Vaksin
AstraZeneca dan Perdebatan Teologis Fathorrahman Ghufron ; Wakil katib PWNU Jogjakarta, wakil dekan kemahasiswaan dan
kerja sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga |
JAWA
POS, 24 Maret 2021
KETIKA pemerintah ingin mengimpor vaksin
Sinovac dari Tiongkok pada awal 2021, muncul perdebatan teologis di berbagai
kalangan perihal status hukum Islam. Di satu sisi, vaksin sangat dibutuhkan
untuk memperkuat imunitas tubuh agar tidak terpapar Covid-19. Namun, di sisi
lain, banyak kelompok masyarakat yang menolak. Salah satu alasan yang
mengemuka adalah adanya kekhawatiran pencampuran bahan vaksin dari tripsin
babi. Perdebatan teologis itu mulai reda ketika
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin Covid-19
yang diproduksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma itu pada
11 Januari 2021. Berdasar berbagai landasan teologis yang mengacu pada
Alquran, hadis, dan kaidah fikih, fatwa MUI ini menjadi legitimasi hukum bagi
pemerintah untuk melanjutkan program vaksinasi. Ketika vaksinasi yang menggunakan Sinovac
sudah berjalan dan merambah ke berbagai sektor profesi, ada keterbatasan
ketersediaan vaksin. Lalu, pemerintah kembali berinisiatif membeli vaksin AstraZeneca
dari Korea Selatan dan India sebanyak 1,1 juta dari 11 juta dosis yang
direncanakan agar tidak ada kegiatan vaksinasi yang terhenti. Dissenting
Fatwa Saat vaksin AstraZeneca mulai digunakan di
beberapa daerah seperti Jawa Timur, tiba-tiba muncul perdebatan teologis di
kalangan agamawan. Mereka meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pusat yang menyatakan status hukum haram vaksin
AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi. Meskipun, MUI tetap
menoleransi kebolehan penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat. Sikap MUI pusat tecermin dalam Fatwa Nomor
14 Tahun 2021 tentang Penggunaan Vaksin AstraZeneca dengan memenuhi lima
syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari’iyyah) yang
menduduki kondisi darurat syar’iy (dlarurah syar’iyyah). Kedua, ada
keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko
fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang
halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna
ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan
keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki
keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang
tersedia. Namun, berbeda dengan fatwa MUI pusat,
justru MUI Jawa Timur menyatakan bahwa status hukum vaksin AstraZeneca adalah
halal. Ketua MUI Jawa Timur menjelaskan sebuah metafora kehalalan vaksin
AstraZeneca seperti menanam pohon yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis.
Kemudian, buah yang dihasilkan pohon tersebut hukumnya suci untuk dimakan.
Demikian pula ayam atau sapi yang memakan kotoran najis. Dagingnya tetap
halal untuk dikonsumsi. Dalam kajian fikih, merujuk pandangan KH
Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul Soal Vaksin: Mengenal 3 Teori Fiqh
Istihalah, Istihlak, dan Darurat, perbedaan cara pandang MUI pusat dan MUI
Jawa Timur bisa dicermati dalam tiga teori besar. Pertama, istihalah, yaitu
perubahan sebuah hukum suatu hal kepada hal lain. Berdasar teori ini,
penjelasan metaforisme tentang sebuah kotoran hewan yang semula najis lalu
dijadikan pupuk dan pohon tersebut menghasilkan buah yang halal dimakan
memberikan penjelasan serupa tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. Meskipun,
dalam teori ini ada perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Imam Syafi’i,
terutama berkaitan dengan unsur perubahan secara alami dan adanya intervensi
manusia. Kedua, teori istihlak, yaitu percampuran
antara benda najis dan benda suci yang kadar dan jumlahnya lebih banyak.
Berdasar teori ini, tripsin babi (kalaupun memang digunakan dalam pembuatan
vaksin AstraZeneca, namun dalam perkembangannya ada penjelasan lebih lanjut
dari pembuatnya bahwa di dalam racikan vaksin ini tidak ada unsur tripsin
babinya) yang telah berbaur dengan zat lain yang lebih banyak yang tidak
mengubah rasa, warna, maupun baunya, sesungguhnya tidak lantas melabelkan
hukum vaksin tersebut sebagai barang yang haram. Titik
Temu Ketiga, teori darurat, yaitu sebuah keadaan
memaksa yang mengharuskan seseorang melakukan sebuah larangan yang bila tidak
dilakukan bisa mengancam keselamatan jiwanya. Dalam konteks ini, MUI pusat
dan MUI Jawa Timur bisa saling bertitik temu dalam menyikapi vaksin
AstraZeneca. Meskipun dalam formulasi status hukum vaksin yang disampaikan
MUI pusat tetap mengacu kepada hukum asal sebuah benda yang haram karena ada
prinsip kehati-hatian (ikhtiyat), namun demi menjaga kemaslahatan bersama dan
melindungi keselamatan jiwa, vaksin AstraZeneca diperbolehkan. Dalam kaitan ini, perbedaan cara pandang di
tubuh MUI, antara pusat dan cabang, tentu memberikan pembelajaran menarik dan
mendidik bagaimana diskursus teologis dikembangkan sebagai kerangka berpikir
yang kritis dan responsif. Setidaknya, dengan perbedaan cara pandang
tersebut, ada praktik diskursif dan deliberasi gagasan yang bisa diteladani
berbagai lapisan masyarakat dalam menyikapi sebuah kasus hukum. Perbedaan cara pandang antara MUI pusat dan
MUI Jawa Timur tentang status hukum vaksin AstraZeneca yang mendudukkan
haraman thayyiban dan halalan thayyiban sebagai rumusan fatwanya jangan
dinilai sebagai keterbelahan psikososial yang bisa mengganggu kelancaran
vaksinasi. Sebab, perbedaan cara pandang itu sebuah rahmat yang harus
dirayakan. Agar umat manusia tidak terjebak dengan monotafsir terhadap
rumusan teologis yang dijadikan basis aksiologis dalam menjalankan perintah
Tuhan. ● |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar