Rabu, 17 Maret 2021

 

Amendemen UUD, GBHN, dan Jabatan Presiden

 Zainal Arifin Mochtar  ;  Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM

                                                        KOMPAS, 17 Maret 2021

 

 

                                                           

Salah satu isu ketatanegaraan yang mengemuka belakangan ini ialah soal adanya upaya amendemen kembali ke UUD 1945 dan memasukkan perubahan atas Pasal 7 UUD tentang masa jabatan presiden.

 

Konon, upaya itu untuk mengubah tak lagi wajib hanya dua periode masa jabatan, tetapi membuatnya menjadi lebih fleksibel sehingga bisa lebih dari dua kali. MPR sudah membantah dengan mengatakan hingga saat ini tak ada usulan perubahan dan inisiasi wacana mengubah Pasal 7 UUD 1945.

 

Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan klarifikasi, dia tetap tegak lurus pada konsep dua periode seperti tercantum dalam UUD saat ini dan tak ada niat menuju tiga kali periode masa jabatan.

 

Apakah kedua keterangan itu dengan seketika menyelesaikan isu ketatanegaraan tersebut? Belum tentu, karena memang pada dasarnya tak ada asap jika tak ada api. Asapnya tentu saja berupa, pertama, pada faktanya MPR kelihatannya kembali menginisiasi amendemen kelima dengan isu tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan kedua, dinamisnya kehidupan politik sehingga bisa jadi mengalami perubahan cepat.

 

Apalagi, beberapa tahun lalu, Bambang Soesatyo yang saat ini Ketua MPR termasuk orang yang cukup antusias dengan ide itu. Artinya, ada yang harus lebih dalam terverifikasi agar tidak menjadi bola liar bagi siapa saja.

 

Menghidupkan GBHN

 

Setelah perubahan UUD empat kali (1999-2002), kita paham jika MPR tak lagi jadi lembaga tertinggi negara, dan karena itu mengubah proses distribusi kedaulatan rakyat via MPR ke model lebih pemisahan secara langsung melalui UUD.

 

Tentu saja salah satu implikasinya adalah pemilihan presiden secara langsung dan tak lagi melalui pemilihan MPR. Sebagai konsekuensinya, presiden tak bertanggung jawab kepada MPR. Presiden tak lagi diharuskan melaksanakan GBHN yang dulu ditetapkan MPR. Amendemen UUD 1945 menguatkan sistem presidensial di Indonesia.

 

Desain awal MPR memang adalah tempat bertemu (joint session) antara DPR dan DPD seperti usulan para ahli di rapat-rapat Badan Pekerja saat perubahan UUD. Namun, di ujungnya, terjadi perubahan dengan tetap menjadikan MPR lembaga yang memiliki keanggotaan dan susunan ketua-wakil ketua meski MPR hampir tak lagi memiliki kewenangan yang mandiri. Begitu pun GBHN, dihilangkan dari MPR dan perencanaan pembangunan negara akhirnya digantikan oleh produk hukum (UU) yang ditetapkan DPR bersama presiden.

 

Seperti GBHN, UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dijadikan haluan negara dalam segala bidang pembangunan. Perbedaan hanya terletak pada lembaga yang menyusun dan pola pertanggungjawaban pelaksanaannya.

 

Perbedaan inilah yang kemudian jadi pemicu lahirnya gagasan menghidupkan kembali GBHN sebagai dasar perencanaan pembangunan negara. Usulan diajukan melalui amendemen untuk menempatkan kembali GBHN sebagai pedoman dasar perencanaan pembangunan yang terpadu yang ditetapkan oleh MPR.

 

Pemikiran untuk menghidupkan kembali GBHN dilatarbelakangi beberapa penilaian. Pertama, buruknya sistem pembangunan negara yang kian tak padu dan cenderung berjangka pendek. Penyebabnya, begitu terjadi pergantian pemimpin, terjadi pula pergantian visi-misi dan program pembangunan.

 

Kedua, pascaamendemen, secara resmi Indonesia tak memiliki haluan negara yang memandu pembangunan di segala bidang oleh semua lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) dan lembaga negara penunjang lainnya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai pengganti GBHN dinilai sangat bersifat presiden-sentris.

 

Ketiga visi negara dalam UUD 1945 perlu dijalankan dan dijabarkan pelaksanaannya oleh semua lembaga negara dan bukan hanya oleh presiden. Maka, gagasan menghidupkan GBHN haruslah diletakkan dalam rangka semata-semata mengembalikan visi haluan negara.

 

Implikasi ke sistem presidensial

 

Ide visi negara yang kelihatannya menarik, tetapi pada dasarnya memiliki implikasi tak kecil terhadap sistem presidensial. Pertama, salah satu karakteristik sistem presidensial adalah supremasi konstitusi, karena presiden adalah ”raja” yang diberi batas konstitusi.

 

Konstitusi harusnya jadi pelindung dan pada saat yang sama menjadi pembatas. Menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan negara yang memandu pembangunan di segala bidang oleh semua lembaga negara bisa bergesekan dengan prinsip supremasi konstitusi.

 

Meskipun GBHN akan dianggap sebagai penerjemahan dan akan diletakkan di bawah UUD 1945, tak ada jaminan GBHN tak akan bertentangan dengan UUD 1945. Jika bertentangan, tak ada mekanisme untuk melakukan pengujian GBHN terhadap UUD 1945.

 

Supremasi konstitusi juga mengandung arti tak ada lembaga atau peraturan tertinggi selain konstitusi. Lembaga-lembaga negara berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan berderajat sama. Berlaku prinsip saling mengawasi dan mengimbangi.

 

Kedua, berbeda dengan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen, dalam sistem presidensial eksekutif bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Usulan menghidupkan GBHN yang ditetapkan MPR berarti amat berpotensi mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

 

Presiden (serta lembaga negara lain) harus kembali melaksanakan GBHN dalam menjalankan pemerintahan negara. Konsekuensi logis dari dianutnya supremacy of parliament, hubungan antarlembaga negara terbangun secara hierarkis struktural dan subordinasi karena setiap lembaga negara harus bertanggung jawab kepada MPR, termasuk pertanggungjawaban presiden atas pelaksanaan GBHN.

 

Hal demikian tentunya tak sesuai dengan karakteristik sistem presidensial. Karena itu, pertanyaan mendasarnya, bagaimana pertanggungjawaban atas pelaksanaan GBHN?

 

Ketiga, berkaitan dengan pertanggungjawaban presiden adalah masalah pemberhentian presiden. Dalam sistem presidensial, presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatan melalui pemakzulan karena melakukan pengkhianatan, menerima suap, melakukan kejahatan berat, dan pelanggaran lain (Pasal 7A). Apabila presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN kepada MPR, hal itu bisa jadi menggeser ke pola parlementer yang melakukan penilaian atas kebijakan.

 

Keempat, karakteristik sistem presidensial lainnya adalah pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Itu sebabnya, keduanya mendapatkan mandat langsung dari rakyat dalam bentuk pemilu.

 

Apabila GBHN kembali dihidupkan, pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif bisa jadi kabur. Presiden tinggal melaksanakan haluan negara yang sudah disusun MPR. Presiden tak mendapat kesempatan mewujudkan visi misi dan program yang dijanjikan saat kampanye.

 

Kembalinya GBHN membuat pilpres secara langsung menjadi hampir tak ada artinya. Apabila pemilihan langsung presiden oleh rakyat, tetapi visi misi dan program presiden ditetapkan lembaga lain, yakni MPR, rakyat jadi tidak memiliki parameter yang logis dan rasional untuk menjadi dasar memilih presiden.

 

Implikasi ke jabatan presiden

 

Mudah untuk melihat bahwa ide melakukan amendemen dengan menghidupkan GBHN sebenarnya hampir mustahil menggunakan bahasa bahwa ini hanya amendemen terbatas pada Pasal 3 UUD.

 

Sebab, dari empat implikasi di atas, mau tak mau harus mau merambah jauh tak hanya ke Pasal 3, tetapi bisa menyasar pasal-pasal lain di dalam konstruksi UUD saat ini. Termasuk pasal tentang pilpres secara langsung dan pasal-pasal tentang pertanggungjawaban presiden serta penghentian presiden.

 

Jika presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN, bentuk yang paling mungkin adalah mempertanggungjawabkan di hadapan MPR sebagai lembaga yang menginisiasikan GBHN.

 

Memang ada ide, bukan secara tersendiri produk MPR, tetapi dalam bentuk ”the directive principle of state policy” yang langsung dicantumkan di dalam UUD. Ide ini sebenarnya ”basi” karena jika dibaca UUD saat ini sudah cukup banyak mengatur soal ”directive principle”, mulai dari pembukaan UUD hingga pasal.

 

Pun jika dalam bentuk prinsip direktif, tetap ada isu soal pertanggungjawaban. Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban, termasuk apa parameternya, dan begitu banyak pertanyaan turunan lainnya akan mengemuka.

 

Itu yang membuat mudah membayangkan bahwa usulan menghidupkan GBHN ini bisa jadi akan menyasar pada presiden beserta pemilihannya dan masa jabatan termasuk periodisasi.

 

Jika mengembalikan rezim pertanggungjawaban presiden ke MPR, sangat mudah membaca kemungkinan menghidupkan kembali pemilihan presiden di MPR, berpotensi mengubah konsep fixed term dan bisa jadi menggeser periodisasi jabatan presiden karena ada perbedaan mendasar antara presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu dan dipilih melalui MPR.

 

Itu sebabnya, jika Presiden Jokowi telah menyatakan tak berniat tiga periode, isu itu tetap tak akan sepenuhnya padam jika dilihat dengan perspektif isu amendemen GBHN.

 

Pun jika Presiden Jokowi tak berniat, bagaimana jika didorong dan dipaksakan MPR? Bagaimana jika Presiden mengubah niatnya, seperti ketika ia mengubah niat memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi, tetapi malah jadi inisiator perubahan UU KPK dan melemahnya pemberantasan korupsi saat ini.

 

Pada saat yang sama, ini pun tentu tak hanya berlaku karena kecurigaan terhadap Presiden Jokowi, tetapi bagaimana jika di kemudian hari presiden dan parpol memiliki kesepahaman yang sama karena ia akan melakukan perubahan UUD, bukan demi Presiden Jokowi, tetapi untuk kandidat lain yang merasa akan sulit jadi presiden jika melalui pemilihan langsung.

 

Karena itu, memilih untuk dipilih melalui MPR yang berarti hanya melibatkan parpol di DPR dan ”peta politik” di DPD tanpa pelibatan langsung rakyat. Proses yang jauh lebih sederhana bagi politisi dibandingkan pemilihan langsung.

 

Pekerjaan rumah

 

Setidaknya, ada dua pekerjaan rumah tersisa. Pertama, bagaimana memastikan pembangunan nasional dapat dilakukan secara terintegrasi dan terarah tanpa perlu melahirkan GBHN. Kedua, memastikan amendemen untuk memperbaiki konstruksi UUD 1945 dan bukan untuk kerja-kerja keinginan politik semata.

 

Pada porsi pertama, sebenarnya masih sangat mungkin mengagregasi konsep pembangunan tanpa harus melalui GBHN. Setidaknya, harus ada upaya untuk menyeriusi kembali soal bagaimana visi misi dan program kampanye presiden mampu diterjemahkan oleh Bappenas ke dalam RPJMN.

 

Selanjutnya disusun ke dalam RKP dan menjadi dasar penyusunan APBN. Selain itu, secara kelembagaan, penyusunan APBN perlu dilakukan secara bersama-sama Kemenkeu dan Bappenas bukan hanya secara formal, tetapi juga secara paradigma dan substansi.

 

Hal ini untuk menjamin kepastian perencanaan yang sudah disahkan memperoleh pembiayaan. Tentu usulan ini bisa dijalankan dengan baik jika dilakukan sinkronisasi melalui perubahan UU Keuangan Negara dan UU SPPN.

 

Sekaligus pemerintah pusat menguatkan koordinasi, pengawasan, dan sinkronisasi kegiatan dengan pemda agar punya satu napas meskipun dalam nuansa otonomi.

 

Pekerjaan rumah kedua, jika pun membawa ide perubahan UUD 1945, pastikan mengubah ketentuan yang memang menyimpan problem yang real ketatanegaraan. Memperkuat sistem bikameral antara DPR dan DPD kelihatannya jauh lebih penting.

 

Begitu pun merapikan relasi MA-MK yang tumpang tindih dalam pengujian peraturan perundang-undangan, hingga memperkuat perlindungan hak-hak warga negara dengan konstruksi constitutional complaint. Bisa juga dengan merapikan pasal-pasal yang punya peluang perdebatan karena sifat ambigu. Misalnya Pasal 7C yang mengatur ”Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.

 

Sederhananya, jawablah isu politik dengan memastikan bahwa negara memang tengah bergerak secara hukum dan konstitusional, dan bukan menawarkan agenda yang bisa jadi malah mengacaukan hukum dan konstitusionalitas itu sendiri. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar