Target
Inflasi Pascapandemi Syachman Perdymer ; Analis Senior, Departemen Komunikasi Bank Indonesia,
2020-sekarang |
KOMPAS,
25 Maret
2021
Pemerintah pada Februari lalu telah mengumumkan
target inflasi tiga tahun ke depan, yaitu 3 persen plus/minus 1 persen di
2022 dan 2023, serta 2,5 persen plus/minus 1 persen di 2024. Target tersebut
lebih tinggi daripada inflasi 2020. Tren inflasi pascapandemi ini menarik
untuk dicermati. Target inflasi memiliki dua makna penting
dalam pengelolaan makroekonomi. Pertama, target itu akan mengarahkan
ekspektasi inflasi dari pelaku ekonomi. Ekspektasi ini memengaruhi keputusan
pelaku ekonomi sehingga berdampak pada keseimbangan penawaran dan permintaan
(harga). Kedua, target itu menjadi sasaran kebijakan moneter dengan berbagai
instrumennya. Bank sentral yang menarget inflasi akan
melakukan respons kebijakan berdasar kan prakiraan inflasi. Ada efek tunda
dari kebijakan moneternya. Inflasi yang diprakirakan di atas target akan
direspons dengan melakukan pengetatan/menaikkan suku bunga untuk menahan
tekanan permintaan. Respons kebijakan moneter tak sepenuhnya
mekanistik. Hubungan antarvariabel ekonomi bersifat kompleks dan dinamis.
Misalnya, kenaikan harga pangan akibat guncangan pasokan yang dipicu faktor
cuaca. Tak serta-merta suku bunga jadi pilihan untuk menahan kenaikan harga.
Sebaliknya, respons itu berisiko dapat menahan pertumbuhan ekonomi. Perlunya menyerap guncangan (shocks)
menjadi alasan penggunaan kisaran pada target inflasi. Kisaran itu memberi
ruang respons kebijakan yang tak kaku sehingga stabilitas dan pertumbuhan
ekonomi terjaga. Kisaran itu bervariasi antarnegara. India, Turki, dan Ghana
menggunakan tambah/kurang 2 persen dari titik target. Indonesia, Meksiko, dan
Polandia tambah/kurang 1 persen. Inflasi
yang optimal Target inflasi umumnya mengacu pada level
yang dianggap optimal bagi perekonomian. Inflasi tinggi akan menggerus daya
beli dan meningkatkan gejolak ekonomi. Di sisi lain, deflasi membuat orang
menunda konsumsi karena harga akan turun. Akibatnya, produksi tertahan dan
investasi menurun. Inflasi perlu dijaga pada level yang mencerminkan
stabilitas, dengan tetap memberikan dorongan bagi aktivitas ekonomi. Sekitar dua dekade terakhir, negara maju
seperti AS, Eropa, dan Inggris menarget inflasi di level 2 persen. Target itu
memiliki setidaknya dua pertimbangan. Pertama, 2 persen dianggap mencerminkan
keseimbangan makroekonomi. Rerata inflasi 200 tahun terakhir sekitar 2 persen
(Bank of England, 2020). Data inflasi jangka panjang itu menunjukkan titik
keseimbangan (ekuilibrium). Seperti pendulum, berayun ke kiri dan kanan dari
titik keseimbangannya di tengah. Kedua, adanya measurement bias positif
sehingga diperlukan penyangga dari jurang deflasi. Penghitungan inflasi
secara umum diperkirakan bias atas berkisar 0,5-1,5 persen. Artinya, inflasi
1 persen bisa jadi sebenarnya deflasi 0,5 persen. Upaya Jepang sekitar dua
dekade untuk keluar dari deflasi membuat risiko deflasi lebih ditakutkan dari
hiperinflasi. Measurement bias ini, antara lain,
disebabkan perubahan kualitas. Harga telepon genggam, misalnya, relatif sama
dengan waktu lalu, tetapi dengan kualitas lebih baik. Artinya, dengan
memperhitungkan kualitas, harganya lebih murah dari yang tercatat. Bagi emerging markets, angka inflasi 2,5-3
persen, atau sedikit lebih tinggi dari negara maju, merupakan level optimal.
Infrastruktur yang tak sebaik negara maju membuat produksi dan distribusi
rentan gangguan. Pendapatan per kapita yang lebih rendah membuat porsi
makanan dalam basket konsumsinya juga relatif tinggi. Harga makanan ini lebih
rentan gejolak harga. Inflasi
pascapandemi Sejak 2005, upaya menurunkan inflasi
(disinflasi) dilakukan dengan target inflasi yang menurun secara gradual.
Alhasil, inflasi turun dari 17,1 persen di 2005 menjadi 2,7 persen di 2019.
Dalam lima tahun sebelum pandemi, inflasi selalu dalam targetnya. Namun,
inflasi 2020 sebesar 1,68 persen berada di bawah target 3 persen plus/minus 1
persen, seiring lemahnya permintaan akibat pandemi. Dalam merespons Covid-19, pemerintah dan BI
menempuh kebijakan berbagi beban (burden sharing) dalam pembiayaan defisit
APBN. Selain itu, BI melakukan pelonggaran likuiditas. Pandemi dan respons kebijakannya berdampak
pada perilaku uang beredar. Uang dalam arti luas (M2) tumbuh 12,4 persen pada
2020, meningkat dari 6,5 persen pada 2019. Peningkatan itu dipengaruhi
tagihan kepada pemerintah di tengah pertumbuhan kredit yang melambat. Di sisi
lain, tabungan dan simpanan berjangka meningkat. Hal ini mengindikasikan
dorongan perputaran uang dari aktivitas ekonomi masih terbatas. Majalah The Economist akhir 2020
mengingatkan risiko inflasi pascapandemi, di tengah trennya yang rendah
secara global. Menurut laporan itu, penundaan konsumsi dan tingginya uang
beredar saat pandemi bisa menaikkan permintaan yang mendorong inflasi ketika
ekonomi mulai pulih. Target inflasi 2022-2024 tampak telah cukup
berhati-hati dengan mempertimbangkan risiko dan upaya disinflasi secara terukur.
Dengan target ini, pemerintah dan BI meyakini stabilitas tetap terjaga dan
bisa menopang pemulihan ekonomi pascapandemi dengan baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar