Kamis, 25 Maret 2021

 

Target Inflasi Pascapandemi

 Syachman Perdymer ;  Analis Senior, Departemen Komunikasi Bank Indonesia, 2020-sekarang

                                                        KOMPAS, 25 Maret 2021

 

 

                                                           

Pemerintah pada Februari lalu telah mengumumkan target inflasi tiga tahun ke depan, yaitu 3 persen plus/minus 1 persen di 2022 dan 2023, serta 2,5 persen plus/minus 1 persen di 2024. Target tersebut lebih tinggi daripada inflasi 2020. Tren inflasi pascapandemi ini menarik untuk dicermati.

 

Target inflasi memiliki dua makna penting dalam pengelolaan makroekonomi. Pertama, target itu akan mengarahkan ekspektasi inflasi dari pelaku ekonomi. Ekspektasi ini memengaruhi keputusan pelaku ekonomi sehingga berdampak pada keseimbangan penawaran dan permintaan (harga). Kedua, target itu menjadi sasaran kebijakan moneter dengan berbagai instrumennya.

 

Bank sentral yang menarget inflasi akan melakukan respons kebijakan berdasar kan prakiraan inflasi. Ada efek tunda dari kebijakan moneternya. Inflasi yang diprakirakan di atas target akan direspons dengan melakukan pengetatan/menaikkan suku bunga untuk menahan tekanan permintaan.

 

Respons kebijakan moneter tak sepenuhnya mekanistik. Hubungan antarvariabel ekonomi bersifat kompleks dan dinamis. Misalnya, kenaikan harga pangan akibat guncangan pasokan yang dipicu faktor cuaca. Tak serta-merta suku bunga jadi pilihan untuk menahan kenaikan harga. Sebaliknya, respons itu berisiko dapat menahan pertumbuhan ekonomi.

 

Perlunya menyerap guncangan (shocks) menjadi alasan penggunaan kisaran pada target inflasi. Kisaran itu memberi ruang respons kebijakan yang tak kaku sehingga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi terjaga. Kisaran itu bervariasi antarnegara. India, Turki, dan Ghana menggunakan tambah/kurang 2 persen dari titik target. Indonesia, Meksiko, dan Polandia tambah/kurang 1 persen.

 

Inflasi yang optimal

 

Target inflasi umumnya mengacu pada level yang dianggap optimal bagi perekonomian. Inflasi tinggi akan menggerus daya beli dan meningkatkan gejolak ekonomi. Di sisi lain, deflasi membuat orang menunda konsumsi karena harga akan turun. Akibatnya, produksi tertahan dan investasi menurun. Inflasi perlu dijaga pada level yang mencerminkan stabilitas, dengan tetap memberikan dorongan bagi aktivitas ekonomi.

 

Sekitar dua dekade terakhir, negara maju seperti AS, Eropa, dan Inggris menarget inflasi di level 2 persen. Target itu memiliki setidaknya dua pertimbangan. Pertama, 2 persen dianggap mencerminkan keseimbangan makroekonomi. Rerata inflasi 200 tahun terakhir sekitar 2 persen (Bank of England, 2020). Data inflasi jangka panjang itu menunjukkan titik keseimbangan (ekuilibrium). Seperti pendulum, berayun ke kiri dan kanan dari titik keseimbangannya di tengah.

 

Kedua, adanya measurement bias positif sehingga diperlukan penyangga dari jurang deflasi. Penghitungan inflasi secara umum diperkirakan bias atas berkisar 0,5-1,5 persen. Artinya, inflasi 1 persen bisa jadi sebenarnya deflasi 0,5 persen. Upaya Jepang sekitar dua dekade untuk keluar dari deflasi membuat risiko deflasi lebih ditakutkan dari hiperinflasi.

 

Measurement bias ini, antara lain, disebabkan perubahan kualitas. Harga telepon genggam, misalnya, relatif sama dengan waktu lalu, tetapi dengan kualitas lebih baik. Artinya, dengan memperhitungkan kualitas, harganya lebih murah dari yang tercatat.

 

Bagi emerging markets, angka inflasi 2,5-3 persen, atau sedikit lebih tinggi dari negara maju, merupakan level optimal. Infrastruktur yang tak sebaik negara maju membuat produksi dan distribusi rentan gangguan. Pendapatan per kapita yang lebih rendah membuat porsi makanan dalam basket konsumsinya juga relatif tinggi. Harga makanan ini lebih rentan gejolak harga.

 

Inflasi pascapandemi

 

Sejak 2005, upaya menurunkan inflasi (disinflasi) dilakukan dengan target inflasi yang menurun secara gradual. Alhasil, inflasi turun dari 17,1 persen di 2005 menjadi 2,7 persen di 2019. Dalam lima tahun sebelum pandemi, inflasi selalu dalam targetnya. Namun, inflasi 2020 sebesar 1,68 persen berada di bawah target 3 persen plus/minus 1 persen, seiring lemahnya permintaan akibat pandemi.

 

Dalam merespons Covid-19, pemerintah dan BI menempuh kebijakan berbagi beban (burden sharing) dalam pembiayaan defisit APBN. Selain itu, BI melakukan pelonggaran likuiditas.

 

Pandemi dan respons kebijakannya berdampak pada perilaku uang beredar. Uang dalam arti luas (M2) tumbuh 12,4 persen pada 2020, meningkat dari 6,5 persen pada 2019. Peningkatan itu dipengaruhi tagihan kepada pemerintah di tengah pertumbuhan kredit yang melambat. Di sisi lain, tabungan dan simpanan berjangka meningkat. Hal ini mengindikasikan dorongan perputaran uang dari aktivitas ekonomi masih terbatas.

 

Majalah The Economist akhir 2020 mengingatkan risiko inflasi pascapandemi, di tengah trennya yang rendah secara global. Menurut laporan itu, penundaan konsumsi dan tingginya uang beredar saat pandemi bisa menaikkan permintaan yang mendorong inflasi ketika ekonomi mulai pulih.

 

Target inflasi 2022-2024 tampak telah cukup berhati-hati dengan mempertimbangkan risiko dan upaya disinflasi secara terukur. Dengan target ini, pemerintah dan BI meyakini stabilitas tetap terjaga dan bisa menopang pemulihan ekonomi pascapandemi dengan baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar