Jumat, 26 Maret 2021

 

Vaksin AstraZeneca dan Perdebatan Teologis

 Fathorrahman Ghufron ;  Wakil katib PWNU Jogjakarta, wakil dekan kemahasiswaan dan kerja sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga

                                                      JAWA POS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

KETIKA pemerintah ingin mengimpor vaksin Sinovac dari Tiongkok pada awal 2021, muncul perdebatan teologis di berbagai kalangan perihal status hukum Islam. Di satu sisi, vaksin sangat dibutuhkan untuk memperkuat imunitas tubuh agar tidak terpapar Covid-19. Namun, di sisi lain, banyak kelompok masyarakat yang menolak. Salah satu alasan yang mengemuka adalah adanya kekhawatiran pencampuran bahan vaksin dari tripsin babi.

 

Perdebatan teologis itu mulai reda ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac Life Science Co Ltd China dan PT Bio Farma itu pada 11 Januari 2021. Berdasar berbagai landasan teologis yang mengacu pada Alquran, hadis, dan kaidah fikih, fatwa MUI ini menjadi legitimasi hukum bagi pemerintah untuk melanjutkan program vaksinasi.

 

Ketika vaksinasi yang menggunakan Sinovac sudah berjalan dan merambah ke berbagai sektor profesi, ada keterbatasan ketersediaan vaksin. Lalu, pemerintah kembali berinisiatif membeli vaksin AstraZeneca dari Korea Selatan dan India sebanyak 1,1 juta dari 11 juta dosis yang direncanakan agar tidak ada kegiatan vaksinasi yang terhenti.

 

Dissenting Fatwa

 

Saat vaksin AstraZeneca mulai digunakan di beberapa daerah seperti Jawa Timur, tiba-tiba muncul perdebatan teologis di kalangan agamawan. Mereka meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang menyatakan status hukum haram vaksin AstraZeneca karena bahannya mengandung tripsin babi. Meskipun, MUI tetap menoleransi kebolehan penggunaan vaksin AstraZeneca dalam kondisi darurat.

 

Sikap MUI pusat tecermin dalam Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Penggunaan Vaksin AstraZeneca dengan memenuhi lima syarat. Pertama, ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari’iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dlarurah syar’iyyah). Kedua, ada keterangan dari ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.

 

Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia.

 

Namun, berbeda dengan fatwa MUI pusat, justru MUI Jawa Timur menyatakan bahwa status hukum vaksin AstraZeneca adalah halal. Ketua MUI Jawa Timur menjelaskan sebuah metafora kehalalan vaksin AstraZeneca seperti menanam pohon yang diberi pupuk dari kotoran hewan najis. Kemudian, buah yang dihasilkan pohon tersebut hukumnya suci untuk dimakan. Demikian pula ayam atau sapi yang memakan kotoran najis. Dagingnya tetap halal untuk dikonsumsi.

 

Dalam kajian fikih, merujuk pandangan KH Nadirsyah Hosen dalam tulisan berjudul Soal Vaksin: Mengenal 3 Teori Fiqh Istihalah, Istihlak, dan Darurat, perbedaan cara pandang MUI pusat dan MUI Jawa Timur bisa dicermati dalam tiga teori besar. Pertama, istihalah, yaitu perubahan sebuah hukum suatu hal kepada hal lain. Berdasar teori ini, penjelasan metaforisme tentang sebuah kotoran hewan yang semula najis lalu dijadikan pupuk dan pohon tersebut menghasilkan buah yang halal dimakan memberikan penjelasan serupa tentang kehalalan vaksin AstraZeneca. Meskipun, dalam teori ini ada perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, terutama berkaitan dengan unsur perubahan secara alami dan adanya intervensi manusia.

 

Kedua, teori istihlak, yaitu percampuran antara benda najis dan benda suci yang kadar dan jumlahnya lebih banyak. Berdasar teori ini, tripsin babi (kalaupun memang digunakan dalam pembuatan vaksin AstraZeneca, namun dalam perkembangannya ada penjelasan lebih lanjut dari pembuatnya bahwa di dalam racikan vaksin ini tidak ada unsur tripsin babinya) yang telah berbaur dengan zat lain yang lebih banyak yang tidak mengubah rasa, warna, maupun baunya, sesungguhnya tidak lantas melabelkan hukum vaksin tersebut sebagai barang yang haram.

 

Titik Temu

 

Ketiga, teori darurat, yaitu sebuah keadaan memaksa yang mengharuskan seseorang melakukan sebuah larangan yang bila tidak dilakukan bisa mengancam keselamatan jiwanya. Dalam konteks ini, MUI pusat dan MUI Jawa Timur bisa saling bertitik temu dalam menyikapi vaksin AstraZeneca. Meskipun dalam formulasi status hukum vaksin yang disampaikan MUI pusat tetap mengacu kepada hukum asal sebuah benda yang haram karena ada prinsip kehati-hatian (ikhtiyat), namun demi menjaga kemaslahatan bersama dan melindungi keselamatan jiwa, vaksin AstraZeneca diperbolehkan.

 

Dalam kaitan ini, perbedaan cara pandang di tubuh MUI, antara pusat dan cabang, tentu memberikan pembelajaran menarik dan mendidik bagaimana diskursus teologis dikembangkan sebagai kerangka berpikir yang kritis dan responsif. Setidaknya, dengan perbedaan cara pandang tersebut, ada praktik diskursif dan deliberasi gagasan yang bisa diteladani berbagai lapisan masyarakat dalam menyikapi sebuah kasus hukum.

 

Perbedaan cara pandang antara MUI pusat dan MUI Jawa Timur tentang status hukum vaksin AstraZeneca yang mendudukkan haraman thayyiban dan halalan thayyiban sebagai rumusan fatwanya jangan dinilai sebagai keterbelahan psikososial yang bisa mengganggu kelancaran vaksinasi. Sebab, perbedaan cara pandang itu sebuah rahmat yang harus dirayakan. Agar umat manusia tidak terjebak dengan monotafsir terhadap rumusan teologis yang dijadikan basis aksiologis dalam menjalankan perintah Tuhan. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar