy).

 

Melihat realitas kondisi perputaran bisnis dan investasi saat ini, akan sangat sulit bagi Indonesia merealisasikan pertumbuhan PDB 8 persen. Pemerintah sebaiknya fokus membenahi problematika ekonomi domestik serta meluruskan paradigma keliru pembangunan ekonomi.

 

Melalui reformasi dan transformasi aspek birokrasi, regulasi dan tata kelola, diharapkan tercipta iklim investasi dan bisnis yang kondusif. Meningkatnya kepercayaan investor, pasar, dan dunia usaha akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi inklusif.

 

Jebakan ekonomi eksklusif

 

Indonesia harus keluar dari jebakan paradigma ekonomi eksklusif yang hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi tinggi dengan mendorong pertumbuhan sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Sektor primer (pertanian) kerap tertinggal, padahal menyerap banyak tenaga kerja. Terjadilah ketimpangan ekonomi.

 

Indeks pembangunan ekonomi inklusif menjadi cerminan untuk mengukur sejauh mana tingkat inklusivitas pembangunan Indonesia pada level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ditopang oleh tiga pilar utama, yakni pilar I (pertumbuhan dan perkembangan ekonomi), pilar II (pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan), dan pilar III (perluasan akses dan kesempatan).

 

Berdasar data Kementerian PPN/Bappenas pada 2019, indeks pembangunan inklusif Indonesia 5,89, meningkat dibandingkan dengan 2018 (5,75) dan 2017 (5,75). Nilai indeks pilar I (5,48), pilar II (6,57), dan pilar III (6,09). Skala skor indeks dari 0 sampai 10. Provinsi DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta tertinggi 7,82, 6,77, dan 6,61. NTT dan Papua terendah 4,92 dan 3,21.

 

Pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja dan Indonesia Maju telah menunjukkan kesungguhan membangun aneka infrastruktur dan peningkatan ekonomi daerah melalui dana desa dan transfer ke daerah. Membangun konektivitas dan efisiensi jalur transportasi dan distribusi logistik. Indeks kelayakan investasi (investment grade) Indonesia versi lembaga kredibel, seperti Standard & Poor (S&P), Moody’s Investors Service, dan Fitch Ratings, membaik dengan prospek positif dan stabil.

 

Berdasarkan data Kemenkeu RI, anggaran infrastruktur pada APBN 2016-2021 Rp 269,1 triliun, Rp 381,2 triliun, Rp 394 triliun, Rp 394,1 triliun, Rp 281,1 triliun, dan Rp 417,4 triliun. Anggaran dana desa dan transfer daerah periode 2016-2021 Rp 710,3 triliun, Rp 742 triliun, Rp 757,8 triliun, Rp 813 triliun, Rp 763,9 triliun, dan Rp 795,5 triliun.

 

Namun, anggaran superfantastis plus mandatory spending pada anggaran pendidikan (minimal 20 persen APBN dan APBD) kurang mendorong pemerataan ekonomi dan kualitas SDM. Berbagai momentum terbaik terlewatkan.

 

Beberapa tantangan yang menjadi komitmen dalam kebijakan ekonomi inklusif adalah, pertama, tantangan pemerataan pembangunan.

 

Poin terpenting dalam ekonomi inklusif adalah pemerataan pembangunan ekonomi yang dinikmati seluruh rakyat Indonesia di mana pun mereka berada. Namun, kontribusi masing-masing daerah dalam penerimaan PDB nasional masih mencerminkan ketimpangan dan ketidakmerataan. Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi persoalan struktural dan tak kunjung tuntas.

 

Pembangunan infrastruktur fisik secara masif akan percuma apabila tidak dibarengi dengan pembangunan SDM yang cerdas, sehat, inovatif, dan berdaya kemampuan mengarungi era Revolusi Industri 4.0.

 

Pertumbuhan ekonomi tinggi saja ternyata belum cukup karena hanya mengukur pertumbuhan PDB, kurang memperhatikan pemerataan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan.

 

Ekonom peraih Nobel Ekonomi 2007, Eric Stark Maskin, menyatakan, mengukur hasil pembangunan dari pertumbuhan ekonomi semata akan meniadakan pemerataan menikmati hasil pembangunan.

 

Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 naik menjadi 10,19 persen. Sebanyak 27,55 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 458.947 per kapita per bulan). Persentase penduduk miskin terbesar tercatat di Papua (26,8 persen), Papua Barat (21,7 persen), dan NTT (21,21 persen). Rasio ketimpangan (gini) per September 2020 sebesar 0,385, meningkat dari 0,380 (September 2019).

 

Ketimpangan kontribusi

 

Indonesia masih menghadapi ketimpangan kontribusi ekonomi. Berdasarkan data BPS, kontribusi PDB per kuartal III-2020 masih didominasi Jawa (58,8 persen) dan Sumatera (21,53 persen), di atas Kalimantan (7,7 persen), Sulawesi (6,6 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2,92 persen), serta Maluku dan Papua (2,37 persen). Belum ada perbaikan signifikan dalam persentase kontribusi PDB dibandingkan 2019 saat kontribusi Jawa 59 persen, Sumatera 21,32 persen serta 2018 Jawa 58,48 persen, Sumatera 21,58 persen.

 

Ketimpangan kontribusi PDB berimplikasi terhadap kemiskinan dan pengangguran. Langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan, bendungan, pelabuhan, dan jembatan, patut diapresiasi. Namun, pemerintah perlu fokus membangun dan meningkatkan kualitas fasilitas pendidikan dan kesehatan. Tanpa pemerataan kualitas, hampir mustahil pembangunan masif infrastruktur mampu dimanfaatkan secara optimal.

 

Ketimpangan kualitas pendidikan di luar Jawa sangat nyata, perlu pembenahan. Sebagai contoh, dari 10 universitas terbaik 2020 versi Dikti, 9 berlokasi di Pulau Jawa, seperti ITB, UGM, IPB, ITS, dan UI. Hanya Unhas di luar Jawa.

 

Demikian halnya dengan fasilitas rumah sakit (RS) dan tenaga kesehatan berkualitas, berada di Jawa, seperti RS Cipto Mangunkusomo/RSCM (Jakarta), RS Pondok Indah (Jakarta), RSPAD Gatot Soebroto (Jakarta), dan RS Sentosa (Bandung). Belum ada RS berkualitas setara di luar Jawa.

 

Kedua, pembenahan ketimpangan investasi. Berdasarkan data BKPM, realisasi penerimaan investasi kumulatif Januari-Desember 2020 Rp 826,3 triliun yang terdiri dari PMDN Rp 413,5 triliun dan PMA Rp 412,8 triliun. Meski hanya tumbuh 2,06 persen (yoy), penerimaan investasi 2020 melebihi target Rp 817,2 triliun.

 

Berdasarkan wilayah, realisasi investasi 2020 didominasi Jawa Rp 408,8 triliun (49,5 persen) dan Sumatera Rp 207,7 triliun (24,3 persen). Lalu, Sulawesi Rp 71,8 triliun, Kalimantan Rp 68,8 triliun, Maluku dan Papua Rp 51,3 triliun, Bali dan Nusra Rp 24,8 triliun.

 

Khusus Jawa, realisasi investasi Jabar Rp 120,4 triliun (14,6 persen dari total investasi nasional), DKI Jakarta 11,5 persen, Jatim 9,5 persen, Banten 7,5 persen, dan Jateng 6,1 persen. Struktur penerimaan investasi berdasarkan PMDN didominasi Jabar, Jakarta, Jatim, Banten, dan Jateng dengan nilai total investasi Rp 211,77 triliun (51,21 persen) dengan jumlah proyek 56.679 (58,7 persen). Pada realisasi PMA, kelima daerah tersebut juga merengkuh total 13,49 miliar dollar AS (47 persen) dengan proyek 38.960 atau 68,7 persen proyek PMA nasional.

 

Ketiga, memperkuat komitmen pemberantasan korupsi melalui aksi nyata. Praktik koruptif dalam bisnis dan pelayanan publik menjadi persoalan serius yang harus diselesaikan. Akan sangat sulit bagi Indonesia meyakinkan investor dan dunia usaha meskipun ada berbagai insentif selama iklim birokratisasi dan kepastian hukum masih ruwet, tidak pasti, dan dipenuhi praktik pungutan liar.

 

Indeks persepsi korupsi

 

Indonesia malah terpuruk dalam penilaian indeks persepsi korupsi (IPK) versi lembaga Transparency International. IPK Indonesia 2020 anjlok ke posisi ke-102 dari 180 negara dunia dengan skor indeks 37. Merosot dibandingkan 2019 dengan skor indeks 40 di peringkat ke-85. Peringkat Indonesia di bawah Singapura (3), Brunei Darussalam (35), Malaysia (57), bahkan Timor Leste (86). Peringkat pertama IPK masih ditempati Denmark dan Selandia Baru dengan skor indeks 88.

 

Terakhir, komitmen terhadap pembangunan ekonomi berorientasi energi bersih (clean energy) dan berwawasan lingkungan. Menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi tidak boleh memperburuk kualitas lingkungan, kelautan, dan kehutanan. Tanggung jawab ekonomi harus diimbangi dengan tanggung jawab ekologi.

 

Berdasarkan publikasi Kementerian ESDM tahun 2018, konsumsi energi sektor industri 334,47 juta setara minyak (BOE) dan transportasi 391,4 juta BOE, tertinggi dari total konsumsi energi nasional 936,33 juta BOE. Ini menjadi penyumbang terbesar emisi karbon (CO2) dan gas polutan hasil oksidasi bahan bakar terbesar, transportasi (27 persen), dan industri (37 persen).

 

Penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) terutama pada transportasi dan industri harus secepatnya beralih ke energi baru terbarukan (EBT) yang rendah emisi karbon. Upaya nyata transformasi industri harus komprehensif: mencakup pembangunan, pemerataan ekonomi, sekaligus peningkatan kualitas udara, air, dan tanah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar