Tantangan
Kebijakan Ekonomi Inklusif Santo Rizal Samuelson ; Ekonom, Pemerhati Ekonomi dan
Politik Indonesia |
KOMPAS,
22 Maret
2021
Dalam pemaparan Visi Ekonomi Indonesia Emas
pada 2019, Presiden Joko Widodo optimistis produk domestik bruto Indonesia
mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045. Dengan tingkat pertumbuhan tinggi dan
inklusif, Indonesia diyakini menjadi negara dengan produk domestik bruto
(PDB) terbesar kelima dunia. Jumlah penduduk berpendapatan menengah ke atas
mencapai 70 persen saat usia emas NKRI. Sebelumnya, lembaga konsultan McKinsey
& Company dalam publikasi kajian empirisnya 2012, ”The Archipelago
Economy: Unleashing Indonesia’s Potential”, juga memproyeksikan Indonesia
pada 2030 menjadi perekonomian terbesar ketujuh dunia setelah China, AS,
India, Jepang, Brasil, dan Rusia. Indonesia akan menggusur Jerman dan
Inggris. Dengan PDB Indonesia 2020 sekitar 1 triliun
dollar AS, dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sedikitnya 8 persen per tahun
untuk mencapai target lompatan PDB tujuh kali lipat dalam kurun 25 tahun.
Padahal, realisasi pertumbuhan PDB Indonesia dalam periode pertama Jokowi
hanya 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen
(2018), dan 5,02 persen (2019). Realisasi pertumbuhan PDB bahkan tidak
pernah mencapai target APBN. Target pertumbuhan PDB adalah 5,8 persen (APBN
2015), 5,3 persen (2016), 5,1 persen (2017), 5,4 persen (2018), dan 5,3
persen (2019). Pertumbuhan PDB tahun 2020 negatif 2,07
persen akibat hantaman pandemi Covid-19, di bawah target APBN 2020 yang
positif 5,3 persen. Dalam APBN 2021, pertumbuhan PDB Indonesia ditargetkan
4,5 persen hingga 5,5 persen. Indonesia sebenarnya layak optimistis
menyongsong tahun 2021 setelah pandemi global melanda pada 2020. Sejumlah
lembaga internasional memprediksi prospek ekonomi Indonesia akan lebih cerah.
PDB Indonesia dalam proyeksi IMF tumbuh positif 4,8 persen (2021) dan 6
persen (2022), Bank Dunia 4,4 persen (2021), dan OECD 5 persen (2021). Meskipun masih tumbuh negatif, arah
pembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat nyata dan diprediksi sudah
keluar dari masa terberat. Pada kuartal IV-2020, PDB Indonesia tumbuh minus
2,19 (yoy), semakin membaik dibandingkan dengan kuartal II dan III-2020
sebesar minus 5,32 persen dan minus 3,49 persen (yoy). Pada kuartal I-2020,
PDB tumbuh positif 2,97 persen (yoy). Melihat realitas kondisi perputaran bisnis
dan investasi saat ini, akan sangat sulit bagi Indonesia merealisasikan pertumbuhan
PDB 8 persen. Pemerintah sebaiknya fokus membenahi problematika ekonomi
domestik serta meluruskan paradigma keliru pembangunan ekonomi. Melalui reformasi dan transformasi aspek
birokrasi, regulasi dan tata kelola, diharapkan tercipta iklim investasi dan
bisnis yang kondusif. Meningkatnya kepercayaan investor, pasar, dan dunia
usaha akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi inklusif. Jebakan
ekonomi eksklusif Indonesia harus keluar dari jebakan
paradigma ekonomi eksklusif yang hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi
tinggi dengan mendorong pertumbuhan sektor sekunder (manufaktur) dan tersier
(jasa). Sektor primer (pertanian) kerap tertinggal, padahal menyerap banyak
tenaga kerja. Terjadilah ketimpangan ekonomi. Indeks pembangunan ekonomi inklusif menjadi
cerminan untuk mengukur sejauh mana tingkat inklusivitas pembangunan
Indonesia pada level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ditopang oleh
tiga pilar utama, yakni pilar I (pertumbuhan dan perkembangan ekonomi), pilar
II (pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan), dan pilar III
(perluasan akses dan kesempatan). Berdasar data Kementerian PPN/Bappenas pada
2019, indeks pembangunan inklusif Indonesia 5,89, meningkat dibandingkan
dengan 2018 (5,75) dan 2017 (5,75). Nilai indeks pilar I (5,48), pilar II
(6,57), dan pilar III (6,09). Skala skor indeks dari 0 sampai 10. Provinsi
DKI Jakarta, Bali, DI Yogyakarta tertinggi 7,82, 6,77, dan 6,61. NTT dan
Papua terendah 4,92 dan 3,21. Pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja
dan Indonesia Maju telah menunjukkan kesungguhan membangun aneka
infrastruktur dan peningkatan ekonomi daerah melalui dana desa dan transfer
ke daerah. Membangun konektivitas dan efisiensi jalur transportasi dan
distribusi logistik. Indeks kelayakan investasi (investment grade) Indonesia
versi lembaga kredibel, seperti Standard & Poor (S&P), Moody’s
Investors Service, dan Fitch Ratings, membaik dengan prospek positif dan
stabil. Berdasarkan data Kemenkeu RI, anggaran
infrastruktur pada APBN 2016-2021 Rp 269,1 triliun, Rp 381,2 triliun, Rp 394
triliun, Rp 394,1 triliun, Rp 281,1 triliun, dan Rp 417,4 triliun. Anggaran
dana desa dan transfer daerah periode 2016-2021 Rp 710,3 triliun, Rp 742
triliun, Rp 757,8 triliun, Rp 813 triliun, Rp 763,9 triliun, dan Rp 795,5
triliun. Namun, anggaran superfantastis plus
mandatory spending pada anggaran pendidikan (minimal 20 persen APBN dan APBD)
kurang mendorong pemerataan ekonomi dan kualitas SDM. Berbagai momentum
terbaik terlewatkan. Beberapa tantangan yang menjadi komitmen
dalam kebijakan ekonomi inklusif adalah, pertama, tantangan pemerataan
pembangunan. Poin terpenting dalam ekonomi inklusif
adalah pemerataan pembangunan ekonomi yang dinikmati seluruh rakyat Indonesia
di mana pun mereka berada. Namun, kontribusi masing-masing daerah dalam
penerimaan PDB nasional masih mencerminkan ketimpangan dan ketidakmerataan.
Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi persoalan struktural dan tak
kunjung tuntas. Pembangunan infrastruktur fisik secara
masif akan percuma apabila tidak dibarengi dengan pembangunan SDM yang
cerdas, sehat, inovatif, dan berdaya kemampuan mengarungi era Revolusi
Industri 4.0. Pertumbuhan ekonomi tinggi saja ternyata
belum cukup karena hanya mengukur pertumbuhan PDB, kurang memperhatikan
pemerataan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan. Ekonom peraih Nobel Ekonomi 2007, Eric
Stark Maskin, menyatakan, mengukur hasil pembangunan dari pertumbuhan ekonomi
semata akan meniadakan pemerataan menikmati hasil pembangunan. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan
Indonesia per September 2020 naik menjadi 10,19 persen. Sebanyak 27,55 juta
orang hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 458.947 per kapita per bulan).
Persentase penduduk miskin terbesar tercatat di Papua (26,8 persen), Papua
Barat (21,7 persen), dan NTT (21,21 persen). Rasio ketimpangan (gini) per
September 2020 sebesar 0,385, meningkat dari 0,380 (September 2019). Ketimpangan
kontribusi Indonesia masih menghadapi ketimpangan
kontribusi ekonomi. Berdasarkan data BPS, kontribusi PDB per kuartal III-2020
masih didominasi Jawa (58,8 persen) dan Sumatera (21,53 persen), di atas
Kalimantan (7,7 persen), Sulawesi (6,6 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2,92
persen), serta Maluku dan Papua (2,37 persen). Belum ada perbaikan signifikan
dalam persentase kontribusi PDB dibandingkan 2019 saat kontribusi Jawa 59
persen, Sumatera 21,32 persen serta 2018 Jawa 58,48 persen, Sumatera 21,58
persen. Ketimpangan kontribusi PDB berimplikasi
terhadap kemiskinan dan pengangguran. Langkah pemerintah menggenjot pembangunan
infrastruktur fisik, seperti jalan, bendungan, pelabuhan, dan jembatan, patut
diapresiasi. Namun, pemerintah perlu fokus membangun dan meningkatkan
kualitas fasilitas pendidikan dan kesehatan. Tanpa pemerataan kualitas,
hampir mustahil pembangunan masif infrastruktur mampu dimanfaatkan secara
optimal. Ketimpangan kualitas pendidikan di luar
Jawa sangat nyata, perlu pembenahan. Sebagai contoh, dari 10 universitas
terbaik 2020 versi Dikti, 9 berlokasi di Pulau Jawa, seperti ITB, UGM, IPB,
ITS, dan UI. Hanya Unhas di luar Jawa. Demikian halnya dengan fasilitas rumah
sakit (RS) dan tenaga kesehatan berkualitas, berada di Jawa, seperti RS Cipto
Mangunkusomo/RSCM (Jakarta), RS Pondok Indah (Jakarta), RSPAD Gatot Soebroto
(Jakarta), dan RS Sentosa (Bandung). Belum ada RS berkualitas setara di luar
Jawa. Kedua, pembenahan ketimpangan investasi.
Berdasarkan data BKPM, realisasi penerimaan investasi kumulatif
Januari-Desember 2020 Rp 826,3 triliun yang terdiri dari PMDN Rp 413,5
triliun dan PMA Rp 412,8 triliun. Meski hanya tumbuh 2,06 persen (yoy),
penerimaan investasi 2020 melebihi target Rp 817,2 triliun. Berdasarkan wilayah, realisasi investasi
2020 didominasi Jawa Rp 408,8 triliun (49,5 persen) dan Sumatera Rp 207,7
triliun (24,3 persen). Lalu, Sulawesi Rp 71,8 triliun, Kalimantan Rp 68,8
triliun, Maluku dan Papua Rp 51,3 triliun, Bali dan Nusra Rp 24,8 triliun. Khusus Jawa, realisasi investasi Jabar Rp
120,4 triliun (14,6 persen dari total investasi nasional), DKI Jakarta 11,5
persen, Jatim 9,5 persen, Banten 7,5 persen, dan Jateng 6,1 persen. Struktur
penerimaan investasi berdasarkan PMDN didominasi Jabar, Jakarta, Jatim,
Banten, dan Jateng dengan nilai total investasi Rp 211,77 triliun (51,21
persen) dengan jumlah proyek 56.679 (58,7 persen). Pada realisasi PMA, kelima
daerah tersebut juga merengkuh total 13,49 miliar dollar AS (47 persen)
dengan proyek 38.960 atau 68,7 persen proyek PMA nasional. Ketiga, memperkuat komitmen pemberantasan
korupsi melalui aksi nyata. Praktik koruptif dalam bisnis dan pelayanan
publik menjadi persoalan serius yang harus diselesaikan. Akan sangat sulit
bagi Indonesia meyakinkan investor dan dunia usaha meskipun ada berbagai
insentif selama iklim birokratisasi dan kepastian hukum masih ruwet, tidak
pasti, dan dipenuhi praktik pungutan liar. Indeks
persepsi korupsi Indonesia malah terpuruk dalam penilaian
indeks persepsi korupsi (IPK) versi lembaga Transparency International. IPK
Indonesia 2020 anjlok ke posisi ke-102 dari 180 negara dunia dengan skor
indeks 37. Merosot dibandingkan 2019 dengan skor indeks 40 di peringkat
ke-85. Peringkat Indonesia di bawah Singapura (3), Brunei Darussalam (35),
Malaysia (57), bahkan Timor Leste (86). Peringkat pertama IPK masih ditempati
Denmark dan Selandia Baru dengan skor indeks 88. Terakhir, komitmen terhadap pembangunan
ekonomi berorientasi energi bersih (clean energy) dan berwawasan lingkungan.
Menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi tidak boleh
memperburuk kualitas lingkungan, kelautan, dan kehutanan. Tanggung jawab
ekonomi harus diimbangi dengan tanggung jawab ekologi. Berdasarkan publikasi Kementerian ESDM
tahun 2018, konsumsi energi sektor industri 334,47 juta setara minyak (BOE)
dan transportasi 391,4 juta BOE, tertinggi dari total konsumsi energi
nasional 936,33 juta BOE. Ini menjadi penyumbang terbesar emisi karbon (CO2)
dan gas polutan hasil oksidasi bahan bakar terbesar, transportasi (27
persen), dan industri (37 persen). Penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas,
dan batubara) terutama pada transportasi dan industri harus secepatnya
beralih ke energi baru terbarukan (EBT) yang rendah emisi karbon. Upaya nyata
transformasi industri harus komprehensif: mencakup pembangunan, pemerataan
ekonomi, sekaligus peningkatan kualitas udara, air, dan tanah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar